BAB III
BUKAN NEGARA AGAMA
DAN
BUKAN NEGARA SEKULER
Sebagaimana dikemukakan dalam latarbelakang bahwa dengan ditetapkannya Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, NKRI menyatakan dirinya sebagai bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler. Kesepakatan dan ketetapan ini mengakhiri polemik yang panjang tentang “dasar” negara menjelang proklamasi bangsa Indonesia. Moh. Mahfud MD mencatat bahwa pada tahun 1980-an, pernah muncul polemik sekitar masalah ini. Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Sunawar Sukowati mengatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler. Tetapi hal tersebut dibantah oleh rekan-rekan separtainya dan para pejabat negara termasuk Presiden Soeharto, menyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler tetapi negara Pancasila. Karena itu perlu dibahas lebih lanjut di sini dasar negara Pancasila.
1. Dasar Negara: Pancasila
Penetapan Rancangan UUD 1945 menjadi UUD 1945, dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, menjadi dasar diterimanya Pancasila sebagai dasar NKRI. Pancasila dimaksud sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD1945 adalah
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan,
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun penetapan UUD 1945 bersifat darurat atau sementara dan Indonesia pernah menerima Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang kemudian dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang disyahkan oleh DPR tanggal 22 Juli 1959 menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, Pancasila tetap tercantum dalam pembukaan masing-masing Undang-Undang tersebut.[1]
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara, tercantum juga dalam ketetapan MPRS Nomor: XX/MPRS/1966 dan karena itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa: Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Konsekuensi dari Undang-Undang ini ialah bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang apapun dan tingkat manapun sesuai dengan hierarkinya,[2] di seluruh wilayah hukum NKRI tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dan mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Formalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui UUD 1945 merupakan “jalan tengah” atas perbedaan pendapat dalam menetapkan dasar negara menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.[3] Jalan tengah itu menempatkan Pancasila sebagai dasar negara sehingga negara Indonesia yang diproklamasikan menjadi negara Pancasila. Negara Pancasila adalah NKRI, bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Dalam jalan tengah ini, sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa menurut B.J. Boland, terkandung gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya.[4]
Lebih jauh dan lebih dalam dari formalisasi, Pancasila diterima sebagai jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami apa yang pernah dikatakan oleh Soeharto, Presiden Republik Indonesia ke 2, bahwa: “Pancasila adalah masalah hidup matinya bangsa Indonesia”.[5] Sebab jika jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa mendapat perhatian yang proporsional dan signifikan maka bangsa ini dapat kokoh teguh dan langeng berdiri sebagai bangsa yang maju dan modern sama dengan bangsa lain pada satu sisi dan pada sisi lainnya bangsa Indonesia memiliki kepribadian yang lain dari bangsa-bangsa manapun di dunia ini. Akan tetapi sebaliknya, jika tidak mendapat perhatian maka bukan tidak mungkin disintegrasi menjadi ancaman dan kehancuran bangsa Indonesia ada diambang pintu. Atau paling tidak ancaman terhadap eksistensi NKRI terbuka melalui kerawanan primordialisme golongan, suku, ras dan agama.[6]
Karena itu dalam tekad untuk secara murni dan konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, Soeharto sebagai Kepala Negara menyatakan bahwa: “Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Republik Indonesia tidak perlu dipersoalkan lagi. Mempersoalkan lagi masalah ini sama halnya dengan usaha yang sia-sia untuk memutar mundur jarum sejarah”. Dan untuk membangun masa depan yang lebih baik pun Soeharto menyakini bahwa: "Tidak ada keraguan kita sedikitpun mengenai kebenaran Pancasila bagi kebaikan, kebahagian dan keselamatan bangsa kita".[7]
Hal yang sama dikemukakan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato peringatan 61 tahun lahirnya Pancasila 1 Juni 2006, bahwa:
Pancasila sudah memberi kerangka solusi atas ketegangan dan masalah yang timbul terkait dengan nasionalisme dan internasionalisme (globalisasi), demokrasi dan kesejahteraan sosial, dan hubungan negara dan agama. Pancasila masih relevan sebagai rujukan, sumber pencerahan, sumber inspirasi dan jendela solusi di masa transisi ini yang penuh tantangan dan anacaman. [8]
Hal senada juga dinyatakan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno setelah bertemu dan berkumpul dengan sejumlah tokoh nasional dan seusai bertemu mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarno Putri, Wiranto, Akbar Tanjung, tokoh agama dan aktivis, menyatakan bahwa di tengah dinamika reformasi dan demokratisasi yang sudah belangsung delapan tahun di Indonesia, para elit politik, pemimpin dan cendekiawan melupakan bahkan meninggalkan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan, jati diri, pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Try Sutrisno, “seharusnya nilai-nilai Pancasila menjadi sesuatu yang kita sepakati, yang dapat menjamin kemajemukan dan kebhinekaan kita. Para pemimpin dan politisi hendaknya kembali memahami, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian maupun dalam berpolitik.”.[9]
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2006, juga mengeluarkan maklumat untuk mempertahankan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Karena semuanya sudah final bagi Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama merasa perlu merakit kesatuan dan keutuhan, karena sejarah membuktikan bahwa bila Pancasila dipersoalkan atau diganti akan selalu menimbulkan perpecahan. Bagi Nahdlatul Ulama, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI itu merupakan upaya final umat Islam dan seluruh bangsa.[10] Dengan demikian bersama semua komponen bangsa Indonesia yang menyadari pentingnya Pancasila sebagai dasar negara, NU tentunya bukan saja akan mengawal Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tetapi lebih dari pada itu membudayakan dan menjadikan nilai-nilai Pancasila suatu realitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Indonesia sebagai Negara Hukum
UUD 1945 sebagai konstitusi dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Rumusan klasik dan sederhana, tentang negara hukum, dikemukakan oleh Aristoteles bahwa: "negara hukum sebagai negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada seluruh warganya dan negara yang baik adalah negara yang diatur dan diperintah sesuai dengan konstitusi". Lebih jauh Aristoteles, menyatakan bahwa ada tiga unsur dari negara atau pemerintahan yang diatur sesuai dengan konstitusi:
Pertama: pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum.
Kedua, pemerintahan yang dilaksnakan menurut hukum yang berdasar
pada ketentuan umum bukan hukum yang dibuat secara sewenang-
wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.
Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan
atas kehendak rakyat bukan berupa paksaan dan tekanan.[11]
Dewasa ini pengertian negara hukum berasal dari tradisi hukum Eropa kontinental dan Anglo Saxon. Dalam tradisi Eropa kontinental, negara hukum berasal dari konsep rechtstaat, yang berbeda dari tradisi Anglo Saxon, dengan konsep rule of law. Rechtstaat yang dilatarbelakangi perjuangan menentang absolutisme kekuasaan raja dan karena itu sifatnya revolusioner. Sedangkan rule of law, sebaliknya berkembang secara evolusioner. Rectstaat bertumpu pada sistem civil law dan rule of law bertumpu pada sistem common law. Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan common law adalah judisial.
Ciri-ciri rechtstaat adalah:
(1) Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
(2) Adanya pembagian kekuasaan negara.
(3) Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Sedangkan ciri rule of law sebagaimana dikemukakan oleh Albert Venn. Dicey, adalah:
(1) Supremacy of law, supremasi hukum artinya yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum.
(2) Equality before the law, persamaan setiap pribadi di hadapan hukum
atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law
of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court. Ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, dan karena itu tidak ada peradilan administrasi negara.
(3) Human rights. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.[12]
Meskipun kedua konsep tersebut berbeda, namun pada dasarnya mempunyai muara dan tujuan yang sama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap HAM dalam kehidupan bernegara,[13] dan pengakuan supremasi hukum.[14] Dengan latarbelakang perjuangan yang berbeda dari kedua kosep civil law dan rule of law, Indonesia ingin membangun suatu negara hukum yang menurut Krisna Harahap, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Keserasian hubungan antara pemerintah-rakyat berdasar asas
kekeluargaan
(2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasan-kekuasaan
(3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan usaha terakhir
(4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menurut Jimly Asshiddiqie, prinsip negara hukum dalam konteks Indonesia sekarang ini, perlu 13 prinsip pokok yang menjadi pilar utama penyangga berdirinya suatu negara hukum yang modern. Pilar penyangga dimaksud adalah:
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
c. Asas legalitas (due process of law)
d. Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan undang-undang dasar
e. Berfungsinya organ-organ negara yang independen dan saling mengendalikan
f. Prinsip peradilan bebas
g. Tersedianya upaya peradilan Tata Usaha Negara
h. Tersedianya upaya peradilan Tata Negara (constitutional adjudication)
i. Adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia
j. Bersifat demokratis (democratic rule of law atau democratische rechsstaat) sehingga pembentukan hukum yang bersifat demokratis dan partisipatoris dapat terjamin
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsstaat)
l. Adanya pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya mekanisme control sosial yang terbuka
m. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa [15]
Dengan ditetapkannya Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka negara hukum itu adalah negara hukum yang demokratis dan negara hukum yang berdasar pada hukum. Hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang bersumber pada Pancasila. Sebab Pancasila secara hukumpun telah ditetapkan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi acuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diberlakukan di seluruh wilyah kedaulatan NKRI.
3. Kedaulatan Negara atas Warga Negara
Kedaulatan (souvereiniteit atau sovereignty) merupakan konsep mengenai
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Biasanya konsep ini terkait dengan hubungan internasional yang menyatakan keberadaan suatu negara di antara negara-negara lainnya. Karena itu menurut Jimly Asshiddiqie, kedaulatan negara seperti dimaksud, bersifat eksternal dan dengan demikian jarang dibahas dalam hukum tata negara. Kedaulatan yang umum dibahas dalam hukum tata negara adalah kedaulatan yang bersifat internal yang meliputi:
(1) Kedaulatan Tuhan (The sovereignty of God): suatu kedaulatan yang bersumber pada kekuasaan Tuhan. “Tuhan Yang Maha Kuasa” menjadi sumber segala kekuasan.
(2) Kedaulatan Raja atau Ratu (The sovereignty of King or of Queen): suatu kedaulatan yang berada di tangan seorang Raja atau Ratu. Raja atau Ratu merupakan penjelmaan kuasa illahi dan dengan demikian menerima kekuasan mutlak sebagai perwakilan Tuhan bahkan sebagai emanasi Tuhan sendiri.
(3) Kedaulatan Rakyat (The sovereignty of People): suatu kedaulatan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Rakyat menjadi sumber kedaulatan dan sekaligus muara dari kedaulatan.
(4) Kedaulatan Hukum (The sovereignty of Law): suatu kedaulatan yang dijalankan berdasarkan hukum, supremasi hukum. Pengelolaan kekuasaan dengan segala kebijakannya berjalan sesuai dengan hukum. Hukum adalah “panglima,” dan atau kekuasaan tertinggi adalah hukum.[16]
Memperhatikan pengertian kedaulatan tersebut dan mengacu pada UUD 1945 maka baik secara eksternal di tengah pergaulan dunia internasional maupun internal-nasional, menurut Jimly Asshiddiqie, Indonesia menganut paham kedaulatan yang unik yaitu gabungan kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.[17] Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat; rakyat yang memerintah, demos, yang berarti rakyat dan kratein atau kratos yang berarti memerintah, yang kemudian pelaksanakannya mengacu pada suatu Undang-Undang Dasar (democratische rechtsstaat atau constitutional democracy). Inilah kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi dan demokrasi yang diatur dan berjalan sesuai dengan konstitusi UUD 1945.
Sementara itu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa:
“Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Ini berarti bahwa kedaulatan yang berlaku adalah kedaulatan hukum. Hukum menjadi panglima tertinggi, supremasi hukum menjadi hal yang prinsipial dan paling utama dalam pengelolaan negara dan dalam penetapan regulasi-regulasi serta dalam pengambilan kebijakan negara dan pemerintah.
Pada saat yang sama paham kedaulatan Tuhan, juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. UUD 1945, mengakui bahwa baik perjuangan dan proklamasi kemerdekaan maupun kelanjutannya sebagai bangsa Indonsia, semuanya adalah berkat Tuhan Yang Maha Esa. Paham dimaksud dinyatakan dengan jelas dalam alinea Pembukaan UUD 1945:
(1) Alinea ke 3: “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa ...”.
(2) Alinea ke 4: “ ... kemerdekaan kebangsaan ... Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, ...”
Dan dalam Pasal-pasal UUD 1945 dinyatakan dalam:
(1) Pasal 9 ayat (1) dan (2), yang menyatakan tentang sumpah demi Allah dan janji di hadapan Tuhan dan Allah sebelum Presiden dan Wakil Presiden memangku jabatannya.
(2) Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya maasing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Pasal 28 J ayat (2) yang menyatakan bahwa: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang ... sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama...[18]
Paham kedaulatan Tuhan dimaksud terpadu dan terintegrasi sedemikian rupa dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sehingga seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshieddiqie, bahwa: "Indonesia tidak menjadi negara agama apalagi negara suatu agama tertentu tetapi Indonesia adalah negara yang tidak memisahkan cita kekuasaan negara dari cita Ketuhanan Yang Maha Esa seperti dalam paham negara sekuler".[19] Dalam keterpaduan dan keterintegrasian paham kedaulatan atau kekuasaan tersebut sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, negara mengelola kehidupan bermsayarakat, berbangsa dan benegara melalui peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian berdasar pada analisis yuridis tersebut dan
memperhatikan unsur-unsur berdirinya suatu negara sebagaimana dikemukakan sebelumnya maka dalam rangka menjalankan kedaulatannya negara dan pemerintah berhak dan bertanggungjawab meregulasi kehudupan warga negara melalui peraturan perudang-undangan. Regulasi agama yang ditetapkan dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah bentuk dan sekaligus bukti kedaulatan negara dan pemerintah yang mengikat dan berlaku wajib bagi warga negara Indonesia.
4. Kewajiban dan Loyalitas Warga Negara
Setiap warga negara (citizen) mempunyai hak dan kewajiban
konstitusional yang sama (constitutional rights and obligations), suatu hak dan kewajiban yang berbeda dari HAM. Secara hukum, tidak ada pembedaan perlakuan di antara warga negara. Ungkapan: Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, atau equality before the law, dapat menggambarkan kesamaan kedudukan setiap warga negara di tengah kehidupan masyarakat dan dihadapan hukum di Indonesia.
Warga negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 adalah: "Orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan oleh Undang-Undang sebagai warga negara.” Pengertian ini diperjelas dan diperluas dalam Pasal 4 ayat (a) sampai dengan ayat (m) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Setiap warga negara wajib hukumnya tunduk di bawah kedaulatan dan kekuasaan negara dan pemerintah. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: "Segala warga negara ... wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Karena itu tidak ada satu pun warga negara berada di luar kedaulatan dan kekuasaan negara. Semua warga negara siapapun ia, dan dari latarbelakang dan status apapun, semuanya tunduk dan menundukkan serta memberi diri pada negara.
Loyalitas atau kepatuhan warga negara pada negara dapat dilihat sebagai kepatuhan alamiah karena ia adalah bagian dari komunitas masyarakat. Seseorang memenuhi kewajiban hukumnya membayar utang-utangnya, misalnya, menurut Hans Kelsen, bukan semata-mata untuk menghindari saksi dan atau tindakan memaksa yang ditentukan hukum, melainkan karena seorang itu mengetahui bahwa jika ia dengan tulus membayar utang-utangnya maka kepercayaan terhadapnya akan meningkat. Sedangkan jika tidak membayar utang-utangnya maka ia akan kehilangan kepercayaan.[20]
Sementara itu, loyalitas atau kepatuhan warga negara pada negara, secara yuridis merupakan pengakuan kedaulatan dan kekuasaan negara sesuai dengan prosedur atau mekanismenya. Kedaulatan apapun bentuknya, apakah kedaulatan Tuhan, Raja atau Ratu, Rakyat dan Hukum, sepanjang pengelolaan kedaulatan dan kekuasaan itu bersesuaian dengan prosedur dan mekanisme sebagaimana diamanahkan dalam konstitusi maka bagi warga negara, wajib hukumnya atau secara hukum memberi diri untuk patuh dan atau loyal pada negara dan pemerintah.
Karena itu secara yuridis setiap warga negara wajib menundukkan dan patuh pada negara dan pemerintah sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Kewajiban ini bukan saja sebagai amanah konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 tetapi juga merupakan kesadaran warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian setiap warga negara Indonesiapun seyogianya dan wajib menunjukkan loyalitasnya pada PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Karena pada satu sisi produk hukum ini secara yuridis dibentuk dan ditetapkan oleh negara dan pemerintah sesuai dengan kedaulatan dan kekuasaannya, dan pada sisi lainnya warga negara itu sendiri sesuai dengan status kewarganegaraannya wajib menundukkan diri dan loyal pada negara dan pemerintah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Tempat dan Peran Agama Dalam Negara Pancasila
Sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler dan sekaligus sebagai negara Pancasila dan negara hukum maka Indonesia pada satu sisi memberi kebebasan kepada warga negara untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupan beragama sesuai dengan keyakinan masing-masing dan pada sisi lain menempatkannya dalam koridor regulasi kehidupan publik. Dalam NKRI ada kebebasan yang luas bagi setiap pribadi dan komunitas agama menjalankan ibadah dan kewajiban agama masing-masing penganut agama yang diakui negara dan pemerintah. Tetapi pada saat yang sama, kebebasan itu dilaksanakan dalam pembatasan yaitu hanya bagi penganut agama-agama yang diakui dan sesuai dengan koridor regulasi yang dibuat oleh negara dan pemerintah atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam negara yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler, agama dalam arti luas sebagai sisten religi dan kepercayaan kepada kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas yang dikembangkan oleh umat sesuai dengan keyakinan indivual dan komunal diperhadapkan pada realitas adanya regulasi formal yang dibuat oleh negara. Realitas tersebut tidak dapat dilepaskan dari tarik–ulur perbedaan pendapat dalam melihat relasi agama dan negara yang sebelum proklamasi sudah nampak dalam perbedaan pandangan golongan agama dan golongan nasionalis, yang kemudian dari waktu ke waktu masalah tersebut menjadi komoditas politik untuk mendapatkan posisi kekuasaan. Dari posisi kekuasaan kemudian berkembang terus dan berbuah ke regulasi kehidupan beragama yang mau tidak mau menjadi kewajiban hukum bagi warga negara yang diam di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mematuhinya.
Memahami pergumulan dan perjuangan para founding fathers bangsa Indonesia, khususnya pada saat proklamasi kemerdekaan, hanyalah kearifan yang menjadi sarana mempertahankan dan mengembangkan kebersamaan dan kesatuan dalam bangsa dan negara Indonesia yang sedemikian pluralnya. Soekarno sebagai founding father yang memegang peran yang sangat signifikan dalam meletakkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semaksimalnya, meyakinkan semua elemen-komponen bangsa ini dalam memasuki kehidupan bersama dalam negara Indonesia. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diterima sebagai hari lahirnya Pencasila, Soekarno menyatakan bahwa:
Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih… menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan. Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ke-tuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!.”[21]
Dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan staatsfundamentalnorm dan yang tidak dapat diubah oleh siapapun sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, prinsip kelima ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam pidato Soekarno, menjadi prinsip yang pertama dan utama yang mengilhami keempat prinsip lainnya dalam Pancasila.[22] Dan dewasa ini, rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi acuan utama dan resmi tentang Pancasila.
Dengan dasar Ketuhanan tersebut, para founding fathers menerima tempat dan peran agama yang sangat signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. B.J. Boland seperti yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD, mengatakan bahwa:
Negara ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya. Atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation building dan character building pembentukan bangsa serta pembinaan watak negara. Jadi penyelesaian secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu Undang-Undang Dasar yang mempergunakan peristilahan Islam tanpa menerima sungguh-sungguh makna Islamnya tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik bersama seperti yang tercantum dalam Pancasila, dengan silanya pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa.[23]
Negara Indonesia bukan negara agama yang diatur menurut hukum agama tetapi negara yang memberi tempat dan peran agama-agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Negara Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan kehidupan keagamaan individual dan kolektif dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetapi negara yang memberi tempat dan peran aktif agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk menjalankan peran agama seperti di atas maka didirikanlah Kantor Urusan Agama yang kemudian menjadi Departemen Agama dalam pemerintahan NKRI. Melalui Departemen Agama, negara pada umumnya dan pemerintah pada khususnya membina dan mengembangkan kehidupan beragama bagi pemeluk-pemeluknya sesuai dengan hak-hak individual dan kolektif komunitas agama. Tetapi pada saat yang sama sebagai risiko dan konsekuensi dari negara hukum maka pembinaan dan pengembangan tersebut dilaksanakan melalui regulasi-regulasi kehidupan beragama. Karena itu tidak mengherankan jika ada regulasi kehidupan beragama yang ditetapkan oleh negara dan pemerintah. Regulasi mana pada satu sisi merupakan upaya negara dalam membina warga negara dalam kehidupan beragama sesuai dengan HAM dan pada sisi lainnya regulasi itu sendiri dapat diinterpretasi sebagai upaya membatasi HAM dalam hal ini hak beragama. PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 secara hukum mengikat dan berlaku bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia tanpa kecuali.
[1] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 53 dyb.
[2] Hierarki Peraturan Perundang-undang menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945. (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (3) Peraturan Pemerintah. (4) Peraturan Presiden (5) Peraturan Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa). Menurut Ketatapan MPR Nomor III/MPR/2000, adalah: (1) Undang–Undang Dasar 1945. (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (3) Undang-Undang. (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). (5) Peraturan Pemerintah. (6) Keputsan Presiden yang bersifat mengatur dan (7) Peraturan Daerah. Sedangkan menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945. (2) Ketetapan MPRS/MPR. (3) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). (4) Peraturan Pemerintah. (5) Keputusan Presiden. (6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.
[3] Suatu analisis perbedaan antara golongan Islam dan golongan nasinalis dikemukakan oleh Endang Saifuddin Anshori, dan dielaborasi oleh Moh. Mahfud MD, tentang keanggotaan BPUPKI, Panitia 9 Perumus Piagam Jakarta dan PPKI adalah gologan Islam 25% (15 orang) dan golongan nasionalis 75% (47 orang). Dalam Panitia 9 Perumus Piagam Jakarta, golongan Islam 44% (4 orang) dan golongan nasionalis 56% (5 orang ). Sedangkan dalam PPKI golongan Islam hanya 12% saja. Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 45-46.
[4] Dikutip dari Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 51-52.
[5] Sambutan Presiden pada Pembukaan Musyawarah Kerja Kwartir Nasional Gerekan Pramuka dengan Kwartir Daerah Seluruh Indonesia, pada tanggal 12 April 1976 di Istana Bogor, Dikti Depdikdub, Bahan Penataran dan Referensi Penataran P4, Dikti Depdikbud, Jakarta,1990, hal. 54.
[6] Eka Dharmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, hal. 143 dyb.
[7] Dikti Depdikbud, Bahan Penataran, hal. 425-425, 453.
[8] Kompas, Jumaat, 2 Juni 2006. Dalam pidato perayaan HUT kemerdekaan RI ke 62, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan empat konsensus dasar dalam kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Kompas, Sabtu. 18 Agustus 2007.
[9] Kompas, Jumat, 2 Juni 2006.
[10] Kompas, Senin, 31 Juli 2006.
[11] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 11.
[12] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 20-22 dan Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 73-75.
[13] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 73.
[14] Morisson, Hukum Tata Negara Era Reformasi, Randina Prakarsa, Jakarta, 2005, hal. 107
[15] Jimly Asshiddiqie, Hukm Tata Negara, hal. 309-310.
[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 143-147.
[17] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 149.
[18] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 149
[19] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 150.
[20] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 31.
[21] Saafroedin Bahar dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1992, hal. 68-69.
[22] Lihat Bagian Kesatu: Dasar Negara, Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 3 dyb.
[23] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 51-52.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar