Minggu, 04 Januari 2009

Regulasi Agama/Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, sama dengan bangsa-bangsa lainnya di muka bumi ini, dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI).[1] Sehari sesudah proklamasi, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)[2] ditetapkan sebagai asas dan dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian semua kebijakan negara dan pemerintah dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berasas dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Penerimaan asas dan dasar Pancasila dan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 itu sesungguhnya berarti, menurut Moh.Mahfud MD, bangsa Indonesia mengakhiri polemik yang berkaitan dengan dasar negara menjelang pembentukan negara Indonesia.[3] Di atas asas dan dasar ini, Indonesia menyatakan diri dan dikenal sebagai sebuah negara “bukan negara agama dan bukan negara sekuler”.
Pembukaan UUD 1945, sebagai staatsfundamentalnorm, mengandung nilai-
nilai historis yang erat kaitannya dengan perjuangan, lahirnya dan cita-cita bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai itu tersimpul dalam empat pokok pikiran yaitu:
Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indinesia; Negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan. Negara menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia.
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Negara berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[4]
Di balik nilai-nilai tersebut mengalir sistem pikiran “kekeluargaan” yang sesungguhnya menolak aliran pikiran perseorangan. Aliran pikiran kekeluargaan inilah yang menjadi saripati dari Pancasila. Pikiran kekeluargaan ini mengikat semua orang yang menjadi anggota kesatuan keluarga dan karena itu di dalam kesatuan kekeluargaan ini tidak ada kebebasan mutlak bagi seseorang. Sebab semua anggota, terikat dan diikat oleh peraturan-peraturan yang berlaku dalam pergaulan hidup kekeluargaan. Sebaliknya karena tidak ada anggota secara individu sama, maka perbedaan diakui dan dihormati bahkan dilindungi.[5]
Kartohadiprodjo, memandang hubungan kekeluargaan seperti yang dimaksud di atas sebagai: "kesatuan dalam pembedaan dan pembedaan dalam kesatuan". Lebih dari pada itu, pikiran kekeluargaan, sesungguhnya bukan hanya menjadi kandungan nilai-nilai Pembukaan UUD 1945 tetapi keseluruhan pasal yang ada dalam UUD 1945 itu, semuanya berdasarkan pikiran kekeluargaan.[6]
NKRI pun menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini tersurat dengan jelas dalam Pasal 29 UUD 1945, yang berbunyi:
(1) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa".
(2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayan itu".
Dalam UUD 1945 juga diakui adanya hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) yang fumdamental dan yang terkait dengan hak beragama, seperti:
Pasal 28 E ayat (1) dan (2): “… bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya …dan atas kebebasan meyakini kepercayaan, …”, dan
Pasal 28 I ayat (1): “... hak beragama, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Memperhatikan asas dan dasar konstitusional yang disebutkan di atas maka bagi bangsa Indonesia yang sedemikian plural atau majemuknya,[7] menurut Moh. Mahfud MD adalah pilihan yang amat sangat tepat yang diambil oleh para pendiri (founding fathers) bangsa Indonesia, untuk menetapkan NKRI itu tidak berdasarkan agama tertentu.[8]
Pilihan ini semata-mata diambil demi kepentingan dan kesatuan bangsa
dan negara yang selama bertahun-tahun memperjuangkan kemerdekaannya. Founding fathers bangsa Indonesia dengan penuh hikmat dan bijak menempatkan NKRI sebagai Negara Pancasila, suatu negara yang bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. B.J.Boland, seperti dikutip oleh Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa ; “negara yang baru diproklamasikan kemerdekaannya itu bukanlah negara agama (Islam) seperti yang dimaksud dalam konsepsi Islam ortodoks dan juga bukan negara sekuler yang memandang agama hanya sebagai masalah pribadi”.[9] Sedangkan Moh. Mahfud MD sendiri, menyebutnya, Indonesia sebagai “Negara Pancasila yang menciptakan keseimbangan antara paham negara agama (Islam) dan paham negara sekuler”, dan karena itu dalam paham tersebut, Indonesia bukanlah negara Islam tetapi negara yang memberi peluang untuk diamalkannya ajaran Islam oleh pemeluk-pemeluknya, seperti halnya peluang yang sama diberikan kepada pemeluk agama-agama lainnya.[10]
Dengan asas dan dasar Pancasila dan konstitusi UUD 1945, negara dan
pemerintah menetapkan regulasi kehidupan beragama melalui produk peraturan perundang-undangan dalam bentuk Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama, Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1965 (selanjutnya disebut PENPRES 1/1965), yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Lembaran Negara Nomor 36 Tahun 1969 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2900 (selanjutnya disebut UU 5/1969). Melalui regulasi agama ini negara dan pemerintah menjalankan kedaulatan dan tanggungjawab konstitusionalnya melindungi warga negara Indonesia yang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dari penyalah-gunaan dan penodaan agama dari baik individu-pribadi maupun komunitas-kelompok aliran-aliran kepercayaan lain.
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebut menjadi titik awal pengakuan negara dan pemerintah atas individu-pribadi dan komunitas-kelompok warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu menjadi agama resmi dan diakui sebagai komunitas agama yang wajib dihormati, dilindungi dan dibina di seluruh wilayah kedaulatan NKRI melalui berbagai regulasi yang berlaku selama ini, selama pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan era reformasi bahkan pasca reformasi.[11]
Karena itu pada era Orde Baru, di samping PENPRES 1/1965 dan UU
5/1969, ditetapkan pula peraturan perundang-undangan yang bernuansa regulasi agama, sebagai contoh:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor, Tambahan Lembaran Negara Nomor 301,
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400.
Sedangkan pada era reformasi, ada contoh lain:
(1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 3 Mei 1999, Lemabaran Negara Repblik Indonesia Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832.
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 23 September 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885.
(3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134. Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh,
serta produk peraturan perundang-undang lain yang sejenis. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan peraturan perundang-undangan yang bernuansa agama yang berlaku di NKRI yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler itu.
Memperhatikan pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang disebut di atas, menjadi nyata bahwa negara dan pemerintah Indonesia semakin memperkokoh dan bahkan memperluas regulasi kehidupan beragama, khususnya bagi warga negara yang beragama Islam di bumi Pancasila.[12] Misalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Lembaran Negara Nomor 78 Tahun 2003, yang idealnya dan seharusnya diluar bidang keagamaan, dinilai oleh sekelompok masyarakatpun, penuh dengan nuansa dan kepentingan agama. Hal tersebut nampak dalam rumusan tujuan pendidikan, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003:
“Pendidikan nasional … bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,…”.
Rumusan tujuan pendidikan nasional seperti ini, menurut Ahmad Baso merupakan cermin “narsisistik mayoritas” penduduk yang beragama Islam bahwa “kita ini mayoritas”. Sebab sebutan “takwa” hanya dikenal dan terbatas dalam Islam, namun kini telah terumus dalam undang-undang dan menjadi perangkat hukum yang mewajibkan pemerintah dengan kekuasaan memaksa melaksanakan kegiatan itu dan sekaligus mengikat dan berlaku umum bagi warga negara Indonesia.[13]
Bagi warga negara yang beragama Islam, meskipun masih “perlu
dipertanyakan efektivitasnya”, seperti yang pernah dikritisi oleh H.M. Hudi Asrori S, misalnya terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, bahwa:
“Kebijakan penyelenggaraan ibadah Haji belum dapat memberikan jaminan kebebasan beribadah sebagai akibat intervensi pemerintah yang berorientasi pada kekuasaan. Calon Jamaah Haji atau Jamaah Haji berkedudukan sebagai objek bukan subjek, di dalam penyelenggaraan Haji yang bersifat administrastif. Karena itu secara yuridis belum dilindungi hak-haknya….”[14]

Semua peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai contoh di atas pada hakikatnya memberi kepastian hukum dan tentunya bermanfaat bagi sebagian besar warga negara Indonesia yang beragama Islam sehingga nilai dasar tujuan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan memenuhi asas ketertiban dan kemanfaatan.
Di era pasca reformasi seperti sekarang ini, semakin terbuka peluang untuk secara sadar dan sistematis mengembangkan peraturan perundang-undangan yang bernuansa keagamaan atau yang mengatur dan memberi kepastian hukum bagi agama yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia melalui proses legislasi hukum Islam. Menurut Haedar Nashir, saat meluncurkan bukunya yang berjudul: Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, menyatakan bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai sumber hukum negara hingga kini gigih dilakukan partai berasas Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan di luar parlemen, upaya menghidupkan syariat Islam dalam negara getol dilakukan oleh massa yang mengusung ideologi transnasional seperti Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) maupun Front Pembela Islam (FPI). Berbagai problem kemasyarakatan dan kebangsaan, diyakini oleh mereka, mampu diatasi jika syariat Islam ditegakkan dalam semua aspek kehidupan.[15] Penerapan syariat Islam dalam kehidupan bernegara menemukan tempatnya pada aras pemerintahan daerah. Pasca desentralisasi, sejumlah daerah yang memiliki tradisi keagamaan Islam yang kuat memberlakukan peraturan daerah yang bersumber dalam Islam, mulai dari pengaturan tatacara berpakaian, pemberantasan maksiat, hingga pelaksanaan ibadah.
Jazuni menyimpulkan bahwa peluang untuk itu memang terbuka lebar.[16] Mengapa demikian? Karena memang ada dasar yang cukup signifikan yang mencakup:
(1) Penduduk mayoritas,
(2) Sila pertama Pancasila,
(3) Pasal 29 UUD 1945,
(4) Kesadaran beragama dan kesadaran hukum masyarakat,
(5) Sistem politik yang memberi peluang berkembangnya aspirasi politik Islam
(6) Sifat elastisitas hukum Islam sesuai kebutuhan umat Islam di Indonesia.
Peluang yang terbuka ini dengan menggunakan pintu masuk “demokrasi”.[17]
Bagaimana dengan warga negara dan penduduk yang beragama lainnya, khususnya umat kristiani? Tidak ada reaksi yang berlebihan, tidak ada aksi demo atau unjuk kekuatan yang kemudian menjadi “parlemen jalanan’ seperti banyak terjadi beberapa waktu berselang. Namun bilamana diperhatikan dengan baik dan saksama maka jelas terlihat bahwa sejak era Orde Baru pun, telah ada “kegelisahan yang damai” di antara mereka warga negara yang beragama Kristen. Perhatikan dan simak misalnya, Ketetapan Sidang MPL PGI Nomor 03/MPL-PGI/1989 tentang Sikap Gereja Gereja Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA), 29 April 1989: kutipan kalimat, seperti yang disunting oleh Weinata Sairin:
Oleh sebab itu yang kita bicarakan tidak hanya Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama saja, tetapi juga suara-suara dalam masyarakat yang ingin agar ada Undang-undang …. Tidak mustahil bahwa masih akan muncul lagi keinginan-keinganan agar disusun undang-undang lain. … khususnya perundang-undangan di bidang keagamaan, termasuk Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Agama dapat ditempatkan di dalam dan bukan di luar tugas dan tanggungjawab bersama seluruh bangsa untuk memantapkan kerangka landasan di bidang hukum dengan menjalankan pembangunan hukum yang:
1. Melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
2. Mewujudkan wawasan Nusantara, termasuk ketentuan bahwa ”hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan Nasional”.
3. Mewujudkan konsensus nasional mengenai Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk di bidang perundang-undangan dan secara khusus perundang-undangan di bidang keagamaan.
4. Dengan adanya pendekatan yang bersifat mendasar dan menyeluruh seperti pada butir 3 di atas maka kita akan terhindar dari pendekatan yang memberikan respons terhadap keinginan-keinginan yang telah dan akan muncul dalam masyarakat berhubung dengan perundang-undangan di bidang keagamaan secara ad hoc belaka.[18]

Peraturan yang hierarkinya lebih rendah, misalnya Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/Ber/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, yang ditetapkan pada tanggal 13 September 1969, dan yang kemudian direvisi melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, tanggal 21 Maret 2006, tidak lebih baik implementasinya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan di era pasca reformasi ini, beberapa waktu berselang pernah marak tuntutan dari sebagian warga masyarakat bukan saja untuk merevisi peraturan bersama itu tetapi juga lebih daripada itu untuk mencabutnya karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi dan demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia sekarang ini.
Realitas lain dalam regulasi kehidupan beragama adalah adanya
peraturan-peraturan daerah yang memberlakukan “syariat Islam” di wilayah tertentu. Misalnya di daerah Kabupaten Bulukumba Sulsel, ada 4 (empat) Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) tentang pemberlakuan syariat Islam bagi pemeluknya. Keempat Perda tersebut adalah PERDA Baca Tulis Al-Quran, Busana Muslimah bagi Wanita, Penertiban Tempat-Tempat Maksiat dan Infak dan Sedekah serta Zakat.[19]
Harian Kompas, dengan mengutip Jurnal Reform Review, Volume I Nomor 1 Tahun 2007, menyebutkan bahwa PERDA berbasis ajaran agama atau biasa disebut PERDA syariat sekarang ini dilaksanakan di 6 Provinsi, 38 Kabupaten, 12 Kota, dengan pola pemberlakuan yang berbeda-beda. PERDA-PERDA provinsi Aceh, Sulsel, Riau, Sumsel. dan Gorontalo untuk Propinsi dan Kabupaten-kabupaten/Kota-kota itu pada umumnya tanpa acuan induk baik Undang-Undang maupun Peraturan Daerah. Hal tersebut menurut penilaian Kompas, dapat memicu munculnya PERDA yang bernuansa agama lain seperti Rancangan PERDA Manokwari sebagai Kota Injil dan demikian juga agama lain di daerah lain.[20]
Pelaksanaan PERDA syariat itu, pada awalnya dianggap mampu mengembalikan nilai moral masyarakat yang sudah rusak, terutama dengan merajalelanya kemaksiatan. Sebab aturan umum yang mengacu pada hukum konvensional dinilai tidak mampu mencegah dekandensi moral yang terjadi. Namun kini muncul tudingan pelaksanaan PERDA syariat adalah usaha pemerintah setempat untuk menutupi kegagalan mereka dalam mengelola tata pemerintahan yang baik dan transparan. Implementasi penegakan syariat itu diberbagai daerah pun banyak bersifat manipulatif. [21]
Namun kenyataannya, pemberlakuan PERDA syariat seperti tersebut di atas, dianggap oleh Mahmud Al-Anshari, sebagai “salah satu bukti kecerdasaan Bupati di daerahnya”.[22] Dan pemberlakuan PERDA-PERDA dalam era pasca reformasi dan dalam pemberlakuan otonomi yang luas di daerah, membuka peluang dan menjadi ajang untuk paling tidak, pengsosialisasian syariat Islam di daerah masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Mahmud Al-Anshari:
“Terdapat peluang emas untuk menerapkan syariat Islam melalui peraturan daerah-peraturan daerah yang ditetapkan berdasarkan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh eksekutif pada lembaga legislatif. Asal ada political will dari pemerintah dan adanya presure group dari publik yang tanpa lelah berjuang untuk menggolkan pengesahan peraturan daerah-peraturan daerah yang sarat dengan muatan syariat Islam.”[23]

Otonomi daerah dilihat juga oleh Mahmud Al-Anshari, sebagai momentum besar untuk melakukan pewarnaan yang signifikan terhadap semua PERDA yang dihasilkan oleh DPRD baik tingkat DPRD I maupun DPRD II, Atau paling tidak, lanjut beliau, memberi ruang ekspresi yang cukup luas untuk memaksimalkan lempangnya proses sosialisasi syariat Islam kepada segenap lapisan masyarakat.[24]
Meskipun upaya penegakan syariat Islam dianggap konstitusional tetapi
sikap sebagian warga dan penduduk yang beragama Kristen, kenyataannya “berkeberatan” terhadap rencana pemberlakuan syariat Islam di wilayah Indonesia. Alasan utama adalah karena negara Indonesia adalah negara Pancasila atau seperti sudah dikemukakan sebelunya “Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler”. Jika ada dasar lain selain Pancasila yang diterapkan di bumi Indonesia maka dikuatirkan keutuhan negara terancam. “Di negara Pancasila saja, masih terjadi perlakuan yang tidak adil terhadap warga Kristen, apatah lagi jika negara didasarkan atas syariat Islam”, demikian ungkap mereka, seperti yang dikutip oleh Endang Turmudi dan Risa Sihbudi.[25]
Reaksi warga negara yang beragama Kristen terhadap pemberlakuan
syariat Islam, seperti yang sudah disebutkan di atas, “tidak berlebihan dan berada dalam kegelisahan yang damai”. Fakta menyatakan dan yuridis formalnya demikian bahwa: regulasi kehidupan beragama telah ditetapkan dan mengikat serta berlaku umum bagi warga negara Indonesia. NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dengan nilai-nilai asas Pancasila dan dengan dasar konstitusi UUD 1945, serta dengan prinsip negara hukum, namun di atas asas itu, di atas jaminan konstitusi itu, ternyata ada regulasi kehidupan beragama dan lebih daripada itu pemberlakuan syariat Islam dalam peraturan perundang-undangan dan PERDA-PERDA atau setidak-tidaknya ada kemauan sekelompok warga negara Indonesia yang memperjuangkan penegakan syariat Islam menjadi produk hukum yang mengikat dan berlaku umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan lebih tegas, seperti yang dikatakan oleh Mahmud Al-Ashari bahwa :
“Sangat adil dan dapat dipahami, bila umat Islam menuntut untuk dapat deviden dari saham sejarah yang telah lama mereka tanam. Dari abad ke 13 Islam sudah mulai merambah ke Indonesia, hingga saat ini. Identitas kebangsaan kita sebenarnya bukan Pancasila, tetapi Islam.”[26]
Regulasi kehidupan beragama seperti yang dikemukakan di atas dan yang selama ini dijalankan, seperti yang dianalisis oleh Ahmad Baso, sebenarnya adalah:
“sebuah kebijakan yang diskriminatif yang didasarkan pada perbedaan agama dan keyakinan dan kepercayaan yang tidak semata-mata didasarkan pada logika internal agama itu sendiri tetapi justru pada logika berkuasa negara dan aparat birokrasinya yang didukung oleh kelompok-kelompok birokrasi agama”.[27]

Kenyataan tersebut diatas mendorong penulis untuk mengkaji secara
ilmiah regulasi agama dalam peraturan perundang- undangan, khususnya PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Kajian ilmiah seperti ini perlu dilakukan, mengingat tanggapan dan reaksi masyarakat terhadap suatu Rancangan Undang-Undang pada umumnya, hanya terjadi dalam batas ruang dan diskusi formal di sekitar legislatif dan eksekutif. Meskipun secara formal ada dengar pendapat dan diskusi yang intensif di sana-sini dan bahkan ada juga naskah akademis yang mendukung, tetapi disamping nuansa politis masih sangat dominan, banyak produk legislasi di Indonesia kurang didukung kajian akademis mendalam.[28]
Karena itu kajian yang sungguh-sungguh ilmiah diharapkan terjadi dalam
penelitian seperti ini. Bahkan lebih daripada itu, kajian secara hukum terhadap regulasi agama melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di era orde baru dan era reformasi serta pasca reformasi perlu mendapat perhatian dan lebih banyak dikembangkan.
Sejauh ini tidak ada kajian dan penelitian hukum terhadap regulasi agama-regulasi agama yang berlaku di Indonesia yang dilakukan secara ilmiah. Dalam buku: Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam Bingkai Gagasan yang Berserak, yang diedit oleh Sururin, Ahmad Baso, dalam tulisan berjudul: Agar Tidak “Memayoritas-kan-diri” tentang Islam, Pluarlisme & HAM “Kultural, menyatakan bahwa pengakuan agama resmi: Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, sebagai pelanggaran Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut UDHR). Demikian juga dengan tulisan Rumadi dengan judul: Agama dan Negara: Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia, yang mengelaborasi pemberlakuan regulasi agama secara umum dalam rangka pengembangan nlai-nilai pluralisme.[29] Dalam tulisan ini disebut sekilas PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Kedua tulisan tersebut turut memberi inspirasi bahkan mendorong penulis dalam pencarian dan penentuan topik penelitian ini.[30]
Dalam latarbelakang masalah yang sudah dikemukakanan di atas maka asumsi dasar dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama : Berdasar pada nilai hukum UUD 1945 dan nilai universal HAM
maka NKRI adalah negara yang menempatkan nilai-nilai luhur, kebhinekaan dan kebersamaan, nilai-nilai keagamaan dan moral dalam keseluruhan aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana terpatri dalam semangat juang para pendiri bangsa ini, founding fathers.
Kedua: Dalam NKRI, negara dan pemerintah menetapkan regulasi agama PENPRES 1/1965, yang kemudian diundangkan menjadi UU 5/1969 yang mengikat dan berlaku umum bagi warga negara diseluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Peraturan perundang-undangan tentang regulasi agama seperti ini pada satu sisi memberi nilai dasar kemanfaatan dan ketertiban hukum kepada warga negara beragama tertentu, tetapi pada sisi lain, membawa “kegelisahan yang damai” bagi warga negara dan penduduk beragama lain. Peraturan-peraturan yang lebih rendah hierarkinya yang bernuansa keagamaan pun makin marak diperjuangkan di era pasca reformasi, yang langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan asas dan nilai-nilai yuridis dari dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yaitu asas Pancasila dan nilai hukum konstitusi UUD 1945.
Ketiga : Secara hukum regulasi agama dalam PENPRES 1/1965
dan UU 5/1969, dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, pada satu sisi sesuai dengan keabsahan dan kelayakannya, patut dipertahankan dan bahkan dikembangkan, namun pada sisi lainya, sesuai dengan kelemahan dan kekurangannya, layak direvisi dan bahkan jika mungkin dihapus dari bumi Pancasila karena tidak sesuai dengan dasar hukum NKRI.

Rumusan Masalah
Dengan latarbelakang permasalahan yang dikemukakan di atas maka dalam penelitian ini dibahas masalah:
1. Apakah Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, sesuai dengan dasar hukum konstitusi UUD 1945?
2. Bagaimanakah regulasi agama dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Thun 1969 tersebut ditinjau dari perspektif HAM?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) Mengkaji dan mengungkapkan atau menganalisis secara hukum regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 apakah sesuai dengan dasar hukum konstitusi UUD 1945.
(2) Mengkaji dan mengungkapkan atau menganalisis bagaimana regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dari perspektif HAM.
Dari analisis hukum dan dari perspektif HAM tersebut diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk:
(1) Mengetahui layak-tidaknya regulasi agama dipertahankan atau sebaliknya ditinjau ulang dan dinyatakan tidak berlaku di bumi Pancasila Indonesia.
(2) Mengkritisi kebijakan negara dan pemerintah dalam menetapkan regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dan sekaligus menjadi masukan yang bermanfaat bagi perumusan regulasi agama selanjutnya.
Dengan demikian pada waktu-waktu mendatang, tidak ada lagi regulasi agama yang hanya memberi nilai dasar kemanfaatan, ketertiban dan keadilan bagi sekelompok warga negara beragama tertentu yang dianggap “mayoritas”, sebesar apapun jumlah kelompok warga negara itu, dan yang mengabaikan tujuan kemanfaatan, ketertiban dan keadilan hukum bagi kelompok warga negara beragama lain yang dianggap “minoritas”, sekecil apapun jumlah kelompok warga negara tersebut. Sebab semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (Equality before the law) atau sama dengan peribahasa yang menyatakan: "berdiri sama tegak dan duduk sama rendah" dan "berat sama dipikul ringan sama dijinjin".

[1] Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, menurut Pasal 37 ayat (5) UUD 1945, sesuai amandemen ke 4 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002, dinyatakan: “Tidak dapat dilakukan perubahan”.
[2] Sebutan atau tulisan resminya sesudah perobahan ke 4 adalah: Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 133-135.
[3] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 24.
[4] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Sekapur Sirih: Sri Soemantri, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004, hal. 4-5.
[5] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 5-6.
[6] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 6.
[7] T.B. Simatupang, menggambarkan pluralitas atau kemajemukan Indonesia, demikian: Secara geografis, Indonesia adalah negeri yang paling terpecah-pecah di kolong langit, yaitu 13.667 pulau-pulaunya. Dari sudut bahasa, budaya, dan agama, ia termasuk negeri yang paling majemuk di dunia: 250 bahasa dan kira-kira 30 kelompok etnis. Masing-masing kelompok itu cukup kuat secara jumlah. Suku Jawa, misalnya,... Dan masing-masing kelompok itu mempunyai kepribadian, bahasa dan agamanya sendiri-sendiri. Kami mempunyai agama-agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen Protestan dan Katolik, dan agama-agama Cina, tentu saja. Sebagian penduduk kami masih animis. Ya, kecuali agama Yahudi, kami mempunyai semua agama besar di bumi ini. T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, Cet. 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985, hal. 3. Band. Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987, hal. 13 dyb.
[8] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 45-51.
[9] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 51.
[10] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 52
[11] Pada awalnya, Soekarno hanya mengakui 4 agama resmi, sementara Hindu masih dikategorikan sebagai agama animisme karena menyembah batu dan roh-roh yang katanya tidak sesuai dengan ideologi kebangsaan Indonesia yang medern. Muncul kemudian protes dari kalangan penganut Hindu di Bali, dan mengancam akan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya Soekarno, yang menyadari asal-usulnya sebagian berasal dari keluarga Bali, mulai mengakui Hindu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Ahmad Baso, Agar Tidak “Memayoritaskan Diri” tentang Islam, Pluralisme & HAM Kultural, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam Bingkai Gagasan Yang Berserakan, Kata Sambutan: Maria Ulfah dan Kata Pengantar: Alwi Shihab, Nuansa, Bandung, 2005, hal. 49. Selama pemerintahan Orde Baru, agama Kongfutsu pada kenyataannya juga tidak mendapat perlindungan sebagaimana 5 agama lainnya. Lihat dan perhatikan: Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1976 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, tanggal 6 Desember 1967. Status pengakuan hak-hak beragama penganut agama Kongfutsu kembali menjadi agama resmi, nanti melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000.

[12] H. Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, STIH Iblam, Jakarta, 2004, hal. 34 dyb.
[13] Ahmad Baso, Agar Tidak “Memayoritaskan Diri”, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 39.
[14] H.M. Hudi Asrori M, HAM Dalam Perspektif Agama Islam Tinjauan Terhadap Kebebasan Melaksanakan Ibadah Haji, dalam: Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Ed. Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 284 dyb.
[15] Kompas, Selasa 26 Juni 2007
[16] Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 489.
[17] Jazuni, Legislasi Hukum Islam, hal. 148 dyb.
[18] Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, Peny. Cet. 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 550 - 553.
[19] Mahmud Al-Anshari, Penegakan Syariat Islam Dilemma Keumatan di Indonesia, Kata Pengantar: Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, Inisiasi Press, Jakarta, 2005, hal. 139.
[20] Kompas, Selasa 26 Juni 2007.
[21] Kompas, Selasa 26 Juni 2007
[22] Mahmud Al-Anshari, Penegakan Syariat Islam, hal.139.
[23] Mahmud Al-Anshari, Penegakan Syariat Islam, hal. 92.
[24] Mahmud Al-Anshari, Penegakan Syariat Islam, hal. 93.
[25] Endang Turmudi dan Risa Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Ed. LIPI Press, Jakarta, 2005, hal. 222-224.

[26] Mahmud Al-Ashari, Penegakan Syariat Islam, hal. 148.
[27] Ahmad Baso, Agar Tidak Memayoritaskan Diri, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 45.
[28] Syamsuddin Haris, Kompas, 3 Mei 2006:

[29] Ahmad Baso, Agar Tidak “Memayoritas-kan-diri” tentang Islam, Pluarlisme & HAM “Kultural, dan Rumadi, Agama dan Negara: Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia, dalam Sururin: Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 27-50 dan 79-93.
[30] Penulis sendiri, berutang budi kepada kedua Saudara tersebut Ahmad Baso dan Rumadi, karena tulisan mereka turut memberi inspirasi dan memotivasi penulis dalam penentuan pokok Tesis ini: PENPRES 1/1965.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar