BAB VI
ASPEK HUKUM PENPRES 1/1965 DAN UU 5/1969
Analisis hukum atau analisis yuridis[1] terhadap regulasi dalam
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yag difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum dalam hukum positif. Analisis yuridis ini juga ditempatkan dalam asas atau prinsip logika hukum yang disebut oleh J.W. Harris sebagai:
(1) Eksklusi yaitu asas yang dengannya ilmu hukum mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem, yang dengan itu mengidentifikasikan sistem hukum tersebut.
(2) Subsumsi yaitu asas yang dengannya ilmu hukum menetapkan hubungan hierarkis di antara aturan-aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan lebih rendah.
(3) Derogasi yaitu asas yang pada dasarnya ilmu hukum menolak sebuah aturan, atau sebagian dari sebuah aturan, karena berkonflik dengan aturan lain yang bersumber dari sumber legislatif yang lebih tinggi.
(4) Nonkontradiksi yaitu asas yang pada dasarnya ilmu hukum menolak kemungkinan pemaparan sistem hukum yang di dalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban. Pada saat yang sama noneksistensi terhadap suatu kewajiban yang meliputi situasi tindakan yang sama pada kejadian yang sama.
Keempat asas tersebut juga mengacu pada asas yang biasa dikenal umum yaitu:
(1) Lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah),
(2) Lex posterior derogat legi apriori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama),
(3) dan Lex spesialis derogat legi generalis (hukum khusus mengalahkan hukum yang umum).[2]
Dengan prinsip-prinsip dan asas-asas tersebut di atas, analisis yuridis terhadap regulasi agama dalam bagian ini didasarkan pada konstitusi UUD 19945 sebagai landasan hukum peraturan perundang-undangan, dan pada peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku umum baik terkait dengan regulasi agama maupun regulasi yang sejenis dan berlaku khusus, dengan memperhatikan hierarki dan konteksnya masing-masing. Hasil penelitian dengan analisis yuridis regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 di kemukakan dalam bagian ini, bab VI dan dua bagian lainnya, bab VII dan bab VIII.
Pembentukan dan Penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
a. Legislasi dan Legalitas
Kedaulatan negara sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, diwujudkan lebih lanjut dalam pemisahan kekuasaan yang terkenal dengan istilah Trias Politikanya, Charles De Montesquieu, yaitu suatu pmerintah yang terbagi menjadi lembaga Presiden, Legislatif dan Mahkamah Agung, [3] yang masing-masing dengan fungsinya yang berimbang dan sinergis, sebagaimana dikenal umum dalam istilah checks and balances.[4]
Salah satu fungsi negara yang utama adalah mengatur kehidupan bersama melalui fungsi legislasi atau fungsi pengaturan (relegende functie). Fungsi pengaturan ini terkait dengan kekuasaan untuk menentukan peraturan bagi warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan berlaku umum. Bagi bangsa Indonesia dalam era pasca reformasi sekarang ini, fungsi ini merupakan fungsi yang paling utama, dibanding fungsi lainnya seperti di negara-negara yang sudah mapan. Sebab di negara-negara tersebut, peraturan perundang-undangan relatif tidak banyak mengalami perobahan.[5] Sementara bagi Indonesia setiap saat terjadi perobahan baik melalui proses legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam hal ini Presiden maupun hasil judisial review dari Makamah Konstitusi.
Legislasi adalah fungsi dan porses pembentukan hukum tertulis,[6] dan menurut Jean Jacques Rousseau:
Legislasi adalah: An expression of the general will, such that a free people is only bound by the laws which they have made for themselves.[7]
Fungsi ini dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan kedaulatan negara dan karena itu hanya dapat dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan representasi rakyat dan dengan persetujuan pemerintah yang juga menajalankan kedaulatan negara sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Fungsi dimaksud dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sebagai berikut:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “setiap Undang-Undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa: Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga perwakilan atau representasi rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui partai politik, memegang kedaulatan atau menjalankan kekuasaan legislasi untuk membentuk Undang-Undang yang mengikat dan berlaku umum bagi warga negara Indonesia.
Undang-Undang adalah peraturan yang paling tinggi sesudah UUD 1945, atau peraturan yang mengacu dan sekaligus menjabarkan lebih lanjut apa yang menjadi isi kandungan konstitusi UUD 1945. Juga pembentukan Undang-Undang mengharuskan persetujuan bersama dengan Presiden karena Presiden juga mempunyai kedaulatan penuh atas rakyat. Karena itu sinergitas dan sinkronisasi antar lembaga negara perlu menjadi catatan penting dalam praktek hukum ketatanegaraan Indonesia. Catatan penting ini perlu dikemukakan agar di kemudian hari tidak terjadi tarik-ulur kepentingan dan prestise antar lembaga kekuasaan negara seperti terjadi dalam praktek pelaksanaan hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang dukungan pemerintah terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas pemberian sanksi kepada Iran beberapa waktu lalu atau hal yang lainnya.
Setiap produk legislasi secara hukum-yuridis bersifat mengikat dan memaksa sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Atau semua pembentukan produk legislasi melalui mekanisme sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945 dan sesuai dengan prosedur pembentukannya sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang maka produk tersebut memiliki legalitas dan atau validitas di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena legitimasi hukum tetap ada sepanjang hal tersbut sesuai dengan ketentuan tatanan hukum yang ada, seperti yang dikatakan oleh Hans Kelsen: “Norma hukum tetap valid selama tidak dibantah validitasnya dengan cara yang ditentukan oleh tatatan hukum itu sendiri. Ini adalah prinsip legitimasi.”[8] Ini berarti legitimasi suatu peraturan perundang-undangan terletak pada apa yang diamanahkan dalam konstitusi baik itu prosedur atau mekanisme, isi maupun tujuannya.
Legalitas produk hukum juga ditentukan oleh efektivitasnya dalam kehidupan bermsayarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin tinggi efektivitasnya semakin tinggi legalitas suatu produk hukum. Efektivitas tatanan hukum menurut Hans Kelsen, merupakan kondisi penting bagi validitas setiap norma hukum, yakni merupakan conditio sine qua non.[9] Dan suatu produk hukum itu effekif bilamana dalam prosedurnya mengakomodasi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Semakin sesuai dengan kehendak masyarakat semakin hidup dan efektif hukum itu dalam pengaplikasiannya di dalam kehidupan bersama masyarakat, bangsa dan negara. Ini berarti bahwa suatu produk hukum kehilangan legalitasnya bilamana tidak prosedural, tidak mengakomodasi living law yang ada dalam masyarakat dan dengan demikian pada gilirannya tidak ditaati, tidak mengikat dan tidak berlaku bagi warga negara.
Mengacu pada konstitusi UUD 1945 maka legialitas PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai produk hukum dapat dikatakan tertanggungjawab secara hukum. Sebab UU 5/1969 adalah produk legislasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam kedaulatannya telah mengatur kehidupan warga negara dalam soal keagamaan sebagaimana diamanahkan dalam konsitusi Pasal 20 ayat (1) UUD 945. Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya menetapkan UU 5/1969 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku umum dan secara khusus menetapkan regulasi agama sebagaimana ditetapkan dalam PENPRES 1/1965. Dengan kata-kata lain, sesuai dengan fungsi legislasinya, Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk UU 5/1969 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku untuk semua warga negara sebagaimana ditetapkan dalam PENPRES 1/1965 tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sedangkan PENPRES 1/1965, meskipun secara hukum dalam tatanan hukum ketatanegaraan yang berlaku, tidak dikenal penetapan dimaksud, tetapi berhubung dalam kondisi darurat dan kemudian produk itu telah dilegitimasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat –Gotong Royong maka jelas secara hukum pun menjadi produk hukum yang mengikat dan berlaku umum bagi seluruh warga negara Indonesia. Sebab bagaimanapun produk hukum tersebut sudah diterima menjadi bagian dari legislasi negara melalui prosedur atau mekasime yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam konteks penetapannya dan sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, PENPRES 1/1965 telah mengikat warga negara Indonesia dalam kondisi darurat. Dan dalam konteksnya penetapan UU 5/1969, PENPRES 1/1965 juga mengikat dan berlaku umum bagi warga negara Indonesia sesuai dengan legalitasnya sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Konteks Lahirnya PENPRES 1/1965
PENPRES 1/1965 lahir pada akhir era pemerintahan Presiden Soekarno.
Era pemerintahan ini dari sudut perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia, dilukiskan oleh Afan Gaffar, sebagai era “Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”.[10] Sedangkan Jimly Asshiddiqie, menempatkan era ini dalam periodisasi ketatanegaraan pada umumnya dan perkembangan UUD pada khususnya, yang disebutnya sebagai “Republik Keempat: Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999)”.[11]
Tiga kekuatan yang berperan dan tarik-ulur pada periode ini, masing-masing Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 memberi peluang besar dan kesempatan yang luas bagi Presiden Soekarno untuk mewujudkan gagasan politiknya dan sekaligus memainkan peran politiknya. Sebagai Presiden, Soekarno membentuk kabinet dengan Perdana Menterinya Presiden sendiri, membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai lembaga perwakilan rakyat pengganti konstituante. Dalam konstelasi perpolitikan seperti ini, ada peluang yang sangat luas bagi Soekarno menjadi pemimpin yang kuat dan berkuasa sebagai seorang diktator.[12] Soekarno yang mempunyai agenda politik tersendiri, tentunya memerlukan dukungan, karena itu peluang koalisi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi terbuka.
Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan politik oposisi yang kemudian masuk ke dalam pemerintahan dan berkoalisi dengan Soekarno. Dalam demokrasi terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat peluang untuk mewujudkan kepentingan politiknya dengan memperluas basis dan menjadi kekuatan politik yang turut menentukan perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan tanda ke arah itu telah nampak dalam Pemilihan Umum, di Jawa Tengah pada tahun 1957, dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat dukungan masyarakat dan menjadi partai politik terbesar menggantikan posisi Partai Nasional Indonesia (PNI).[13]
Pada saat yang sama, Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat, juga muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan. Hal ini terwujud dengan baik berhubung dengan keadaan darurat dan kemudian terealisasi dalam aras pemerintahan daerah. Tentara Nasional Indonesia: Angakatan Darat, menyadari bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan doktrin, tujuan, kegiatan dan agenda politiknya merupakan acaman serius bagi NKRI.[14]
Afan Gaffar menyebut karakteristik pemerintahan Soekarno, sebagai Demokrasi Terpimpin itu dengan:
(1) Mengaburnya system dan peran kepartaian.
(2) Peran legislatif Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong menjadi
sangat lemah.
(3) Basic human rights lemah.
(4) Puncak masa anti kebebasan pers.
(5) Sentralisasi kekuasan pada pusat.[15]
Dalam konteks perpolitikan seperti di atas, khususnya dengan menguatnya dan terpusatnya kekuasaan pada Presiden dan sekaligus dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, Soekarno mengeluarkan Penetapan-penetapam Presiden, termasuk di dalamnya PENPRES 1/1965 mengenai regulasi kehidupan beragama.
c. Konteks Lahirnya UU 5/1965
UU 5/1969, ditetapkan pada awal era baru setelah melalui masa transisi
tahun 1965-1968, ketika Soeharto terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke 2. Era pemerintahan Soeharto dikenal dengan era Orde Baru. Orde baru adalah tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, yang berawal pada Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Pengertian yang lebih luas tentang Orde Baru dirumuskan dalam Seminar II Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat, Agustus 1966 sebagai berikut:
Bahwa Orde Baru menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistik dan pragmatik walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan. Ode Baru menghendaki diutamakannya kepentingan nasional walaupun tidak meninggalkan ideologi perjuangan anti kolonialisme dan anti imperialisme. Orde Baru mengingini suatu tata susunan yang lebih stabil berdasarkan kelembagaan dan bukan tata-susunan yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang mengembangkan kultus pribadi. Akan tetapi Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan. Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi-sosial dalam negeri. Orde Baru menghendaki pelaksanaan sunguh-sungguh dari cita-cita demokrasi ekonomi. Orde Baru adalah suatu tatanan kehidupan baru di segala bidang yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[16]
Secara lebih singkat dan sederhana, A Gunawan Setiardja, menyebutkan Orde Baru adalah orde yang mempertahankan, memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.[17]
Karakteristik Orde Baru sebagaimana digambarkan beberapa ahli, seperti oleh Karl D. Jackson sebagai negara birokratik (bureaucratic Polity), dimana sekelompok kecil elit politik menguasai sepenuhnya keputusan dan kebijakan negara. Di sementara masyarakat hanya dilibatkan dalam imlplementasinya.[18] Karakteristik lain disebut oleh Dwight King, sebagai bureaucratic authoritarian with limited plurality, dimana birokrat baik sipil maupun militer sangat dominan bahkan cenderung otoriter dalam pengambilan kebijakan dan keputusan negara meskipun tetap terlihat adanya warna pluralitas yang terbatas. Beberapa nama lain sempat mencuat dalam menilai karakteristik Orde Baru, seperti Harold Crouch, dengan istilah: Neo Patrimonialism, Benedict Anderson, dengan nama: State–quo State, sedangkan Ruth McVey menyebutnya dengan istilah: Beamtenstaat atau negara pejabat.[19]
Dari semua karakteristik yang dilihat dalam pemerintahan Orde Baru, Afan Gaffar, menilai karakteristik yang dilukiskan oleh Willim Liddle, lebih memadai dan signifikan. Dimana kekuasaan pada era ini terbagi dalam tiga jajaran piramidal dari yang pertama dan teratas adalah kekuasaan presiden, kemudian jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata (ABRI) dan jajaran ketiga adalah Birokrasi.[20].
Dalam konteks era pemerintahan yang berkarakter seperti inilah, di mana
kebijakan pengelolaan negara dan keputusan pemerintah didominasi elit kekuasaan eksekutif di sementara peran DPR sangat lemah dan tidak berarti, negara dan pemerintah menetapkan produk perundang-undangan dalam bentuk Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang di dalamnya termasuk PENPRES 1/1965 ditetapkan menjadi UU 5/1969.
Tempat PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dalam Hukum Tata Negara
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dalam dunia hukum dikenal tiga bentuk penuangan norma hukum yaitu, masing-masing:
(1) Keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels).
(2) Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikkings)
(3) Keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil proses peradilan (adjudication) menghasilkan putusan (vonnis).
Di samping itu ada juga peraturan yang dinamakan beleidsregel atau aturan kebijakan (policy rules) yang sering disebut sebagai “quasi peraturan” seperti peraturan pelaksanaan, surat edaran, instruksi atau yang sejenisnya yang semuanya bersifat mengatur.[21]
Dalam sejarah ketatanegaran Indonesia pada umumnya dan sejarah peraturan perundang-undangan pada khususnya, telah jelas di mana kedudukan suatu undang-undang. Sebab dalam semua Undang-Undang Dasar yag pernah berlaku di Indonesia yaitu baik UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi dan berlaku sampai 27 Desember 1949, Konstitusi Repblik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950, maupun Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, yang berlaku sampai 5 Juli 1959, disebut tiga bentuk peraturan di tingkat pusat.
UUD 1945, menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang (UU).
(2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
(3) Peraturan Pemerintah.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang Federal.
(2) Undang-Undang Darurat.
(3) Peraturan Pemerintah.
Sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang.
(2) Undang-Undang Darurat.
(3) Peraturan Pemerintah.[22]
Di sini jelas adanya tempat suatu undang-undang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam memahami tempat suatu Undang-Undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundangan-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi.
Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi tingkatannya.
Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum.[23]
Memperhatikan prinsip hierarki peraturan perudang-undangan tersebut maka suatu Undang-Undang atau suatu regulasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak dapat bertentangan dengan isi kandungan konstitusi UUD 1945.
Formalisasi hierarki peraturan perundng-undangan telah diatur lebih lanjut dalam:
(1) Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966.
(2) TAP MPR Nomor III/MPR/2000.
(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Meskipun ada perbedaan di antara ketiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang tersebut, ketiga produk hukum tersebut menempatkan Undang-Undang di bawah hierarki Undang-Undang Dasar dan diatas hierarki suatu peraturan pemerintah.
Secara umum juga diketahui bahwa suatu Undang-Undang dibedakan atas Undang-Undang material dan Undang-Undang formal. Undang-Undang material adalah Undang-Undang yang mengikat untuk umum (algemeen verbindende voorschriften) yang dibuat oleh badan-badan legislatif. Undang-Undang ini bukan saja mengikat umum (naar buiten werkende voorrschriften) tetapi bersifat keluar dan berlaku umum (algemeen werende voorschriften). Sedangkan Undang-Undang formal adalah Undang-Undang yang bersifat tertentu, tidak mengikat dan tidak berlaku umum melainkan terbatas dan berlaku khusus bagi pihak-phak tertentu saja, misalnya Undang-Undang Tentang Pembentukan Kabupaten dalam suatu propinsi.[24]
Suatu Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Dan suatu Undang-Undang yang dibentuk dengan materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004: Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:
1. Hak-hak asasi manusia.
2. Hak dan kewajiban warga negara.
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara.
4. Wilayah negara dan pembagian daerah.
5. Kewarganegaraan dan kependudukan.
6. Keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian tempat suatu Undang-Undang jelas ada di bawah UUD 1945 dan sekaligus materi muatannya merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari isi kandungan UUD 1945 dalam pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan Penetapan Presiden dalam konteksnya, muncul dalam upaya menenuhi kebutuhan pemerintahan yang lebih operasional. Sebab ketiga bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut dalam UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara di atas, dianggap tidak cukup memadai. Karena itu berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia No. 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959 ditentukan beberapa bentuk peraturan yang lain, yaitu:
Penetapan Presiden atau disingkat PENPRES untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali kepada UUD1945.
Peraturan Presiden yang terdiri atas:
1. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
2. Peraturan Presiden yang dimaksudkan untuk melaksanakan Penetapan Presiden.
Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan Presiden yang berbeda dari pengertian Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan dalam jabatan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau departemen-departemen pemerintahan untuk mengatur segala sesuatu yang diperlukan di bidangnya masing-masing serta untuk meresmikan pengangkatan-pengangkatan jabatan dalam lingkungan tanggungjawabnya masing-masing.[25]
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pembentukan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam Surat Presiden tersebut berakibat lahirnya sedemikian banyak peraturan dan keputusan yang bersifat administratif yang tercampur aduk satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan bentuk dan isinya saling tumpang tindih dan tidak hierarkis sehingga menyulitkan dan menimbulkan kekacauan dalam implementasinya di lapangan. Apalagi produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang paling banyak dikeluarkan oleh Presiden Soekarno itu telah menimbulkan persoalan seperti:
a. Kekacauan dalam tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan karena sulit menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan secara hierarkis, termasuk mana yang lebih tinggi tingkatannya antara Penetapan Presiden atau Undang-Undang.
b. Banyak materi yang seharusnya diatur dengan Undang-Undang tetapi ternyata diatur dengan Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dalam banyak kasus, peranan Dewan Perakilan Rakyat diabaikan oleh Presiden dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai hal-hal yang seharusnya melibatkan peran DPR.
c. Secara material banyak pula peraturan perundang-undangan yang disebut dengan berbagai istilah yang jika ditelaah isinya, ternyata secara jelas menyimpang dari ketentuan UUD 1945, tanpa adanya mekanisme untuk mengoreksinya.[26]
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia umumnya dan sejarah ketatanegaraan pada khususnya, atau secara hukum konstitusional, suatu Undang-Undang merupakan bentuk peraturan perundang-undangan jelas ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI. Sedangkan Penetapan Presiden yang bertujuan untuk operasionalisasi kebijakan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak dapat dipertanggungjawaban karena memang tidak didukung dan tidak berdasar pada konstitusi UUD 1945, termasuk Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Seiring dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka pemerintah Orde Baru meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat–Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia, merupakan ketetapan-ketetapan yang mengharuskan pemerintah untuk meninjau semua produk hukum yang berlaku selama periode pemerintahan Orde Lama.[27] Hal tersebut perlu segera dilaksanakan untuk mengakhiri kekacauan dan penyimpangan konstitusi dan demi terwujudnya kepastian dan sinergitas hukum.[28]
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama, termasuk dalam peninjauan yang dimaksud dan karena itu bersama dengan produk peraturan perundang-undangan lain yang telah ditetapkan oleh Presiden Soekarno, ditetapkan menjadi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Lembaran Negara Nomor 36 Tahun 1969 dan Tmbahan Lembaran Negara Nomor 2900.
3. Materi Muatan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
Materi muatan PENPRES 1/1965 adalah regulasi agama dalam bentuk
larangan bertindak negatif terhadap agama-agama yang berkembangan di Indonesia dan yang dilakukan secara sistematis dan di tempat terbuka serta dihadapan orang banyak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, yang secara lengkap berbunyi demikian:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) PENPRES 1/165 berbunyi sebagai berikut:
(1) “Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. .
“Setiap orang” dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965 tersebut, adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum maka yang dimaksud adalah baik sebagai orang perorang (persoon) yang merupakan badan manusia (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) yang dibuat oleh manusia untuk hubungan-hubungan hukum.[29] Sedangkan “Barang siapa” dalam Pasal 2 ayat (1) PENPRES 1/1965, sebagai subjek hukum orang perorang yang melanggar ketentuan atau tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, mendapat sanksi berupa: “perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatanya itu,” melalui keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Dari Pasal 1 tersebut dinyatakan bahwa tindak perbuatan yang dilarang adalah tindak perbuatan yang secara sengaja atau sadar dan sistematis dilakukan di muka umum, di tengah orang banyak dan ditempat terbuka. Tindak perbuatan itu meliputi:
(1) Menceriterakan
(2) Menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
(3) Melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan keagamaan
Jika diperhatikan dan diteliti dengan baik maka tindak perbuatan yang dilarang tersebut adalah tindak perbuatan yang berhubungan dan yang dapat mempengaruhi orang pribadi atau kelompok komunitas. Dan dengan pengaruh itu pribadi dan kelompok komunitas dapat mengambil langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang dapat meresahkan pribadi dan kelompok komunitas lainnya lagi. Hal ini sudah mengejala dan bahkan sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana terungkap dalam Penjelasan Umum point 2 PENPRES 1/1965 sebagai berikut:
“Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi ..., pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”.
Dalam keadaan seperti yang dilukiskan tersebut, suatu peraturan atau produk hukum diperlukan atau regulasi agama dibutuhkan untuk menempatkan dan mengarahkan kegiataan keagamaan pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu sesuai dengan tujuan agama masing-masing. Pada saat yang sama produk hukum dimaksud dapat mengarahkan kegiatan keagamaan agama lain atau aliran lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelarangan dimaksud dalam PENPRES 1/1965 secara sungguh-sungguh mau diaplikasikan karena itu wajib dan disertai sanksi baik secara individual, kepada pribadi-perorangan maupun kolektif, kepada komunitas dan organisasi atau kelompok aliran kepercayaan. Sanksi kepada pribadi, berupa perintah dan peringatan untuk menghentikan perbuatan itu, dilakukan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan sanksi kepada organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan berupa pembubaran, pembekuan dan penyataan organisasi/aliran kepercayaan tersebut sebagai organisasi/aliran kepercayaan terlarang oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Bagi pribadi, komunitas dan organisasi penganut agama dan anggota pengurus organisasi agama yang tetap tidak memperhatikan dan mentaati pelarangan di atas maka akan dikenakan sanski pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pasal 3 PENPRES 1/1965, menyatakan bahwa:
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Tindak perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, dipandang sudah sedemikian serius oleh negara dan pemerintah sehingga perlu mendapat ancaman sanksi pidana. Lebih jauh dari itu, sanksi pidana dimaksudpun diperintahkan menjadi materi muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti dalam rumusan sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun berangsiapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 4 PENPRES 1/1965)
4. Tujuan dan Efektivitas PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
Pada umumnya para pakar hukum memahami tujuan hukum, langsung
atau tidak langsung termasuk tujuan penetapan peruaturan perundang-undangan adalah
(1) Untuk mewujudkan keadilan.
(2) Untuk memberikan kemanfaatan.
(3). Untuk mewujudkan kepastian hukum.
Ketiga tujuan tersebut, menurut Rusli Effendi, pada dasarnya sama dengan apa yang disebut oleh Gustav Radbruch sebagai “nilai-nilai dasar hukum”.[30] Karena suatu tujuan pada hakikatnya mengandung nilai-nilai, baik itu kualitas maupun kuantitas. Suatu nilai pada hakikatnya mengandung makna yang patut diupayakan menjadi realitas hidup. Bahkan nilai yang mengandung makna itu, disadari atau tidak, dijadikan landasan, alasan, atau motivasi bagi seseorang dalam bersikap atau bertingkah laku dan karena itu pada hakikatnya pula suatu nilai-nilai menjadi tujuan.[31] Bagi penulis sendiri, dalam upaya memahami tujuan pembentukan regulasi agama disini, pemakaian istilah nilai pun perlu dipertahankan untuk melengkapi istilah tujuan. Karena itu kedua istilah tersebut, meskipun dipakai secara bersamaan atau sendiri-sendiri secara terpisah, untuk menunjuk pada nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan pembentukan suatu produk hukum.
Ketiga tujuan atau nilai dasar tersebut, menurut Achmad Ali, masing-masing ditinjau dari:
(1) Sudut pandang ilmu sosiologi hukum untuk tujuan kemanfaatannya.
(2) Sudut pandang filsafat hukum untuk tujuan segi keadilannya.
(3) Sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis-dogmatik, tujuan kepastian hukum.[32]
Apakah pembentukan dan penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 memenuhi tiga tujuan atau nilai dasar hukum tersebut? Jawabannya, sama seperti yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa:
“penilaian keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan satu-satunya penilaian”.
Lebih dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai dasar yang saling bertentangan, apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi kemanfaatannya atau kegunaannya bagi masyarakat.[33]
Sebab sebagaimana diketahui, seperti kata Rusli Effendy, bahwa di dalam kenyataannya, sering sekali antara kepastian hukum terjadi ketegangan dengan kemanfaatan atau ketegangan yang terjadi antara keadilan dan kemanfaatan ataupun keadilan dan kepastian.[34] Di mana satu nilai yang diutamakan akan mengesampingkan nilai yang lainnya sesuai dengan tuntutan nilai masing-masing. Misalnya nilai kepastian akan mengesampingkan nilai keadilan dan nilai manfaat. Ini terjadi karena dalam nilai kepastian yang diutamakan adalah ada dan berlakunya peraturan itu sendiri. Apakah peraturan itu harus adil dan bermanfaat bagi masyarakat, itu soal lain dan diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.[35]
Ketiga unsur tujuan atau nilai dasar dimaksud terkait satu dengan yang lainnya dalam isi PENPRES 1/1965, baik dalam pokok menimbang, mengingat maupun rumusan pasal-pasalnya. Dalam pokok menimbang di sana dikemukakan: “bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama” ( Pokok menimbang a, PENPRES 1/1965) .
Ini berarti bahwa pembentukan produk hukum PENPRES 1/1965 ini dilakukan oleh negara untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan:
(1) Pengamanan negara dan masyarakat.
(2) Pengamanan cita-cita Revolusi Nasional.
(3) Pengamanan pembangunan Nasional Semesta yang bermuara pada
masyarakat adil dan makmur.
Dalam menjalankan kebijakan tersebut, negara menghadapi realitas yang menantang yaitu dengan munculnya berbagai aliran atau organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama yang dianut warga negara Indonesia. Lebih dari pada itu, realitas yang menantang itu sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berupa pelanggaran norma hukum, goyahnya kesatuan bangsa dan penodaan terhadap agama-agama.
Dari realitas yang ada juga menjadi jelas bahwa aliran-aliran atau organissi-orgaisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan agama makin berkembang dan bertambah banyak sehingga dinilai oleh pemerintah sudah membahayakan bukan saja keberadaan agama-agama yang ada yaitu: Islam, Kristen, Katholik. Hindu, Budha dan Kongfutsu tetapi lebih daripada itu membahayakan keberadaan dan kelangsungan bangsa dan negara Indonesia. Karena itu pemerintah bertanggungjawab atas warga negara pemeluk agama-agama tersebut dari tantangan dan ancaman aliran agama-agama lain yang tidak diakui oleh negara dan pemerintah.
Pengakuan dan perlindungan terhadap agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu, menurut penjelasan PENPRES 1/1965 berdasarkan bukti sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam agama tersebut adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Penganut atau pemeluk agama-agama ini mendapat jaminan kontitusional Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan beribadah menurut keyakinan agamanya masing-masing. Demikian juga agama-agama tersebut mendapat bantuan-bantauan dan perlindungan atau mendapat fasilitas dari negara dan pemerintah.
Pengakuan dan tanggungjawab pemerintah tersebut didasarkan pada sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945. Sebab dalam dasar ini, sebagaimana dikatakan dalam penjelasan PENPRES 1/1965 bahwa Sila pertama menjadi dasar moral dan dasar kesatuan nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama adalah salah satu tiang pokok perikehidupan manusia dan sendi kehidupan negara serta unsur mutlak dalam pembangunan bangsa (Penjelasan Umum pokok 1 PENPRES 1/1965).
Di atas dasar itulah, pemerintah mengambil langkah pencegahan penyalah-gunaan dan atau penodaan terhadap agama dengan semua bentuk kegiatan yang terkait dengan agama-agama yang diakui negara itu, sebagaimana sudah disebut dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965 di atas.
Dengan pencegahan dimaksud, pemerintah menjamin dan melindungi warga negara agar ketentraman hidup beragama terpelihara dan pada saat yang sama pemeluk agama-agama dapat melaksanakan kegiatan keagamaan pada umunya dan ibadah pada khususnya dapat terlaksana sesuai dengan keyakinan masing-masing. Disini nampak bahwa nilai ketertibatan dan kemanfaatan hukum yang dikedepankan pemerintah meskipun nilai keadilan bagi pemeluk agama-agama lain tentunya terabaikan.
Pencegahan penyalah-gunaan dan penodaan agama dalam PENPRES 1/1965 juga disertai dengan acaman sanksi-saksi sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal-pasal 2, 3 dan 4, seperti yang sudah dikemukan di atas. Dengan memasukkan tindak pelanggaran dan sanksi tersebut ke dalam Pasal 156a KUHP maka negara menyamakan, memasukkan dan menempatkan tindak pelanggaran dan sanksi keagamaan itu menjadi masalah sosial kemasyarakatan. Semua itu dimaksudkan oleh negara dan pemerintah agar tercipta ketertiban dan ketentraman hidup rakyat sebagai bagian dari pewujudan cita-cita masyarakat adil dan makmur dii bumi Pancasila Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UU 5/1969, ditetapkan untuk menempatkan kebijakan pemerintah yang ditetapkan dalam Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden ke dalam produk hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa dengan diundangkannya UU 5/1969, maka negarapun menempatkan PENPRES 1/1965 dalam legalitas ketatanegaraan. Peningkatan status dari PENPRES1/1965 ke UU 5/1969 menjadikan masalah agama sebagai masalah yuridis formal dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian sikap dan perilaku umat beragama dalam menjalankan kegiatan keagamaan pada umumnya dan ibadah pada khususnya yang sesuai dengan keyakinan masing-masing agama, langsung atau tidak, sadar atau tidak berada dalam tatanan hukum tentang pengakuan, pencegahan dan pelarangan sebagaimana menjadi materi muatan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969.
Mengacu pada konstitusi UUD 1945, maka baik legalitas, materi-muatan dan tujuan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai produk hukum dapat dikatakan bahwa pada satu sisi tertanggungjawab secara hukum. Namun pada sisi lain efektivitasnya patut dipertanyakan. Tertanggungjawab dalam pengertian bahwa PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah produk peraturan perundang-undangan yang sama dengan produk peraturan perundang-undangan lain sebagai hasil legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam kedaulatannya berhak mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. UU 5/1969 yang menetapkan PENPRES 1/1965 menjadi Undang-Undang adalah bentuk kedaulatan dan kekuasaan negara dan pemerintah sesuai dengan kewenangan konstitusional sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Sedangkan untuk efektivitasnya masih patut dipertanyakan dan didikusikan lebih lanjut. Sebab prosedur atau mekanisme, isi dan tujuan pembentukannya lebih terarah pada kepentingan negara dan pemerintah dari pada kepentingan warga negara itu sendiri. Katakanlah pendekatan keamanan oleh negara dan pemerintah jauh lebih diutamakan dari pada kepentingan kesejahteraan rakyat.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, memang, menurut Moh. Mahfud MD tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi politik; konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif dan populistik. Sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter maka produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif.[36]
Apakah isi dan tujuan atau nilai dasar PENPRES 1/1965 dan UU
5/1969 memiliki karakter responsif dan populistik atau otoriter dan konservatif? Dari dasar pertimbangan penetapan PENPRES 1/1965, terungkap “bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi dan pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur” (Pokok menimbang a, PENPRES 1/1965).
Dari ungkapan tersebut jelas bahwa produk hukum dipergunakan untuk “menjaga stabilitas keamanan demi jalannya pembangunan” dan dengan demikian hukum dijadikan alat oleh negara dan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya dan bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Ini suatu pendekatan yang bernuansa otoriter dan konsevatif. Pendekatan ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum point 3 PENPRES 1/1965 bahwa:
“Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.”
Dalam latar belakang dan konteks pembentukannya, secara hukum-yuridis baik PENPRES 1/1965 maupun UU 5/1969, sedikit atau banyak jelas dikandung maksud untuk memberikan nilai kemanfaatan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Produk peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan meregulasi kehidupan beragama agar sesuai dengan kebijakan negara dan pemerintah dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Pendekatan keamanan diperlukan untuk menciptakan ketentraman hidup masyarakat agar tersedia kesempatan untuk membangun masa depan bersama dalam suasana damai dan sejahtera.
Meskipun latarbelakang dan konteks PENPRES 1/1965 adalah Orde Lama dan UU 5/1969 adalah pemerintahan Orde Baru, namun kekuasaan kedua pemerintahan tersebut sama-sama bertumpu dan terpusat pada Presiden yaitu Soekarno dan Soeharto. Dengan kekuasaan yang sama-sama terpusat pada Presiden maka Soekarno menetapkan PENPRES 1/1965 dan Soeharto menetapkan PENPRES 1/1965 tersebut menjadi UU 5/1969. Isi dan tujuannya tetap satu dan sama yaitu meregulasi kehidupan beragama agar tercipta ketertiban dan ketertiban hidup beragama itu bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintah dalam membangun masa depan yang lebih baik dan bahagia.
[1] Kedua istilah hukum dan yuridis ini secara intuitif dapat dipakai bersamaan dengan tanda garis hubung tetapi juga bergantian secara terpisah satu dari yang lainnya dengan pengertian yang sama. Kata yuridis kami anggap lebih cocok karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini berarti: “menurut hukum atau secara hukum.” Jika dipakai dengan kata analisis maka berarti penganalisasian menurut hukum. Sedangkan kata hukum adalah jenis kata nomina yang biasanya berfungsi sebagai subjek atau objek. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. 3, Pusat Bahasa DEPDIKNAS , Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 410-411, 1278.
[2] Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian, hal. 193-194
[3] Revitch and Thernstrom, Demokrasi Klasik dan Modern, hal. 80 dyb.
[4] Sistem pembagian dan perimbangan kekuasaan, misalnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat adalah: Separation of power is implemented by an elaborate system of checks and balances. To mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the approval of both houses, by the President’s veto and by the power of judicial review of the courts. The President is checked by the fact that he cannot enact laws, that no money may be spent except in accordance with appropriation made by the laws, that Congress can override his veto, that he can be impeached, that treaties must be approved and appointments confirmed by the Senate and by judicial review. The judicial branch is checked by the power retained by people to amend the constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to appoint fact that Congress can determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of both the Supreme Court and inferior court. Dikutip dari:Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 98.
[5] Band. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 162.
[6] Ada legislasi dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit adalah proses pembuatan undang-undang yang hanya terkait dengan legislative act atau act of parliament, sedangkan dalam arti yang luas adalah terkait pula peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang mendapat kewenangan dari undang-undang, executive act. Dalam penelitian dan penulisan Tesis ini dipakai dalam pengertian yang kedua. Jimly Asshadiqqie, Hukum Tata Negara, hal. 241-243.
[7] Dikutip dari: Jazuni, Legislasi hukum Islam, hal. 33.
[8] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 168-169.
[9] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 171-172.
[10] Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Cet. 4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 24 dyb.
[11] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 89 dyb.
[12] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 27.
[13] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 27-28.
[14] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 28.
[15] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 29-30.
[16] Deppen-RI, Pancasila Ideologi dan Dasar Negara, Deppen RI, Jakarta, 1977, hal. 51-52
[17] A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi, hal. 54.
[18] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 36.
[19] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 36-37.
[20] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 37.
[21] JImly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 209.
[22] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 211-212.
[23] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 46-47
[24] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 243.
[25] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 212-213..
[26] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 213-214.
[27] Nama Orde Lama, sebenarnya muncul sebagai konsekuensi pemakaian istilah Orde Baru yang membedakan suatu era tatanan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang secara murni dan konsekuen berdasar pada Pancasia dan UUD 1945.
[28] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 214-215.
[29] Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. 3, Alumni, Bandung, 2005,.hal. 38-39.
[30] Rusli Effendy, dkk., Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Makassar, 1991, hal. 79-80; Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. 5, Cipta Aditya Abadi, Bandung, 2000, hal. 19-20.
[31] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia, Cet. 5, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 33.
[32] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. 2, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 72.
[33] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal. 19.
[34] Rusly Effendy, Teori Hukum, hal. 79-80.
[35] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal. 19.
[36] Moh. Mahfud MD. Politik Hukum, hal. 13-14.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar