Senin, 05 Januari 2009

Regulasi Agama/Bab 5 HAM dan Hak Beragama

BAB V

HAM DAN HAK BERAGAMA


1. Pengertian HAM
Istilah HAM menjadi penting setelah perang dunia ke II dan setelah
pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Istilah tersebut menggantikan istilah Natural Rights dan Rights of Man. HAM yang pada awalnya terkait dengan Natural Rights, dan dengan doktrin hukum alam yang mengakui bahwa: manusia dengan sendirinya memiliki serangkaian hak alamiah yang kekal dan tidak dapat dicabut. Namun kemudian hak-hak tersebut terabaikan dengan adanya hak para raja dan tidak mendapat tempat yang luas.[1] Sedangkan istilah Rights of Man, ternyata menurut penemuan dan penilaian Elenor Roosevelt, tidak otomatis dipahami sebagai suatu pengertian yang mencakup rights of women. Karena itu istilah Human Rights dianggap lebih netral dan universal dan dengan demikian dipakai dalam UDHR[2].
Konsep, idea dan gagasan HAM menurut Aswanto, dapat ditemukan dalam setiap kebudayaan dan peradaban, agama dan tradisi. Mulai dari Nabi Musa, Hukum Hamurabi sebelum tarik masehi sampai pada dokumen-dokumen yang umum diterima sebagai dasar perkembangan HAM seperti Piagam Magna Charta tahun 1215 dan Charter of the United Nation 1946, yang semuanya menjadi dasar penyusunan UDHR yang ditetapkan dalam Sidang Majelis Umum PBB di Istana Chaillot Paris pada tanggal 10 Desember 1948.[3]
HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia karena manusia adalah manusia. Karena manusia lahir sebagai seorang manusia maka dalam hakikatnya sebagai seorang manusia itu manusia mempunyai hak-hak hidup, hak-hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak-hak itu menjadi bagian integral dari diri dan hidup seorang anak bangsa dan anak manusia. Jika hak-hak itu diambil dari seorang manusia maka orang itu tidak hidup sebagai manusia, dan dengan demikian orang tersebut kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Dengan kata-kata lain, sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia maka manusia itu mempunyai hak-hak mendasar yang melekat secara kodrat, abadi, fundamental dan universal pada jati diri manusia.[4] Tanpa HAM manusia kehilangangan kodratnya, kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan tanpa HAM seorang manusia kehilangan kemanusiaannya.
Pemahaman dan pengakuan HAM tersebut dilandaskan pada kodrat manusia itu sendiri dan yang lebih dalam adalah landasan religus-keagamaan, Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan manusia sempurna dan tetap menghendakinya hidup dalam kesempurnaannya.[5]
Untuk dapat memahami lebih jauh tentang pengertian dan cakupan isi HAM maka dengan berdasar pada berbagai pengertian HAM dan sesuai dengan mekanisme universal, sama seperti, Aswanto mengelompokkan HAM dalam empat bagian:
Pertama: Hak sipil (civil rights) yang terdiri atas:
a. Integrity rights (hak menyangkut keutuhan hidup) yang meliputi: rights to life (hak hidup), no death penalty (tidak boleh ada hukuman mati), no turture (tidak boleh ada penyiksaan), no slavery (tidak boleh ada perbudakan), freedom of residence (kebebasan untuk memilih tempat tinggal), freedom of movement (kebebasan untuk bergerak/pindah), rights to leave any country and return to his country (hak untuk hidup di negara mana saja dan kembali ke negara asal), protection of privacy, honour and reputation (pelindungan atas privasi, kehormatan dan reputasi), protection of proverty (perlindungan atas hak kebendaan), freedom of thought, conscience and religion (kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama), right to seek asyulum from persecution (hak untuk minta perlindungan suaka politik dari rasa ketakutan), right to nationality (hak mendapat kewarganegaraan) dan right to family life (hak untuk hidup dengan keluarga).
b. Due process rights (hak untuk porses hukum yang adil) meliputi: no arbitrary arrest, detention or exile (tidak boleh ada kesewenangan dalam penangkapan, penahanan atau pembuangan/pengucilan), right to effective remedy (hak untuk mendapat pembinaan yang efektif), right to fair trial (hak atas pengadilan yang jujur), equality before the courts (semua orang bersamaan kedudukan di depan peradilan), right to the accused (hak bagi terdakwa), nulla poena sine lege (asas legalitas, seseorang tidak boleh dihukum kalau perbuatan yang dilakukan belum diatur di dalam undang-undang sebagai kejahatan).
Kedua: Hak politik (political rights) terdiri atas: opinion and expression (hak berpendapat dan mengeluarkan pendapat), assembly and association ( hak berkumpul dan berorganisasi), take part in government (hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan), equal access to public service (hak yang sama untuk memanfaatkan pelayanan umum), dan elect and be elected (hak memilih dan dipilih).
Ketiga: Hak sosil ekonomi (socioeconomic rights) terdiri atas: right to work (hak mendapat pekerjaan), equal pay for equal work (hak mendapat upah yang seimbang dengan pekerjaan), no forced labour (tidak boleh ada pemaksaan tenaga kerja), trade union (hak membuat serikat kerja), organize and bargaining (hak untuk melakukan negosiasi), restand leisure (hak menggunakan waktu istirahat), edequate standard of living (hak mendapatkan standar hidup yang seimbang), right to food (hak mendapatkan makanan), right to health (hak mendapatkan kesehatan), right to housing (hak mendapatkan perumahan), right to education (hak mendapatkan pendidikan).
Keempat: Hak asasi di bidang budaya (cultural rights) meliputi: take part in cultural life (hak mengambil bagian dalam kehidupan budaya), to benefit from scientific progress (hak menikmati/memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan), protection of authorship and copyright (perlindungan terhadap kebebasan mengarang dan hak cipta), freedom in scientific research and creative activity (kebebasan dalam meneliti ilmu pengetahuan dan berkreasi).
Di samping pengelompokan tersebut, Aswanto juga masih menambahkan pengelompokan lain berupa classical rights yang meliputi: right to self determination, women’s rights, non discrimination, protection of children dan protection of minorities, dan hak generasi baru HAM yang meliputi: hak membangun, hak informasi dan hak lingkungan hidup. [6]
Pengelompokan hak-hak yang dikemukaan di atas menunjukkan bahwa begitu banyak dan luasnya cakupan HAM yang patut dipertimbangkan dalam pergaulan kehidupan manusia baik dalam skala nasional maupun internasional. Karena memang pada dasarnya HAM sebagai hak yang melekat pada kodrat manusia sebagai manusia itu bersifat universal dan juga karena instrument yang mengaturnya juga memuat materi HAM yang bersifat universal baik instrumen internasional maupun instrumen nasional.
Dewasa ini HAM secara jelas menjadi acuan dunia internasional baik bagi pribadi, masyarakat dalam membina dan mengebangkan hubungan hidup, kerja dan karya, terlebih bagi bangsa dan negara dalam menjalankan kebijakan masing-masing. Hal tersebut bukan saja dimungkinkan tetapi juga sudah menjadi kewajiban setiap pribadi, komunitas, intitusi di seluruh dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan disusul dengan instrument lain yang lebih mengikat secara hukum, seperti: Internatonal Covenant on Economic, Social and Culture Rights dan International Covenat on Civil and Political Rights. Kedua perjanjian (covenant) tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 11 Than 2005 dan Nomor 12 Tahun 2005 tanggal 28 Oktober 2005. Sebelumnya pun Indonesia sudah meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984, dan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 serta beberapa instrument internasional lainnya. Dengan demikian masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, di samping mengemban amanah UUD 1945, juga secara moral dan sesuai dengan hukum internasional bertanggungjawab atas pembinaan, pengembangan dan juga atas pelanggaran HAM di seluruh wilayah hukum NKRI.

2. Universalitas dan Isu Internasional HAM
Sebagai hak yang melekat pada manusia karena ia manusia maka HAM bersifat universal. Manusia apapun latarbelakang dan statusnya, siapapun nama dan identitasnya, dengan warna kulit apapun, di manapun tempat tinggalnya dan bagaimanapun kondisinya maka jika ia terlahir, hidup, bekerja dan berkarya di atas permukaan planit bumi ini, ia adalah manusia yang sama dengan manusia lainnya. HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Karena manusia adalah manusia yang sama dalam harkat dan martabatnya dan dalam HAMnya maka HAM mengandung sifat dan nilai-nilai universal. Bersifat dan bernilai universal karena isi yang terkandung dalam HAM dan yang melekat pada manusia itu sendiri, menjadi bagian integral dari manuisa yang ada dan hidup di manapun dan kapanpun di planet bumi ini.
Universalitas HAM juga dapat dipahami dari sudut pengakuan dan pengembangannya. Seperti yang sudah dikatakan oleh Aswanto bahwa yang menjadi dasar atau cikal bakal HAM dewasa ini, dapat ditemukan pada setiap kebudayaan dan peradaban, agama dan tradisi. Ini berarti HAM dikenal bukan saja secara luas tetapi juga diperjuangkan sepanjang sejarah peradaban manusia di planit bumi ini.[7] Dengan demikian HAM itu bersifat universal dan secara khusus menjadi isu internasional sesudah berakhirnya perang dunia II dan pada sekitar sejarah pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)., yang kemudian akhirnya bermuara pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menjadi komitmen bersama dunia internasioanal untuk secara sadar melindungi dan mengembangkan HAM diseluruh muka bumi ini. Karena itu Universal Decclaration of Human Rights (UDHR) tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution, mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa) maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing masing:
Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martbat kemanusiaan antar negara-bangsa agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa UDHM itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan olh pemerintahnya.[8]

Pasal 2 ayat (1) Universal Declaration of Human Rghts (UDHR) menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian dari HAM pada umumnya dan hak kebebasan pada khususnya:
“Setiap orang berhak atas semua hak kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tak ada kekecualiaan apapun, seperti misalnya: … agama …”
Pasal 18 UDHR menyatakan bahwa: hak beragama sebagai HAM dengan segala bentuk perwujudan dan pelaksanaannya, perlu dilindungi; Siapapun dan dimanapun seorang bertanggungjawab melindungi hak beragama:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun yang tersendiri”.

Pasal 18 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang disetujui dan terbuka untuk ditandatangan, pengeshan dan penyertaan dengan Resolusi Majelis umum 2200A (XXI) 16 Desember 1966, menyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama. Hak
ini meliputi kebebasan untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk baik sendirian maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik dihadapan umum maupun di tempat pribadi mewujudkan agama kepercayaannya dengan pemujaan, penataan peribadatan, penataan, pengalaman dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan menggangu
kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri.”[9]

Pasal 6 Deklarasi tentang Penghapusan semua Bentuk Ketidakrukunan dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan, yang diumumkan dengan Resolusi Majelis Umum 36/55, 25 Nopember 1981, menyatakan bahwa:
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (3) hak atas kebebasan berpendapat, hati nurani, beragama atau kepercayaan harus mencakup, antara lain, kebebasan-kebebasan berikut:
(a) Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu
agama atau kepercayaan, dan mendirikan serta mengelola tempat-tempat untuk tujuan ini;
(b) Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau kemanusiaan yang tepat;
(c) Membuat, memperoleh dan mempergunakan sampai sejauh memadai berbagai benda dan material yang diperlukan berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama atau kepercayaan;
(d) Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan berbagai penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini;
(e) Mengajarkan suatu agama atau kepercayaan di tempat-tempat yang cocok untuk tujuan-tujuan ini;
(f) Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari perorangan atau lembaga;
(g) Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau kepercayaan apa pun;
(h) Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama atau kepercayaan seseorang;
(i) Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama atau kepercayaan pada tingat nasional dan internasional.[10]

Karena itu sesuai dengan intrumen internasional dimaksud, baik pribadi, komunitas, lembaga-institusi swasta maupun negara dan pemerintah bertanggungjawab dalam melindungi dan mengembangkan HAM dalam konteks masyarakat, bangsa dan negara masing-masing.
Sifat dan nilai HAM yang universal menjadi lebih intensif dan efektif melalui instrumen-intrumen internasional yang ditetapkan bersama dalam wadah PBB. Disamping UDHR dan deklarasi-deklarasi yang mengikat secara moral sebagai komitmen bangsa-bangsa untuk melindungi dan mengembangkan HAM maka kovenan-kovenan yang bersifat mengikat dan berlaku secara yuridispun ditetapkan. Misalnya, Covenant on Civil and Political Rights dan Covenant on Economic, Social dan Culture Rights, secara hukum-yuridis mengikat dan berlaku umum bagi negara-negara anggota PBB dan mengikat dan berlaku umum bagi warga negara dari semua negara yang sudah meratifikasi atau menjadikan kovenan tersebut menjadi bagian integral dari hukum nasional negara yang meratifikasinya.
Ratifikasi kovenan HAM menjadi undang-undang yang mengikat dan berlaku umum, tidak serta merta menjadikan perlindungan dan pengembangan HAM berlaku efektif di Indonesia. Sama seperti kebanyakan bangsa dan negara berkembang mengikatkan diri dengan perjanjian-perjanjian internasional lebih bernuansa politis ketimbang untuk memajukan HAM. Hal tersebut memang sejalan dengan kebijakan negara-negara barat yang juga mempromosikan HAM lebih bernuansa dan untuk kepentingan politis mereka.[11] Namun karena Indonesia sudah berada dalam perjalanan bersama dan menjadi bagian masyarakat internasional maka menurut Hikmahanto Juwana, bangsa Indonesia perlu menindak lanjuti perjanjian internasioal tentang HAM dengan jalan:
(1) Transformasi ke dalam hukum nasional.
(2) Penyiapan aparatur hukun yang memahami nilai-nilai baru HAM.
(3) Penyiapan infrastruktur pendukung.
(4) Mengkondisikan perubahan budaya hukum masyarakat. [12]
Dengan jalan ini maka HAM yang bersifat universal dan menjadi isu internasional menjadi bagian integral perlindungan dan pengembangan HAM di Indonesia.

3. Hak Beragama sebagai HAM
Hak beragama adalah hak yang terkait dengan individu dan komunitas agama dalam menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ibadah dimaksud di sini tidak hanya dalam arti ritual tetapi juga dalam arti sikap dan perilaku yang terkait dengan kuasa tuhan dalam sakralitas dan ritualitasnya menurut keyakinan agama-agama masing-masing. Atau seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, terkait dengan perjumpaan dan pengalaman dengan kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas dengan segala implikasinya dalam kehidupan baik pribadi-individu maupun sosial-komunitas agama.
Setiap pribadi penganut agama adalah manusia yang harkat dan martabatnya sama dengan manusia lain di manapun dan kapanpun di dunia ini. Ia lahir dalam kodrat manusianya dan karena itu mempunyai hak-hak yang sama dengan manusia lainnya. Karena itu baik sendiri secara pribadi maupun bersama-sama secara kolektif, penganut agama mempunyai hak-hak dalam menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agamanya.
Dalam pengelompokan HAM yang dikemukakan oleh Aswanto di atas, hak beragama masuk dalam kelompok hak sipil dan merupakan hak yang berhubungan dengan keutuhan hidup jasmaniah dan rohaniah, phisik-material dan moral-spiritual seorang anak bangsa dan anak mananusia. Dan dalam banyak instrument HAM baik itu nasional maupun internasional, hak beragama merupakan bagian yang tidak terpisahkan atau bagian integral dari HAM. Suatu hak yang tentunya melekat pada manusia sesuai dengan kodrat manusianya. Bahkan bilamana dihubungkan dengan keyakinan agama maka hak beragama sebagai HAM adalah hak yang langsung diterima atau merupakan karunia dari Tuhan sesuai dengan keyakinan dalam masing-masing agama.[13]
Karena hak tersebut berasal langsung dari Tuhan maka tidak ada seorangpun dan tidak ada pihak manapun yang dapat membatasi, mengurangi apalagi merampas dan menghilangkan hak bergama itu dari seorang anak bangsa dan anak manusia. Hak beragama tersebut sama dengan hak-hak lainnya yang melekat pada manusia, diterima manusia dan ada pada manusia mendahului hak yang ditetapkan dan diberikan oleh masyarakat dan negara bagi seorang anak bangsa dan anak manusia.[14] Dalam UDHR hak itu disebut dalam article 18: Everyone has the right of … and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, …. Dalam UUD 1945, disebut dalam Pasal 28 I (1), bahwa … hak beragama … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, dinyatakan lebih tegas lagi bahwa “hak untuk hidup, ….hak beragama,… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. [15]
[1] Slamet Marta Wardaya, Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM), dalam: Muladi, Hak Asasi Manusia, hal. 3.
[2] Satya Arinanto, Sejarah HAM dalam Perspektif Barat, dalam: E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal. 3-4.
[3] Aswanto, Refleksi, Pedoman Rakyat, Senin 11 Desember 2006.
[4] Weinata Sairn dan J.M. Pattiasina, Peny. Hubungan Gereja dan Negara dan Hak-Hak Asasi Manusia Bunga Rampai Pemikiran, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 82; band. A. Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi, hal. 73-74.
[5] Aswanto, Hakikat Hak Asasi Manusia, Pedoman Rakyat, Selasa 19 Desember 2006 dan A Gunawan Setiardji, Hak-Hak Asasi, hal. 75.

[6] Aswanto, Hakikat Hak Asasi Manusia, Pedoman Rakyat, Selasa 19 Desember 2006.
[7] Aswanto, mencatat perjuangan HAM terjadi sepanjang sejarah umat manusia, misalnya dari dunia klasik Nabi Musa dalam memerdekakan umat Yahudi menyadari pentingnya penegakan kemerdekaan dan keadilan; Hukum Hamurabi di Babylonia, 2000 tahun sebeleum masehi memberi jaminan keadilan bagi warga negaranya; Solon, 600 tahun sebelum masehi di Athena, mengadakan pembaharuan hukum dengan memberi perlindungan peradilan; para filsuf Yunani Plato dan Socrates, Aristoteles, masuk dalam barisan pembela HAM; Piagam Magna Charta, 15 Juni 1215 merupakan kemenangan dan lambang perlindungan HAM; tokoh-tokoh Thomas Aquino (1215-1274), John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778), merupakan pelopor pemikir yang memajukan HAM, sampai pada sejarah modern dengan terbentuknya PBB, HAM telah menjadi pokok perjuangan utama. Refleksi, Pedoman Rakyat, Senin, 11 Desember 2006.
[8] Adnan Buyung Nasution, Pengantar, dalam: Peter Baehr, dkk., Peny. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001 hal. xx.
[9] Ketik tebal dalam kedua kutipan UDHR dan Kovenan tersebut, dari penulis sendiri, untuk menekankan pentingnya hak beragama, Kutipan dan Terjemahan dari: Peter Baehr, dkk., Peny. Instrumen Internasional, hal. 302.
[10] Kutipan dan Terjemahan dari: Peter Baehr, dkk., Instrumen Internasional, hal. 653-654.
[11] Hikmahanto Juwana, PemberdayaanBudaya Hukum Dalam Perlindungan HAM di Indonesia: HAM Dalam Perspektif Sistem Hukum Internasiona , dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, hal. 73-74.
[12] Hikmahanto Juwana, Pemberdayaan Budaya Hukum, dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, hal. 75.
[13] Band.”Pendapat John Locke yang menyatakan bahwa hak asasi manusia yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai karunia berupa hak-hak bersifat kodrat”. Aswanto, Hakikat Hak Asasi Manusia, Pedoman Rakyat, Selasa 19 Desember 2006.
[14] Franz Magnis Sseno, Hak-Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, dalam: Orientasi Baru, Jurnal Filsfat dan Teologi Universitas Sanata Dharma, No. 11 Tahun 1998, hal. 10.
[15] Ketik tebal dibuat oleh penulis untuk menekankan pentingnya hak beragama sebagai bagian HAM sebagaimana dinyatakan dalam UDHR, UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar