BAB IV
AGAMA DAN REGULASI AGAMA
1. Pengertian Agama
Agama pada khususnya dan kehidupan beragama pada umumnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu seperti berdoa, memuja dan memuji, menimbulkan sikap mental tertentu seperti rasa takut, hormat, pasrah, optimis dari individu dan masyarakat. Karena itu individu dan masyarakat berusaha mematuhi keingingan makhluk gaib dalam kehidupan masing-masing agar hidup terpelihara dan selamat.[1] Kepatuhan manusia sebagai individu dan masyarakat dari tingkat yang paling sederhana dalam “rasa takut dan hormat kepada kuasa gaib”, sampai pada tingkat tertentu dalam “jalan keselamatan”, menjadi suatu system yang dapat dikategorikan dalam pengertian agama.
Kortjaraningrat, menjelaskan pengertian agama dalam dua kategori:
(1) Agama sebagai sistem religi yang berlaku hanya bagi penganutnya,
seperti masing-masing agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Kongfutsu, dan agama-agama yang lainnya.
(2) Agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh
negara Indonesia. [2]
Agama sebagai suatu sistem religi, menurut Koentjaraningrat, mempuyai empat komponen:
(1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius.
(2) System keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib (supernatural) serta nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
(3) Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.
(4) Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem tersebut dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara keagamaan.[3]
S. Radhakrishnan, juga mengemukakan pengertian agama dalam dua kategori yaitu agama yang menekankan objek dan agama yang menekankan pengalaman. Untuk kategori pertama, agama adalah sikap kepercayaan dan perilaku yang tertuju kepada suatu kekuasaan di luar manusia. Sedangkan untuk kategori kedua, agama adalah suatu pengalaman yang diberi nilai tertinggi oleh individu penganutnya.[4]
Baik pengertian yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dengan keempat komponennya maupun oleh S. Radhakrishnan dengan kedua kategorinya, suatu agama terkait erat dengan idea, sikap dan perilaku manusia terhadap kuasa yang ada di sekitar manusia yang langsung atau tidak langsung memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri di dalam dunia ini.
Untuk memperluas pengertian agama maka perlu dilihat hubungannnya dengan pengertian religi dan religiositas. Telah dikemukakan di atas bahwa agama adalah sistem religi. Itu berarti agama merupakan suatu rangkaian idea, pemahaman, pikiran, sikap, perilaku, tindakan religius atau yang berhubungan dengan religi, yang satu dengan yang lainnya berada dalam satu kesatuan yang utuh.
Jika demikian apa yang dimaksud dengan religi? Istilah religi berasal dari bahasa Latin religio atau relegere, yang berarti “mengumpulkan” dan dapat juga berarti: “mengikat”. Dalam konotasi bahasa Latin, kata religio menekankan arti ikatan atau keterikatan manusia dengan kelompok dan dengan kuasa gaib atau dunia supranatural. Keterikatan manusia dengan kelompok dan dengan kuasa gaib adalah keterikatan manusia secara pribadi. Karena itu religi merupakan urusan pribadi seseorang berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaannya terhadap kuasa gaib.[5]
Dalam agama-agama, apapun bentuknya, terdapat kesadaran bersama akan adanya relasi antara pemeluk agama dan kepercayaan akan adanya kuasa gaib yang transenden. Relasi itu mencakup perintah, petunjuk atau kehendak kuasa gaib yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang oleh P. D. Latuihamallo disebut sebagai religiositas.[6] Religiositas ini ada dalam setiap agama apapun nama dan bentuknya agama itu.
Berdasar pada uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian agama
secara umum:
(1) Agama terkait dengan sisten religi;
(2) Sistem religi terkait dengan idea, sikap dan perilaku manusia secara pribadi dengan kuasa gaib yang transenden; dan
(3) Idea, sikap dan perilaku manusia secara pribadi itu terkait dengan kesadaran adanya relasi pemeluk agama dengan perintah dan kehendak kuasa yang gaib dan yang transenden.
Sedangkan pengertian agama secara khusus, terkait dengan sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara dan pemerintah Indonesia. Pengakuan secara resmi diakuinya suatu sistem religi menjadi agama, dihubungkan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh negara dan pemerintah yaitu:
(1) Memiliki Kitab Suci;
(2) Memiliki nabi sebagai pembawa risalah agama;
(3) Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa); dan
(4) Memiliki tata agama dan ibadah bagi pemeluknya-pemeluknya.[7]
Dalam konteks persyaratan inilah kehadiran agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu diterima sebagai agama yang diakui resmi di Indonesia.
Agama, religi dan religiositas dapat lebih jauh dimengerti dalam uraian selanjutnya tentang unsur-unsur agama.
2. Unsur-unsur Agama
Unsur-unsur agama, sama dengan apa yang disebut oleh
Koentjaraningrat dengan istilah komponen agama. Sedangkan Bustanuddin Agus menyebutnya dengan aspek-aspek agama[8]. Istilah aspek, bagi Bustanuddin Agus, mempunyai arti yang sama dengan komponen dan atau unsur-unsur. Namun dalam penganalisaan suatu unsur dapat diurai atau dideskripsikan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan spesifik. Sedangkan aspek menunjuk pada salah satu segi dan atau sudut pandang dalam melihat dan menganalisa sesuatu. Dan karena agama merupakan suatu totalitas maka dalam menganalisa agama secara ilmiah khususnya dalam ilmu anthropologi, bagi Bustanuddin Agus idealnya dipakai istilah aspek ketimbang istilah unsur atau komponen. Penulis sendiri tetap menggunakan unsur, selain pemakaian istilah ini sejalan dengan pemakain istilah yang sama dalam menganalisa pemahaman tentang negara, juga istilah unsur menunjuk pada bagian yang tidak terpisahkan dari bagian yang lainnya yang membentuk apa yang dideskripsikan disini yaitu agama. Ada empat unsur utama dari suatu agama sehingga dapat disebut agama:
Pertama: Unsur kepercayaan kepada kuasa tuhan.[9] Bustanuddin Agus , menyebut unsur ini sebagai aspek kepercayaan kepada kekuatan gaib.[10] Unsur ini merupakan unsur yang paling utama dan menjadi pusat suatu agama pada khususnya dan kehidupan beragama pada umumnya. Dikatakan paling utama dan menjadi pusat suatu agama karena dari kepercayaan kepada kuasa tuhan inilah mengalir segala bentuk petunjuk, perintah, ajaran dan larangan-larangan yang ada dan berlaku dalam kehidupan suatu komunitas beragama. Bagi para penganut agama yang setia dan taat pada perintah tuhannya, akan mengalir berkat yang berlimpah dan sebaliknya bagi mereka yang tidak setia akan menerima ganjaran dan hukuman yang dapat mempersulit kehidupan manusia baik secara pribadi-individual maupun secara bersama-kolektif.
Pada saat yang sama, dikatakan paling penting dan menjadi pusat karena kepercayaan kepada kuasa tuhan dan bahkan hanyalah kepada “Dia Tuhan” saja, segala bentuk penyembahan diarahkan dan ditujukan. Sebab jika tidak demikian, ganjaran dan hukuman akan menjadi kenyataan dalam kehidupan seorang penganut agama itu, bukan saja dalam hidup sekarang ini tetapi juga kemudian sesudah kehidupan di dunia ini berakhir.
Mengingat pentingnya kepercayaan kepada tuhan ini maka Max Webber, menyatakan bahwa tidak ada masyarakat tanpa agama, tidak masyarakat tanpa kepercayaan kepada kuasa tuhan. Kalau suatu masyarakat ingin bertahan lama maka harus ada tuhan yang disembah. Karena itu dalam realitasnya, masyarakat apapun dari zaman kuno sampai dengan dewasa ini, semuanya percaya dan menyembah tuhan walaupun dalam berbagai bentuk dan rumusan yang berbeda.[11]
Kepercayaan adanya kuasa tuhan menempatkan dunia yang berada di atas alam (supernatural) atau di balik alam fisik (metafisik) ataupun yang diluar jangkauan manusia (transenden) dengan kekuasaannya yang diluar alam nyata, langsung atau tidak langsung memengaruhi dunia dan kehidupan nyata manusia di alam ini. Kata-kata seperti tuhan, dewa, illah, roh, kuasa atau kekuatan gaib, alam gaib, mujizat, menjadi representasi dunia supranatural, metafisik atau transenden itu terhadap dunia dan kehidupan manusia. Kehadiran kuasa tuhan yang pernah diidentifikasi oleh Rudolf Otto sebagai the Wholly Other (Sang Maha Lain), the Holly (Sang Kudus) atau oleh Emil Durkheim, the Sacred (Yang dikuduskan) menjadi suatu pengalaman yang “mysterium, tremendum et fascinans”.[12] Artinya kuasa tuhan itu, penuh dengan misteri, dan karena itu kehadirannya tidak dapat dilukiskan bagaimana wujudnya; penampakan kuasa tuhan itu menakjubkan dan karena itu membuat manusia terkagum-kagum dan terheran-heran, dan bahkan perjumpaan dengannya itu menarik dan karena itu siapapun yang berjumpa dan mengalami kehadiran dan penampakan kuasa tuhan, selalu merasa tertarik dan terikat untuk tetap bersama dengannya dan selalu ingin membicarakannya.
Karena itu kuasa tuhan menjadi suatu realitas dalam kehidupan manusia yang tidak dapat diabaikan dengan begitu saja apalagi ditolak. Dalam keyakinan dan realitas seperti ini, kepercayaan kepada kuasa tuhan mempunyai pengaruh yang sangat besar atas kehidupan manusia bahkan menentukan bukan saja jalan hidup seseorang di dunia ini tetapi seperti yang sudah dikemukakan di atas, juga di dunia kemudian dan dunia kematian.
Kedua: Unsur sakralitas: Kehadiran kuasa tuhan pada hakikatnya adalah
kehadiran dunia supranatural yang mysterium, tremendum et fascinans. Realitas dunia supranatural yang mysterium, tremendum et fascinans itu adalah suatu realitas yang kudus atau sakral. Sakral atau kudus adalah sifat dan hakikat utama atau yang melekat pada dunia supranatural. Karena sifat dan hakikat ini melekat pada kuasa tuhan maka Rudolf Otto seperti dikemukakan di atas mengidentifikasi kuasa tuhan itu dengan istilah The Wholy Other, the Holly dan Emile Durkheim menyebutnya The Sacred. Kehadiran dan perjumpaan manusia dengan kuasa tuhan adalah kehadiran dan perjumpaan dengan kuasa yang kudus[13]; pengalaman manusia berhadapan dengan kuasa tuhan adalah pengalaman manusia masuk dalam suasana kekudusan; dan hidup bersama dengan kuasa tuhan adalah hidup dalam kekudusan kuasa tuhan itu.
Dengan demikian siapapun manusianya dan di manapun tempatnya serta apapun yang terkait dan terpaut erat dengan kuasa tuhan yang kudus maka manusia itu, tempat itu dan benda itu menjadi manusia kudus, tempat kudus dan benda kudus. Manusia yang terikat dan terpaut erat dengan kuasa tuhan yang kudus itu adalah manusia yang hidup dalam kondisi sakralitas; tempat yang terikat dan terkait dengan kuasa tuhan yang kudus adaah tempat yang kudus; dan benda yang terkait dan terikat dengan kuasa tuhan yang kudus adalah benda yang kudus. Semua hal yang terkait dengan manusia, tempat dan benda yang kudus itu yang penulis maksudkan dengan sakralitas.
Sakralitas adalah suatu kondisi dan sesuatu yang terkait dengan manusia, tempat dan benda yang dipakai oleh kuasa tuhan dalam hubungan dengan dunia dan manusia. Sakralitas manusia, tempat dan benda tidak berhubungan langsung dengan kualitas nilai dalam diri manusia, tempat dan benda itu sendiri tetapi terkait dan terpaut erat dengan kuasa tuhan. Sakralitas manusia, tempat dan benda adalah suatu proses keberadaan dan kehidupan yang terus menerus berkembang seiring dengan perkembangan kehendak kuasa tuhan dan perkembangan penyembahan manusia terhadap kuasa tuhan yang kudus itu.
Semakin dekat dan tinggi intensitas manusia berada dengan kuasa tuhan yang kudus maka semakin tinggi nilai sakralitas manusia. Demikian juga dengan tempat dan benda, semakin tinggi intensitasnya terkait dengan kuasa tuhan yang kudus maka semakin tinggi pula nilai sakralitas tempat dan benda itu. Dalam kondisi sakralitas seperti ini baik manusia, tempat maupun benda menjadi alat utama mengarahkan penganut agama untuk hidup sesuai dengan kehendak kuasa tuhan yang disembah umat. Karena itu ritus dan upacara menjadi aspek yang penting lainnya sebagai unsur agama dalam kehidupan manusia.
Ketiga: Unsur ritualitas: Pengakuan terhadap kuasa tuhan yang kudus
dan sakralitasnya menuntut adanya perlakuan khusus, adanya tata cara perlakuan terhadapnya dan atau adanya upacara keagamaan dalam memasuki dunia supernatural dan dalam berhadapan dengan kuasa tuhan yang kudus.[14] Ritus adalah kegiatan penyembahan dan upacara keagamaan yang dilakukan manusia dihadapan kuasa tuhan yang kudus. Ritus dilakukan sebagai kegiatan rutin sesuai dengan waktu yang ditetapkan yang sudah menjadi suatu kebiasaan dan juga secara insidentil atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Ritus dilaksanakan secara rutin pada umumnya bermaksud memelihara hubungan yang harmonis antara manusia dengan kuasa tuhan yang kudus sehingga pada gilirannya hubungan yang harmonis tersebut berdampak positif bagi kehidupan manusia. Ritus juga dilaksanakan secara khusus, sewaktu-waktu untuk kebutuhan yang mendesak dan urgen baik, misalnya, yang dihadapi individu dalam masalah sakit-penyakit, maupun masyarakat secara kolektif dalam menghadapi masalah bencana alam.
Dalam ritus manusia baik sebagai individu maupun kolektif datang mendekati dan menghadap kuasa tuhan yang kudus dan sebaliknya kuasa tuhan yang kudus berkenan menerima dan menghadapkan dirinya atau biasa dikenal dengan istilah “wajahnya” kepada manusia. Ritual keagamaan menempatkan manusia baik secara individual maupun kolektif berhadap-hadapan dengan kuasa tuhan yang kudus dan yang diidentifikasi sebagai the Wolly Other, the Holly dan the Sacred itu atau yang diidentifikasi menurut kepercayaan masing-masing agama. Perhadapan dengan kuasa tuhan yang kudus ini, terjadi dalam satu ruang dan tempat yang dengan kuasa tuhan yang kudus itu maka ruang dan tempat pun menjadi ruang dn tempat yang kudus. Demikian juga dengan benda yang digunakan sebagai arena dan falisilitas menjadi benda yang kudus. Karena itu ritualitas bukan saja berhubungan sistem, bentuk, tata cara ritus tetapi juga dengan manusia, tempat dan benda yang berhubungan pelaksanaan ritual keagamaan dan atau berhubungan dengan praksis keagamaan.
Ritualitas menjadi salah satu aspek yang penting dalam kehidupan beragama karena dalam ritus manusia beroleh kesempatan dan berkenan memasuki dunia supernatural dan berhadap-hadapan langsung dengan kuasa tuhan yang kudus. Karena itu pelbagai cara dengan kewajiban-kewajibanya bahkan dengan pantangan dan larangannya, ditempuh untuk memperoleh kesempatan dan perkenaan masuk dunia supernatural dan kuasa tuhan menurut kepercayaan masing-masing agama. Kesempatan dan perkenaan itu sekaligus menjadi sarana bagi kuasa tuhan yang kudus untuk menyampaikan kehendak, perintah dan berkat kepada manusia pada umumnya dan para penganut-penganut yang setia dari agama masing-masing pada khususnya.
Dalam ritualitas manusia mengalami dan menikmati sakralitas atau kekudusan illahi sehingga manusia menjadi manusia yang kudus, tempat dan benda yang digunakan menjadi tempat dan benda yang kudus. Manusia yang sama dengan manusia yang lainnya, dalam ritualitas menjadi manusia yang kudus karena ia terkait dan terpaut erat dengan kuasa tuhan yang kudus.
Manusia yang kudus pada umumnya menjadi panutan bagi manusia lain karena sakralitasnya dan karena ritualitasnya. Demikian pula tempat dan benda yang pada dasarnya sama dengan tempat dan benda lainnya, dalam ritualitas menjadi tempat dan benda yang kudus karena sakralitas kuasa tuhan yang berkenan menempati tempat dan memakai benda-benda tersebut. Dalam ritualitas, sakralitas kuasa tuhan menjadi bagian dari hidup manusia dan menjadi bagian dari dunia. Dengan kata-kata lain, dengan ritualitas maka sakralitas dunia illahi menjadi sakralitas kehidupan manusiawi dan sakralitas keberadaan duniawi.
Ritualitas yang diwarnai sakralitas menjadi motivator dan dinamisator kehidupan manusia beragama. Manusia yang datang menghadap, berjumpa dan mengalami sakralitas kuasa tuhan, keseharian hidupnya diwarnai dengan sakralitas. Istilah spiritualitas, dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi manusia yang diwarnai sakralitas ini. Eka Dharmaputera mengumpamakan spiritualitas dengan “panasnya api”. Dan suatu agama dapat kehilangan spiritualitasnya sehingga menjadi seperti abu atau ampas bilamana panas api tidak dipertahankan.[15] Spiritualitas dapat dipertahankan atau panasnya api tetap ada dan berfungsi menghangatkan dengan tetap mempertahankan sakralitas dan memelihara ritualitas. Mempertahankan sakralitas berarti selalu terkait dan terpaut erat dengan kuasa tuhan yang kudus, dan memelihara ritualitas berarti datang menghadap dan berjumpa serta menerima berkat dari the wholly other, Sang Maha Lain, atau dari the Holly, Sang Kudus dan the Sacred Sang yang dikuduskan.
Keempat: Unsur umat beragama: Tidak ada agama tanpa umat atau
penganutnya. Bahkan keberhasilan dan kebesaran suatu agama diukur dari banyaknya umat baik dalam komunitas ritual maupun komunitas sosial, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Umat beragama adalah umat baik sebagai pribadi-individu dan bersama-kolektif yang mengakui system religi dan kepercayaan, memegang teguh sakralitas dan menjalankan dengan baik dan tekun ritualitas dalam kehidupannya. Pengakuan dimaksud berdasarkan pengalaman hidup bersama kuasa tuhan yang disebutkan terdahulu dengan ungkapan : mysterium, tremendum et fascinans. Pengalaman itu mengikat individu satu dengan individu yang lainnya dan mendorong untuk tetap dan terus-menerus mempertahankannya melalui sakralitas dan ritualitas kehidupan beragama.
Pengalaman-pengalaman sakralitas dan ritualitas disamping menjadi pengikat solidaritas juga berfungsi memperkuat solidaritas sesama umat dalam satu kesatuan komunitas umat beragama. Solidaritas dalam sakralitas dan ritualitas menjadi perekat dan pengikat solidaritas sosial komunitas umat beragama sehingga keberadaan komunitas umat beragama pada umumnya melintasi batas-batas yang umum berlaku dalam masyarakat seperti suku, daerah, bahasa, dan ras.
Umat beragama dapat dibagi dalam beberapa fungsi sesuai dengan peran masing-masing dalam komunitas agama. Ada pemimpin ritus atau pemimpin upacara yang pada umumnya secara otomatis menjadi pemimpin agama, ada yang berfungsi mempersiapkan tempat dan alat ritual, ada penyampai ajaran dan peserta upacara yang semuanya terikat satu dengan yang lainnya karena pengalaman sakralitas dalam kuasa tuhan. Koentjaraningrat, mengelompokkan komunitas agama dalam:
(1) Keluarga inti atau kelompok kekerabatan kecil lain,
(2) Kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti keluarga
luas, keluarga unilinear seperti klan, suku, marga, dadia
(3) Kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa,
(4) Organisasi-organisasi religius seperti organisasi penyiaran agama,
organisasi sangha, orgnisasi gereja, partai politik yang berdasarkan
idelogi religius.[16]
Apapun pengelompokannya, umat beragama diikat dan terikat satu dengan yang lainnya oleh pengalaman dan solidaritas kepercayaan kepada kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas kehidupan beragama. Dalam solidaritas yang sama umat beragama terikat dalam moral dan etika kehidupan bersama yang menjadi ciri khas suatu komunitas umat beragama.
Dari uraian tentang pengertian agama dan unsur-unsur agama di atas maka untuk mempermudah analisa dan penilaian selanjutnya perlu diambil kesimpulan bahwa:
Pertama: Agama dalam arti formalistis dan faktual adalah agama yang
diterima dan diakui resmi di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu.
Kedua: Agama dalam arti sistem religi dan kepercayaan yang terkait pengalaman umat dengan kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas.
Dalam arti yang kedua ini, religi dan kepercayaan pribadi-individu siapapun, dari manapun dan dengan latar belakang apapun dapat diidentifikasi dan mengidentifikasi diri sebagai agama. Pada saat yang sama, dalam solidaritas keagamaan pribadi-individu tersebut dapat diidentifikasi dan mengidentifikasi sebagai komunitas umat beragama.
3. Regulasi Agama
Sebagai negara hukum dan sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, negara dan pemerintah memiliki kedaulatan atas rakyat dalam wilayah hukum Indonesia. Karena itu negara memikul tanggungjawab penuh mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kehidupan beragama adalah kehidupan yang langsung terkait dengan sikap dan perilaku manusia yang adalah warga negara Indonesia[17]. Sikap dan perilaku manusia beragama tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan bersama dengan warga negara lainnya di tempat dan waktu yang sama. Warga negara yang beragama satu bersinggungan dan bersentuhan langsung dengan warga negara yang beragama lainnya yang menghuni bumi Pancasila Indonesia.
Di bawah payung Pancasila dan berdasar pada UUD 1945, kehidupan beragama bagi warga negara Indonesia dikelola melalui regulasi kehidupan beragama sebagaimana ditetapkan dalam PENPRES 1/1965 yang kemudiaan diundangkan menjadi UU 5/1969 yang mengikat dan berlaku bagi seluruh warga negara. Regulasi dimaksud pada umumnya merupakan penjabaran apa yang terkandung dalam Pasal 29 UUD 1945, ayat (1) dan ayat (2):
(1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
(2) “Negara menjamin kemedekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Pasal tersebut menjadi dasar konstitusional pertama dan utama bagi PENPRES 1/1965 dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi dan atau yang bernuansa regulasi agama. Kemudian untuk operasionalnya UU 5/1969 dan PENPRES 1/1965 tersebut, misalnya, menjadi landasan hukum Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Peberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, tanggal 21 Maret 2006.
PENPRES 1/1965 sebagai regulasi agama dalam hal ini pencegahan penyalah-gunaan atau penodaan agama, ditetapkan dan diberlakukan dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur. Sementara pembentukan dan pelaksanaan, misalnya, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri sebagaimana disebut di atas, adalah dalam rangka perlindungan dan pengembangan hak beragama sebagai bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, kebebasan setiap orang dalam memilih agama dan beribadat menurut agamanya, kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaan itu, dan sekaligus dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama. Semua hal tersebut menjadi bagian penting dari kerukunan nasional masyarakat dan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, hakikat regulasi agama pada umumnya dan dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 pada khususnya adalah pengelolaan kegiatan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wilayah kedaulatan NKRI. Sedangkan tujuannya adalah melindungi dan mengembangkan hak beragama sebagai bagian dari HAM sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945.
Dibalik hakikat dan tujuan regulasi keagamaan itu, agar dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara tercipta kerukunan hidup umat beragama sebagai bagian integral dari kerukunan nasional. Atau seperti yang menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan UU 5/1969, adalah dalam rangka pengamanan cita-cita Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur (Pokok menimbang a, PENPRES 1/1965).
[1] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, RajaGrafindo Persada, Jakarta , 2006, hal. 1.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Cet. 13, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 144.
[3] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, hal. 144 -145.
[4] A.G. Honig, Ilmu Agama, Terj. M.D. Koesoemosoesastro & Soegiarto, Cet. 6, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hal. 249.
[5] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hal. 36-37; Clifford Greertz, menyebut sistem religi sebagai sistem symbol. Dikutip dari Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hal. 37.
[6] P.D. Ltuihamallo, Menelusuri Dasar Moral Hidup Bersama Dalam Masyarakat Majemuk, dalam: Gerakan Oikoumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila Buku Peringatan 40 Tahun PGI, Ed. J.M.Pattiasina dan Weinata Sairin, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1990, hal. 342.
[7] Dikutip dari Catatan Rumadi, Agama dan Negara, dalam Sururin. Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 93.
[8] Bustanuddin Agus, mengelaborasi aspek-aspek agama dengan mereposisi dan mengklasifikasi komponen agama menurut Koentjaraningrat ke dalam aspek-aspek yang lebih berhubungan langsung antara satu dengan yang lainnya. Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan, hal. 60 dyb.
[9] Penulis mengunakan istilah tuhan dengan huruf “ t ” kecil yang dalam bahasa Yunani adalah kata kurios, yang berarti “tuan yang memiliki kekuasaan atas seseorang atau atas sesuatu”. Kata Tuhan dengan huruf “T” besar menunjuk pada klaim kepercayaan agama tertentu terhadap “kuasa tuhan”.
[10] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan, hal. 61 dyb.
[11] Diangkat dari: Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan, hal. 62.
[12] Eka Daharmaputera, Agama dan Spiritualitas: Suatu Perpektif Pengantar, dalam: Penuntun Jurnal Theologi dan Gereja, Vol. 3. No. 12, Juli 1997, hal. 389.
[13] Penulis memakai istilah “kudus” dan bukan “suci”, termasuk baik untuk the Holly maupun the Sacred. Karena dalam teologi Kristen, kudus adalah istilah yang dipakai untuk mnunjuk hakikat Tuhan, dalam pengertian bahwa hakikat itu merupakan kondisi atau suatu keadaan yang lain daripada yang lain atau yang tidak ada persamaan dan kesamaan dengan apapun dan siapapun. Sedangkan istilah suci menunjuk kepada suatu kualitas tertentu seperti murni, asli, dan sebagainya dalam sesuatu atau diri dan hidup seseorang.
[14] Bustnuddin Agus, Agama dalam Kehidupan, hal. 95.
[15] Eka Dharmaputera, Agama dan Spiritualitas, hal. 388-389.
[16] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, hal. 147-148.
[17] Dalam UUD 1945, disebut warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indoesia (Pasal 26 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar