Senin, 05 Januari 2009

Regulasi Agama/Bab 7 Aspek HAM Penpres 1/1965 dan UU 5/1969

BAB VII

ASPEK HAM PENPRES 1/1965 DAN UU 5/1969


1. Perlindungan HAM
a. Amanah dan Kewajiban Kostitusional
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak terlepas dari dunia bangsa-bangsa atau dunia internasional. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan terlebih sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, Indonesia bukan saja mengakui tetapi perlu memainkan peran aktif dalam melindungi dan mengembangkan HAM.
Pembukaan UUD 1945, mengamatkan negara dan pemerintah untuk: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Keikutsertaan dalam perlindungan dan pengembangan HAM di dunia internasional bukan saja karena sifat dan nilai universal HAM tetapi karena kewajiban konstitusinal bagi bangsa Indonesia. Universalitas dan isu internasional HAM menjadi wadah bagi bangsa Indonesia untuk menempatkan diri sebagai bagian dunia bangsa-bangsa dan pada saat yang sama menjalankan kewajiban konstitusionalnya ikut melaksanakan ketertiban dunia pada umumnya dan melindungi dan mengembangkan HAM pada khususnya.
Sebagai bagian integral dari dunia internasional, UDHR menjadi dasar komitmen bangsa Indonesia dalam melindungi dan mengembangkan HAM. Intrumen-intrumen internasional yang bersifat hukum-yuridis mengikat negara dan pemerintah untuk wajib melindungi dan mengembangkan HAM dalam konteks Indonesia. Ratifikasi instrumen-intrumen internasional mewajibkan negara dan pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan HAM bagi warga negara dan pada saat yang sama mewajibkan setiap warga negara mengakui dan menghormati HAM orang lain di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Baik Pembukaan maupun Pasal-pasal UUD 1945, dengan jelas mengamanahkan perlindungan dan pengembangan HAM baik dalam lingkup internasional maupun lingkup nasional atau domestik. Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J UUD 1945, memuat berbagai aspek tentang HAM, mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 165, yang secara hukum-yuridis merupakan penjabaran lebih lanjut yang mengikat dan berlaku umum bagi bangsa Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, HAM adalah:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Seperangkat hak dimaksud itu, seperti yang disebut dalam Pasal 28 A-28 J UUD 1945 dan yang kemudian dijabarkan dalam Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999. Sedangkan perlindungan dan pengembangan HAM itulah yang menjadi tanggungjawab siapa pun, tanggungjawab semua komponen masyarakat yang berdiam di atas bumi Pancasila. Atau dengan kata-kata lain, secara hukum-yuridis perlindungan dan pengembangan HAM merupakan kewajiban peraturan perundangan-undangan.
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, sebagai produk hukum tidak dapat bertentangan dengan UUD 1945, maka tujuan dan materi muatannya merupakan bentuk perlindungan HAM yang ditetapkan oleh negara dan pemerintah bagi warga negara Indonesia. Sebab jelas dengan menetapkan larangan bagi aliran dan atau kepercayaan lain untuk tidak menodai agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu, negara dan pemerintah melindungi hak beragama dan HAM warga negara dan penduduk Indonesia. Dengan demikian perlindungan HAM jelas adalah kewajiban PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969.

b. Realitas Perlindungan HAM
Negara pada umumnya dan pemerintah pada khususnya secara hukum telah mewujudkan tanggungjawab perlindungan HAM melalui produk peraturan perundang-undangan dan yang berhubungan langsung dengan HAM adalah: Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Hak beragama sebagai bagian integral dari HAM, langsung atau tidak langsung mendapat perlindungan yang sama melalui regulasi-regulasi agama, yang dalam penelitian ini adalah regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Secara yurdis, dalam Penetapan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa dengan kedaulatan yang penuh, negara dan pemerintah melindungi agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dari ancaman penyalah-gunaan dan penodaan oleh agama atau aliran kepercayaan lain. Pemerintah melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum untuk menceriterakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan, melakukan penafsiran, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama yang dianut di Indonesia (Pasal 1 PENPRES 1/1965)
Sementara dalam Pasal 2 ayat (2) PENPRES 1/1965, dinyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan secara kolektif dan secara kelembagaan atau organisatoris, mendapat sanksi pembubaran dan pembekuan sebagai organisasi terlarang oleh Presiden setelah menerima pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dan pelanggaran yang secara terus menerus dilakukan meskipun telah mendapat perintah dan peringatan keras dari Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri, maka baik orang perorang, penganut, maupun kolektif, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu mendapat sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun (Pasal 3 PENPRES 1/1965). Sanksi pidana tersebut pun diperintahkan untuk dimasukan dalam KUHP.pasal 156a (Pasal 4 PENPRES 1/1965).
Pemberian sanksi baik kepada orang perorang maupun kepada organisasi atau pengurus dari aliran kepercayaan yang melanggar penetapan tersebut, merupakan bentuk perlindungan hak beragama yang formal-yuridis dari negara terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Perlindungan hukum atas hak beragama itu bertujuan agar agama-agama tersebut dan penganut-penganutnya terhindar dari risiko tindak penyalah-gunaan dan penodaan agama dari pribadi dan komunitas beragama lain. Hal dimaksud dijelaskan dalam Penjelasan Umum pokok 2 PENPRES 1/1965:
“Dari kenyataan teranglah, bahwa : aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”.

Pada saat yang sama perlindungan itu juga bertujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi segenap rakyat atau segenap warga negara dan penduduk di seluruh wilayah Indonesia agar dapat menikmati ketentraman dalam menjalankan kegiatan keagamaan pada umumnya dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan kewajiban dan perintah agama dan keyakinan masing-masing. Hal dimaksud disebutkan dalam Penjelasan Umum point 3 PENPRES 1/1965:
“... agar oleh segenap rakyat di seluruh wilyah Indonesia dapat dinikmati ketentraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing”.
Perlindungan negara dan pemerintah terhadap hak beragama juga terkait dengan pencegahan terjadinya penyelewengan ajaran agama yang sudah menjadi pokok-pokok ajaran-ajaran formal atau dogma masing-masing agama seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum pokok 4 PENPRES 1/1965:
“Berhubung dengan maksud memupuk ketentraman beragama inilah maka penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan....”

Perlindungan atas hak beragama dalam PENPRES 1/1965 adalah suatu perlindungan yang formal-yurdis. Dikatakan formal-yuridis karena dalam konteks pembentukannya, Presiden memegang kekuasaan yang sangat signifikan dan kuat sebagai konsekuensi ditetapkannya dan dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 959. Dan Dekrit Presiden itu sendiri secara hukumpun dapat diterima karena memang negara berada dalam keadaan darurat yang melahirkan kondisi staatsnoodrecht.[1] Dengan dekrit yang materi muatannya adalah kembali ke UUD 1945, maka adalah kewajiban Presiden untuk mengemban amanah konstitusi UUD 1945 dalam melindungi hak beragama sebagai bagian integral dari HAM bagi seluruh warga negara di wilayah kedaulatan NKRI.
Pada era pemerintahan Orde Baru, perlindungan hak beragama yang menjadi materi muatan dan tujuan PENPRES 1/1965 itupun ditetapkan menjadi UU 5/1969. Soeharto yang memegang kekuasaan yang sangat besar dan kuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong bentukannya sendiri, menjadikan banyak, kalau tidak dapat dikatakan semua peraturan perundang-undangan, terutama penetapan-penetapan Presiden, seperti yang disebutkan sebelumnya yang menjadi sumber dan menyebabkan kekacauan produk hukum baik dalam materi muatan maupun hierarkinya, terutama dalam pengimplementasiannya di lapangan.
Pembentukan PENPRES 1/1965 bersama dengan Penetapan dan Peraturan Presiden lainnya, menjadi UU 5/969, menempatkan semua produk hukum yang dikeluarkan oleh Soekarno itu dan yang dinilai oleh pemerintahan Orde Baru sebagai “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan “suara hati nurani rakyat” (pokok menimbang b UU 5/1969) ke dalam tatanan hukum yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, dan sekaligus melegitimasi materi muatan dan tujuannya sehingga materi muatan dan tujuannya itu secara hukum-yuridis mengikat semua komponen bangsa dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dengan demikian regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 yang prosedur pembentukannya disangsikan keabsahannya maka melalui UU 5/1965, pun menjadi produk hukum yang legitimatif dan yang mengikat semua orang, baik orang perorang, komunitas maupun organisasi kelembagaan penganut agama apapun yang ada di Indonesia. Pada saat yang sama pula, regulasi agama menjadi bagian integral dari perlindungan HAM secara hukum-yuridis oleh negara dan pemerintah bagi penganut agama-agama di seluruh wilayah hukum NKRI.

2. Pengembangan dan Belenggu HAM
a. Pengembangan HAM
Baik dalam konstitusi UUD 1945 maupun PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 yang berlaku dan mengikat di Indonesia, negara menempatkan hak beragama sebagai bagian integral HAM (integrity rights), suatu hak yang juga melekat pada manusia sebagai manusia. Karena itu bilamana negara dan pemerintah meregulasi agama dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka hal tersebut dilaksanakan sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan negara atas warga negaranya dan sebagai wujud kebijakan negara dalam pengelolaan negara sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada saat yang sama pewujudan kedaulatan dan kebijakan itu, negara meregulasi kehidupan warga negara dalam bidang agama agar supaya kehidupan beragama mendukung tujuan pembangunan nasional untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 ditetapkan untuk mengarahkan kegiatan keagamaan dalam tatanan hukum yang berlaku agar tercipta kondisi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan tertib. Dalam kerangka berpikir seperti ini dapat dipahami bahwa regulasi agama menjadi jalan atau sarana bagi negara dan pemerintah untuk pengembangan HAM di wilayah hukum Indonesia. Namun pada saat yang sama dapat saja dipahami bahwa melalui regulasi agama, negara dan pemerintah membatasi bukan saja secara hukum tetapi juga moral, dinamika dan semangat universalitas HAM bagi warga negara Indonesia.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah produk peraturan perundang-undangan yang lahir dalam sistem ketatangaraan Indonesia, yang mengikat dan berlaku umum. Dalam praktek legislasinya, telah menjalani proses “pemurnian” dari PENPRES 1/1965 yang disangsikan keabsahannya, ditingkatkan status hukumnya menjadi UU 5/1969 yang hierarkinya lebih baik, mengikat dan berlaku umum. Ini berarti isi kandungan dan atau materi muatan dinilai sejalan dengan semangat menciptakan masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dasar pertimbangan dalam proses legislasi terhadap UU 5/1969, dikatakan:
“bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-undang.”(Pokok menimbang b, UU 5/1969)
Kata “sesuai dengan hati nurani rakyat” dapat dimengerti sebagai “nilai-nilai hidup” yang ada dalam masyarakat, “rasa keadilan” yang nampak dalam masyarakat dan atau “living law” yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan dasar pertimbangan PENPRES 1/1965 adalah:
“bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur perlu mengadakan pearturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama.” (Pokok menimbang a PENPRES 1/1965)
Kata atau ungkapan “menuju masyarakat adil dan makmur” mengandung pengertian adanya kebijakan dan usaha negara dan pemerintah melindungi hak-hak hidup warga negara melalui regulasi agama.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai bentuk pengembangan HAM dapat dilihat dalam pokok-pokok pikiran:
(1) Pertimbangan ayat (b) UU 5/1969 yang menyatakan bahwa: “… Penetapan Presiden … yang materinya sesuai dengan hati nurani rakyat.”
Ini berarti bahwa regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 adalah regulasi yang sesuai dengan suara hati nurani rakyat. Dan isi suara hati nurani rakyat adalah hak yang dianggap paling asasi dari manusia dan mempunyai nilai kebenaran yang universal. Dengan demikian regulasi agama menjadi bagian pengembangan HAM sebagai hak yang melekat pada warga negara Indonesia.
(2) Pertimbangan ayat (a) PENPRES 1/1965 menyatakan bahwa: “… menuju masyarakat adil dan makmur” dan dasar hukum-yuridisnya diletakkan pada Pasal 29 UUD 1945.
Dan dalam Penjelasan Umum pokok 2, PENPRES 1/1965, disebutkan:
“Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/ kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”

Penjelasan ini menunjuk pada kenyataan bahwa di dalam kehidupan masyarakat ada tantangan, ketegangan dan bahkan benturan di antara penganut dan komunitas agama yang diakibatkan oleh kehadiran aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan. Kondisi ini dinilai oleh negara dan pemerintah, telah menimbulkan dan cenderung meningkat ke arah pelanggaran hukum dan mengancam retaknya persatuan bangsa dan membahayakan kehidupan beragama, atau menggangu terselenggaranya kegiatan keagamaan sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan masing-masing.
Karena itu agama-agama yang diakui negara perlu dilindungi dari ancaman bahaya pada satu sisi dan pada sisi lainnya agar penganut agama-agama dapat menjalankan kegiataan keagamaannnya sesuai dengan pokok-pokok ajaran masing-masing. Hak beragama warga negara sebagai bagian dari HAM mendapat perlindungan negara dan sekaligus secara hukum-yuridis tersedia ruang dan waktu untuk bergerak secara bebas dan luas untuk mengembangkan ajaran masing-masing agama sesuai dengan keyakinannya. Perlindungan negara melalui regulasi agama dimaksud, sesuai Penjelasan Umum pokok 1 adalah bagian dari pewujudan sila pertama dari Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar moral bangsa, negara dan pemerintah bahkan dasar kesatuan nasional.
Kewajiban hukum bagi negara tidak saja melindungi agama
dari penodaan agama lain melainkan mencakup juga pengertian seperti menghargai (to respect), memajukan (to promote) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi warga negara, termasuk hak beragama, seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Baso: “tanpa diskriminasi, tanpa peminggiran dan pengucilan, serta tanpa pemilahan atas mayoritas-minoritas”.[2]
Karena itu produk hukum PENPRES 1/1965 merupakan wujud pengembangan HAM bagi warga negara Indonesia. Artinya sesuai dengan UUD 1945, pemerintah memahami kewajiban konstitusionalnya untuk mengembangkan HAM bagi warga negara melalui regulasi agama sebagaimana ditetapkan dalam produk hukum yang ada. Kewajiban itu nampak dalam pemahaman dan kesadaran bahwa produk hukum PENPRES 1/1965 ini didasarkan pada Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan bahwa:
Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Negara dan pemerintah mengakui bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah dibangun dan selanjutnya tetap akan dibangun dalam keyakinan agama masing-masing warga negara. Pengakuan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, menempatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam nilai-nilai moral etik yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai keagamaan yang hidup dan berkembang dalam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu sepanjang sejarah bangsa Indonesia diakui juga menjadi dasar moral pemerintah dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan negara.
Dengan kata lain, nilai-nilai keagamaan yang berkembang dalam kehidupan penganut agama-agama, tidak dapat dipisahkan dari kebijakan negara dan pemerintah. Karena itu, regulasi agama yang secara konstitusional ditetapkan, merupakan kebijakan negara dan pemerintah dalam mengembangkan HAM bagi warga negara Indonesia. Dengan meregulasi agama, maka negara dan pemerintah mengemban amanah konstitusi di atas dasar nilai-nilai agama dan pada saat yang sama mengembangkan nilai-nilai agama sebagai bagian pengembangan HAM.
Sebab sebagaimana diakui oleh Aswanto bahwa dasar atau cikal bakal HAM dewasa ini dapat ditemukan pada setiap kebudayaan, agama dan tradisi. Sejak kehadiran Nabi Musa yang memerdekakan umat Israel dari perbudakan di Mesir, manusia menyadari pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan.[3] Dalam banyak literatur, para pakar dan penulis masing-masing agama mengakui bahwa dalam masing-masing agama ada konsep yang sangat fundamental yang menjadi dasar pengembangan HAM.
Masdar Mas’udi, menyatakan bahwa dalam Islam ada lima prinsip HAM yaitu masing-masing:
(1) Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup.
(2) Hak perlindungan keyakinan.
(3) Hak perlindungan terhadap pikiran.
(4) Hak perlindungan terhadap hak milik.
(5) Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.
Di samping 5 prinsip hak di atas ada juga tiga lapisan hak, yaitu pertama, hak dzararat (hak dasar), kedua, hak sekunder, dan ketiga, hak tersier atau komplementer.[4]
Sementara Eka Dharmaputera, menyatakan bahwa dasar HAM dalam theologi Kristen dapat dilihat dalam tema-tema:
(1) Kedaulatan Allah yang universal: HAM adalah hak-hak yang paling asasi
yang dilekatkan oleh Sang Maha Pencipta pada setiap manusia dan semua manusia, semata-mata oleh karena ia adalah manusia. HAM terkait amat erat dengan hakikatnya sebagai manusia sebagaimana dikehendaki oleh Allah, pada waktu Ia menciptakan manusia. Tanpa hak asasi ini manusia bukanlah manusia seperti yang dikehendaki Sang Pencipta
(2) Citra Allah pada setiap manusia: Setiap orang mempunyai hak asasi untuk hidup bermartabat, hak untuk hidup berkomunitas, hak untuk mengelola alam ciptaan dan hak untuk membangun masa depan yang lebih baik sesuai dengan hakikatnya sebagai penyandang Citra Allah.[5]
Pada saat yang sama, B.S. Mardiatmadja, menyatakan bahwa dasar HAM dalam pandangan Katholik, dapat ditarik sampai ke awal mula sejarah umat manusia dalam bahasa Alkitab. HAM berdasar pada cara memandang martabat manusia sebagai sesuatu yang amat luhur dan sama pada semua manusia, apapun jenis kelaminnya, kulitnya, keturunannya, rasnya, kedudukan sosial maupun kedudukan politisnya. Sejak awal pribadi manusia mempunyai martabat yang luhur sebagai Citra Allah.[6]
Dari beberapa pemahaman tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan dan ajaran banyak agama, kalau tidak dapat dikatakan semua agama, tidak dapat dilepaskan dari HAM. Dengan demikian regulasi agama dengan tujuan dan nilai dasar ketertiban, keadilan dan kemanfaatan hukum, langsung atau tidak langsung terkait dengan pengembangan HAM.
Mengembangkan agama berarti mengembangkan HAM. Karena itu pada saat negara dan pemerintah menetapkan regulasi agama untuk menjamin terselenggaranya kegiatan keagamaan pada umumnya dan ibadah menurut kepercayaan masing-masing pada khususnya di sana pula berjalan upaya negara dan pemerintah dalam mengembangkan HAM bagi warga negara Indonesia.
Peregulasian agama dalam PENPRES 1/1965, menempatkan agama-agama bukan saja pada posisi yang formal-yuridis dan signifikan tetapi juga jelas dan kongkrit sebagai objek kebijakan pengembangan HAM sesuai dengan jaminan konstitusional Pasal 29 UUD 1945. Sebab pada hakikatnya hak beragama, yang dikelompokan oleh Aswanto dalam hak-hak sipil (civil rights) yang menyangkut keutuhan hidup manusia (integrity rights), adalah bagian integral dari HAM sebagai hak yang melekat pada manusia sesuai dengan kodrat, harkat dan martabat kemanusiannya. Penganut ke enam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu yang menjadi agama masyarakat Indonesia sepanjang sejarah perkembangannya, mendapatkan “bantuan-bantuan dan perlindungan” secara formal-yuridis. Bantuan dan perlindungan negara dan pemerintah ini membuka peluang dan sekaligus menyediakan fasilitas pengembangan hak beragama sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan HAM (Penjelasam Pasal 1 PENPRES 1/1965).
Dengan fasilitas pengembangan seperti dimaksud, negara dan pemerintah tetap memelihara hubungan yang dinamis dengan agama-agama sehingga agama-agama bukan saja mempunyai tempat tetapi juga fungsional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 menjadi sarana atau jalan bagi pengembangan HAM dan pada gilirannya negara dan pemerintah melalui regulasi agama menciptakan ketentraman warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam ketentraman hidup warga negara dan penduduk itu terwujudlah pengembangan HAM.
Konsekuensi penetapan pemberian fasilitas bantuan dan perlindungan kepada ke enam komunitas agama, mengandung konsekuensi pengertian bahwa komunitas agama lainnya tidak mendapat perlakuan yang sama di bumi Pancasila Indonesia. Negera dan pemerintah menyadari konsekuensi ini dan karena itu dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965 pun telah dinyatakan bahwa:
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Theosim dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lain”.

b. Pembelengguan HAM ?
Suatu regulasi atau peraturan, apalagi dalam bentuk “pelarangan”
selalu membawa konsekuensi baik positif maupun negatif. Positif bagi pihak yang tidak menerima risiko peraturan atau pelarangan dan negatif bagi pihak yang mendapat risiko baik fisik-material-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah dalam arti luas. Demikian pula dengan PENPRES1/1965 dan UU 5/1969 membawa konsekuensi baik positif maupun negatif bagi warga negara Indonesia. Keenam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu menerima nilai positif karena secara formal-yuridis mendapat fasilitas dan khususnya perlindungan dari penyalah-gunan dan penodaan agama. Mereka mendapat jaminan hukum sebagai proteksi dan untuk sementara waktu dapat dikatakan aman dari “ancaman dan gangguan” aliran kepercayaan lain.
Namun demikian, bilamana ditinjau lebih jauh, kondisi ini dapat membatasi ruang gerak pengembangan hak beragama sebagai bagian integral dari HAM. Karena itu dalam judul bagian pembahasan ini, dikemukakan tanda tanya PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai “Pembelengguan HAM ? Dapatkah atau apakah regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 merupakan pembelengguan atau yang penulis sebut dengan istilah “kerangkeng” bagi pengembangan HAM di Indonesia?
Mengapa tidak? Sebab agama sebagai sistem religi dan kepercayaan yang melibatkan manusia yang hidup dan beribadah dengan kusasa tuhan yang juga hidup dan berkuasa penuh, selalu berada dalam relasi yang dinamis. Perjumpaan dan pengalaman hidup bersama tuhan, menjadi motivator dan dinamisator hidup manusia untuk selalu bergerak menjadi lebih baik dan lebih sempurna ke arah kesempurnaan kehendak tuhan masing-masing.
PENPRES 1/1965 menempatkan manusia berada dalam koridor yang sama sepanjang regulasi itu tetap berlaku. Pelarangan di muka umum untuk menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama masing-masing itu, langsung atau tidak langsung menempatkan penganut agama-agama berada dalam belenggu dan dalam batas kerangkeng. Dalam kerangkeng itu penganut agama-agama hidup sesuai dengan regulasi agama dan pada saat yang sama dalam koridor yang jika keluar akan menerima sanksi yang memaksa yang dilakukan oleh negara dan pemerintah.
Sebagai pembanding, penulis ingin mengemukakan contoh seekor moyet yang diikat dan terikat atau yang berada di dalam suatu kerangkeng. Nampak di dalam kerangkeng, moyet tersebut dapat menikmati hidup dengan senang dan lincah. Semua aktivitasnya berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi semua itu terjadi dalam batas-batas kerangkeng. Sang moyet tidak dapat keluar dari keragkeng yang ada dan tidak dapat melihat dunia yang lebih luas. Sang moyet tidak dapat berhubungan dan berkomunikasi baik dengan sesama moyet maupun dengan sesama binatang; ia tidak dapat berkembara di tengah habitat yang sebenarnya di alam terbuka dengan panorama yang indah. Itulah gambaran kehidupan para penganut agama-agama yang berlangsung dalam regulasi agama yang menjadi kerangkeng bagi warga negara Indonesia dalam pengembangan HAM di Indonesia.
Sementara bagi penganut aliran kepercayaan yang lain, meskipun ada jaminan konstitusional sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, tetapi realitasnya, regulasi operasional pelarangan tetaplah pelarangan dan jelas bukan saja membatasi tetapi juga menyatakan tidak ada tempat bagi mereka. Sebab sanksi-sanksi menanti mereka, termasuk sanksi pidana dengan ancaman pidana penjara! Dengan demikian kehidupan keagamaan dengan kegiatan-kegiatannya yang terkait dengan kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas ditempatkan ke dalam kegiatan kehidupan sosial kemasyarakatan yang perilakunya diregulasi dengan ancaman pidana. Pelarangan dengan ancaman pidana seperti ini pun menjadi kerangkeng yang lebih besar dan luas bagi kebebasan beragama dan bagi pengembangan HAM warga negara Indonesia.
Secara hukum-yuridis, melalui regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, negara dan pemerintah melindungi dan mengembangkan HAM. Negara dan pemerintah Indonesia melindungi warga negaranya dari penodaan agama oleh aliran dan komunitas agama lain. Negara dan pemerintah melarang setiap orang bertindak dan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dianut warga negara Indonesia selama ini. Maka amanlah keadaan warga negara Indoensia dalam menjalankan kegiatan kegamaan sesuai dengan ajaran dan kepercayaan masing-masing; terpeliharalah keadaan tidak saling bertentangan dan tidak bersinggungan di antara sesama penganut agama yang diakui negara dan pemerintah. Sendi-sendi kegiatan keagamaan terjamin, tingkahlaku kehidupan beragama terkontrol di bawah regulasi agama. Karena itu kegiataan keagamaan semakin marak, solat berjemaah pada hari tertentu di Mesjid-Mesjid dibanjiri umat, ibadah di gereja melimpah ruah, ormanen-ornamen ritual kegiatan agama-agama pada hari-hari raya masing-masing agama Islam, Kristen Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu beranekaragam bentuk dan warna bergelantungan di setiap sudut tempat dan ruang bahkan di jalan-jalan raya di pusat kota. Semua itu terselenggara dalam tatanan hukum dan regulasi agama PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dan demikian juga dengan produk peraturan perundang-undangan lain, baik yang sejenis maupun yang hierarkinya lebih rendah di bawah Undang-Undang.
Realitas ini seperti sudah dikemukakan sebelumnya menempatkan warga negara Indonesia ataupun “manusia Indonesia ada dan hidup dibawah belenggu atau kerangkeng. Atau dapat dikatakan bahwa regulasi agama merupakan belenggu bagi pengembangan HAM. Kontitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM semuanya mewajibkan setiap pribadi, komunitas, lembaga swasta, negara dan pemerintah dan atau siapapun yang hidup diplanet bumi untuk menghormati HAM, termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Hak kebebasan beargama adalah salah satu yang melekat pada manusia yang tidak dapat dikurangi dan diambil oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Pada Pasal 28 E ayat () dan ayat (2) UUD 1945, ,juga menyatakan bahwa:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,”
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Sementara itu Pasal 28 I UUD 1945. menyatakan bahwa:
“Hak untuk hidup, … hak beragama … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Bagaimana mungkin, negara dan pemerintah Indonesia melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, menetapkan regulasi agama dengan melindungi warga negara Indonesia yang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dan pada saat yang sama melarang komunitas warga negara Indonesia “lain yang tidak masuk dalam kategori meyakini dan percaya pada agama-agama tersebut”?.
Negara dan pemerintah, memang memberi peluang yang sama kepada komunitas lain, sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965:
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Theoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini dan perarturan perundangan lain.”

Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965 tersebut, jelas memberi jaminan perlindungan tetapi jelas pula perlindungan itu terjadi dalam kerangkeng. Perhatikan kata-kata: “asal tidak melanggar ketentuan…”, yang sama artinya dengan “bebas tetapi bersyarat”. Ada kebebasan beragama yang dijamin secara konstitusional oleh negara dan pemerintah, akan tetapi dibalik kebebasan itu ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilewati. Itulah yang penulis sebut sebagai “Kerangkeng”. Secara hukum-yuridispun dapat dikatakan bahwa regulasi agama yang ditetapkan negara dan pemerintah adalah regulasi yang menempatkan warga negara Indonesia dalam belenggu-kerangkeng.
Dalam belenggu-kerangkeng dimaksud ini negara dan pemerintah melindungi dan mengembangkan HAM warga negara Indonesia melalui berbagai regulasi agama sehingga warga negara dan penduduk Indonesia secara hukum-yuridis menjadi “manusia beragama”.[7] Dalam belenggu-kerangkeng ini, kehidupan dan kegiatan agama warga negara dan penduduk Indonesia menurut kepercayaannya, terpelihara dengan baik oleh negara dan pemerintah melalui regulasi agama yang ditetapkan menurut kaidah-kaidah agama itu sendiri. Keluar dari belenggu-kerangkeng yang ada, secara yuridis mendapat sanksi bahkan sanksi pidana sekalipun.
Dalam belenggu-kerangkeng dimaksud warga negara Indonesia dapat mengembangkan nilai-nilai sakralitas kuasa tuhan, kegiatan ritualitas dan sistem kepercayaan menurut keyakinan agama masing-masing baik individu maupun komunitas penganut agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Tetapi semuanya berada dalam batas-batas hukum-yuridis regulasi agama yang mengikat dan berlaku umum.
Karena itu, warga negara Indonesia di bawah belenggu-kerangkeng itu tidak dapat keluar, mereka hanya dapat menatap dan memandang dari kejauhan apa yang sedang terjadi bagi sesama-nya seagama dan sesamanya manusia yang menikmati hak-hak hidup yang secara universal diakui melekat pada manusia karena ia atau mereka adalah manusia, apalagi seperti manusia Indonesia adalah manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

c. Harapan dan Realitas HAM
Instrumen HAM baik internasional maupun nasional berupa Konstitusi UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan telah tersedia. Ratifikasi berbagai instrumen internasional menempatkan sifat dan nilai universal dan isu internasioanl tentang HAM menjadi sifat, nilai dan isu nasional yang wajib mengikat dan berlaku umum di seluruh wilayah hukum Indonesia. Dengan demikian secara hukum-yuridis, Indonesia menjadi bangsa dan negara “pelindung HAM” sesuai semangat dan dinamika perjuangan HAM internasional. Dalam kerangka itulah tentunya, kedudukan Indonesia di forum internasional yang terkait dengan HAM menjadi penting dan menarik.
Penting dan menarik, sebab keikutsertaan Indonesia dalam semangat dan dinamika perlindungan dan pengembangan HAM internasional adalah karena amanah konstitusional, kewajiban peraturan perundang-undangan. Tetapi realitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam dekade terakhir berbicara lain. Masih banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terungkap. Sebut saja, sebagai contoh yang dikenal dengan istilah: Kasus Semanggi, Trisakti dan terakhir kasus terbunuhnya pembela HAM Munir.
Perlindungan dan pengembangan HAM di Indonesia berada di antara nilai-nilai yang menjadi tujuan hukum kemanfaatan, ketertiban dan keadilan sebagaimana menjadi amanah konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang sudah mengikat dan berlaku umum di seluruh wilayah hukum Indonesia. Namun realitasnya, nilai-nilai itu “jauh panggang dari api”. Perlindungan dan pengembangan HAM lebih banyak menjadi wacana publik dan komoditas politik dan belum menjadi budaya hukum bagi kehidupan dan keberadaan semua komponen bangsa Indonesia. Pembentukan dan penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, dapat ditempatkan antara harapan dan realitas perlindungan HAM. Sebab melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebut negara dan pemerintah melindungi HAM warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalah-gunaan dan penodaan agama. Sementara pada saat yang sama PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebutpun negara dan pemerintah melarang aliran agama lain itu untuk mengembangkan diri, paling tidak untuk tidak boleh membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional.
[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 90
[2] Ahmad Baso, Agar Tidak “Memayoritaskan DiriI”, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 28. Band. Asmara Nababan, Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal.110
[3] Aswanto, RefleksiI HAM, Pedoman Rakyat, Senin 11 Desember 2006.
[4] Lihat Masdar Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal. 63-72.
[5] Lihat Eka Dharmaputera, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Teologis Kristiani, dalam: Sairin dn Pattisina, Hubungan Gereja dan Negara, hal. 68-84.
[6] Lihat B.S Mardiatmadja, Hak Asasi Manusia dari Sudut Pandang Teologi Katolik. Band. Franz Magnis Suseno, Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal. 73-83 dan 84-90.
[7] Dalam Kartu Penduduk Indonesia yang menjadi identitas pribadi warga negara dan penduduk Indonesia, tidak ada seorang pun yang diidentifikasi tidak beragama. Jadi semua manusia Indonesia adalah manusia beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar