Senin, 05 Januari 2009

Regulasi Agama/Bab 8 Kebebasan Beragama dalam Penpres 1/1965 dan UU 1/1969

BAB VIII

Kebebasan Beragama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969

Sebagai salah satu bagian dari HAM yang melekat pada manusia maka hak beragama bagi warga negara Indonesia terjamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah. Hal tersebut bukan saja diatur secara hukum dan konstitusional dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tetapi juga menjadi falsafah bangsa Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Sesuai dengan fungsinya Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm yang tidak dapat diubah maka demikianlah hak beragama yang tercantum di dalamnyapun menjadi salah satu hak asasi yang tidak dapat dihapus oleh siapapun, termasuk oleh negara dan pemerintah. Sebaliknya hak beragama merupakan kewajiban konstitusional negara dan pemerintah untuk melindungi dan mengembangkannya.

1. Kebebasan Individu dan Kolektif Pemeluk Agama
Secara hukum baik kebebasan individu-pribadi maupun kolektif
bersama setiap warga negara yang memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu terjamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah. Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965, menyatakan bahwa :
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena enam macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga: “ mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal ini.”

Negara dan pemerintah menetapkan regulasi agama agar kehidupan umat beragama dan kegiatan keagamaan keenam komunitas agama di Indonesia tersebut terselenggara dalam nuansa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara yang rukun, tentram, adil dan damai.
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah regulasi agama yang menempatkan kebebasan individu dan koletif warga negara pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dalam koridor aturan hidup bersama di wilayah kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Ada kebebasan individu warga negara Indonesia untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan mengembangkan kehidupan beragama sesuai dengan ajaran dan keyakinan agama masing-masing; Ada kebebasan bagi penganut agama-agama untuk bersama-sama menjalankan kegiatan keagamaan dan mengembangkan kehidupan beragama dalam komunitasnya masing-masing. Pengalaman individual dan kolektif dalam sakralitas dan ritualitas kuasa tuhan sesuai ajaran dan keyakinan masing-masing agama, dijamin secara hukum berlaku bagi warga negara Indonesia.
Namun kebebasan individu yang dilindungi dan dikembangkan oleh negara dan pemerintah menjadi terbatas pada saat perlindungan dan pengembangan yang sama berlaku bagi individu lainnya dalam suatu komunitas beragama yang sama. Demikian juga dengan kebebasan komunitas yang dilindungi oleh negara dan pemerintah melalui regulasi agama menjadi terbatas pada saat perlindungan dan pengembangan yang sama berlaku bagi komunitas yang lain dan berbeda.[1]
Kebebasan individu dan koletif pemeluk agama dalam konteks Indonesia seperti dimaksud dapat dipahami juga dalam latarbelakang nilai kekeluargaan, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, yang menjiwai Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. Dalam nilai kekeluargaan ini, tidak ada kebebasan mutlak bagi seseorang atau bagi komunitas tertentu. Sebab semua anggota terikat dan terkait oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pergaulan hidup kekeluargaan. Sebaliknya karena tidak ada anggota secara individu dan komunitas yang sama maka perbedaan, diakui dan dihormati bahkan dilindungi.
Karena itu regulasi agama yang ditetapkan negara dan pemerintah dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tidak bermaksud untuk membatasi hak dan kebebasan beragama meskipun orang dapat menafsirkannya demikian. Regulasi agama tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kegiataan keagamaan dan kehidupan beragama dalam nilai kekeluargaan dan dalam tatanan hidup bersama masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di bawah payung Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya, dalam Pasal 28 J UUD 1945 dinyatakan dengan jelas bahwa:
Ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan mermasyarkat, berbangsa dan bernegara”.
Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Karena individu dan komunitas umat beragama adalah bagian dari keluarga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia maka setiap individu dan komunitas itu menjalani dan mengembangkan kebebasan beragamanya sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dalam masyarkat, bangsa dan negara Indonesia.

2. Kebebasan Kelembagaan dan Organisatoris Agama
Pengakuan negara dan pemerintah atas agama Islam, Kristen, katholik,
Hindu, Budha dan Kongfutsu sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965, adalah pengakuan kelembagaan dan organisatoris agama. Pengakuan ini berdasarkan realitas fisik-material dan pragmatis keberadaan dan kehadiran penganut agama masing-masing dalam pentas sejarah bangsa Indonesia, sebagaimana dinyatakan bahwa:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia: Islam, Kristen. Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena enam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia....”

Pengakuan terhadap agama sebagai lembaga dan atau organisasi agama di Indonesia kemudian dilegitimasi berdasar pada kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama:
(1) Memiliki Kitab Suci.
(2) Memiliki Nabi sebagai pembawa risalah.
(3) Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa).
(4) Memiliki Tata agama dan ibadah bagi pemeluknya.[2]
Namun Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina secara implisit mencabut pengakuan agama Kongfutsu sebagai agama resmi. Dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No: 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 dinyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung Nomor 67 Tahun 1980, Nomor 224 Tahun 1980, dan Nomor Kep-111/J.A/10/1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Dengan demikian dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, agama-agama yang diakui oleh negara dan pemerintah pernah hanya lima agama yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
Secara hukum baik dengan memakai pendekatan perundang-undangan (statute approach) maupun pendekatan konsep (conceptual approach) maka kehadiran agama sebagai lembaga atau organisasi yang diregulasi dalam PENPRES 1/1969 dan UU 5/1969, dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan HAM yang dilakukan negara dan Pemerintah.
Dengan pendekatan perundang-undangan, maka Pasal 28 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Demikian juga hal yang sama dinyatakan dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Di atas dasar hukum ini, warga negara sebagai penganut agama yang terhimpun dalam komunitasnya masing-masing, mempunyai hak untuk berserikat dan berkumpul dalam upaya mengembangkan sistem religi dan menjalankan kegiatan keagamaan secara bersama, terpadu dan sistematis.
Dasar hukum tersebut, dihubungkan dengan pendekatan konsep tentang nilai-nilai agama yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahwa konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam konstitusi UUD 1945 adalah nilai-nilai moral yang berdasarkan kepercayaan masing-masing agama sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral mana menjadi dasar kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesiaa. Oleh karena itu pengakuan agama sebagai lembaga atau organisasi bukan saja menempatkan penganut agama-agama sesuai dengan hak-hak hukumnya tetapi juga menempatkan perlindungan dan pengembangan nilai-nilai moral bangsa yang berdasarkan nilai moral agama sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Kebebasan beragama, Pluralisme dan Kerukunan Beragama
Secara hukum baik dari sudut pendekatan perundang-undangan maupun pendekatan konsep maka dengan jelas NKRI mengakui kebebasan beragama. Indonesia bukan negara agama yang kedaulatannya diatur menurut paham satu agama tertentu atau doktrin agama tertentu dan di Indonesia tidak ada juga agama negara yang hak beragama dan kegiatan keagamaannya dikelola menurut kebijakan negara dan pemerintah. Sebab seperti yang dinyatakan oleh B.J. Boland dan yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD, sebelumnya, Indonesia adalah: “negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan ingin bersifat positif terhadap agama pada umumnya”.
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, bukan rumusan teologis dan juga bukan rumusan kepercayaan dan keyakinan agama atau bukan juga pengakuan iman. Rumusan tersebut adalah rumusan politis yang merupakan jalan tengah terbaik yang diambil para pendiri bangsa ini (founding fathers) di saat mereka mencari formulasi dasar pembentukan negara Indonesia.
Secara konseptual, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Tuhan menurut keyakinan agama-agama melainkan “hal bertuhan”, sekali lagi… “hal bertuhan”. Eka Dharmaputera menyatakan bahwa: “Ketuhanan Yang Maha Esa tidak menunjuk kepada Allah atau Tuhan yang tertentu melainkan kepada satu konsep atau satu prinsip yang umum dan abstrak”.[3] Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep, prinsip atau gagasan keagamaan yang menempatkan nilai-nilai keagamaan seperti nilai yang terkandung dalam sakralitas pengalaman dengan kuasa tuhan, nilai ritualitas terhadap kuasa tuhan, nilai kegiatan keagamaan yang menurut kepercayaan masing-masing agama itulah yang menjadi dasar negara Indonesia.
Dengan demikian dalam menjalankan kebebasan beragama di Indonesia, negara mengakui pluralitas agama yang memang selama perjalanan sejarah bangsa ini, masing-masing agama telah memberi sumbangsih terhadap pembentukan nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak ada kebebasan beragama tanpa adanya pengakuan terhadap pluralitas. Pluralitas adalah realitas hidup bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya, adalah realitas hukum-yuridis sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahkan lebih dalam dari pada itu, pluralisme adalah realitas iman, seperti yang dikemukakan M. Qasim Mathar, pluralisme adalah bagian dari rukun iman. Karena rukun iman percaya kepada malaikat-malaikat Allah, percaya kepada kitab-kitab Allah dan percaya kepada rasul-rasul Allah, semuanya, ketiga rukun iman tersebut mengandung keharusan keimanan kepada hal-hal yang beragam. Ternyata keimanan kepada tiga rukun tersebut di atas, menuntut keharusan kepada pluralisme.[4] Karena itu perlindungan dan pengembangan kebebasan hak beragama adalah perlindungan dan pengembangan nilia-nilai hidup masyarakat dan hak-hak hukum warga negara Indonesia. Karena itu konsep dan pandangan tentang pluralisme bukan saja penting tetapi juga wajib dikembangkan dan diperjuangkan untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diseluruh wilayah kedaulatan Indonesia.
Dikatakan penting, karena pluralisme menempatkan realitas keragaman
atau pluralitas keagamaan dalam kehidupan bangsa Indonesia sepanjang sejarah sebagai “fakta yang tak terbantahkan kebenarannya”. Peribahasa lama mengatakan “lain padang lain belalang” dan semboyang “bhineka tunggal ika”, semuanya mengandung realitas pluralisme yang hidup dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Dikatakan wajib dikembangkan karena sesuai dengan amanah konstitusi dan kewajiban hukum, menempatkan pluralitas bukan hanya dalam hal keagamaan tetapi juga hal-hal atau bidang-bidang lainnya, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pengelolaan negara dan pemerintah dalam menjalankan kedaulatannya di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Dikatakan diperjuangkan karena di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang secara hukum mengakui pentingnya dan mewajibkan negara dan pemerintah mengembangkan pluralisme masih ada pengabaian pluralitas agama-agama dan pluralitas lain dan sekaligus upaya dominasi satu terhadap yang lainnya bahkan ada upaya penyeragaman dalam kehidupan bersama di bumi Pancasila Indonesia dan di NKRI, yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Dilihat dalam konteks lahirnya PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 maka regulasi agama merupakan sarana atau jalan yang ditempuh pemerintah unutk menciptakan kerukunan di antara umat beragama. Menurut Franz Magnis Suseno, prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti: “berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertetangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu”.[5]
Keadaan seperti ini menjadi dambaan dan bahkan diperjuangkan yang kemudian selama pemerintahan Orde Baru dikembangkan menjadi kerukunan antara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lainnya, antara umat beragama dengan pemerintah dan antar internal sesama umat beragama dalam lingkup masing-masing. Perhatikan, dalam Pertimbangan pokok a, PENPRES 1/1965, disebutkan:
“Bahwa dalam rangka pengamanan … perlu mengadakan peraturan untuk mencegah ….”.
Sedang dalam Pasal 1 PENPRES /1965 disebutkan:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum …..”
Dari ungkapan tersebut di atas, jelas bahwa negara dan pemerintah meregulasi agama untuk menciptakan kondisi kerukunan, suatu kondisi selaras dan seimbang, tidak saling bertentangan dan berbenturan di antara warga negara yang berbeda agama, suatu kondisi bersatu untuk satu tujuan, yang telah diletakan oleh negara dan pemerintah yaitu masyarakat adil dan makmur. Kerukunan menjadi sarana untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Karena itu dengan menciptakan kondisi kerukunan beragama di antara warga negara Indonesia melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 maka tersedia kesempatan yang signifikan bagi negara dan pemerintah yang tentunya bersama-sama dengan masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama yaitu masyarakat adil dan makmur
[1] Hasil analisis dan evaluasi Sunaryati Hartono, menyatakan bahwa: “... dalam menjalankan hak-haknya dan kebebasan-kebebasannnya setiap orang harus tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tetap terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. C.F.G. Sunaryati Hartono, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kewajiban Asasi Manusia Ditinjau dari Instrumen Hukum Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia, Badan Pembnaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004, hal. 21.
[2] Rumadi, Agama dan Negara, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 93.
[3] Eka Dharmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, hal. 109.
[4] M. Qasim Mathar, Pluralisme Bagian dari Rukun Iman, Fajar, Selasa, 10 Juli 2007.
[5] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Cet. 3, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 39.

1 komentar:

  1. chin titanium flat iron - TITanium Art
    In the middle of titanium steel the ancient Chinese Empire, chin tius made by the Tiang family of Chinese craftsmen. titanium tent stakes Chin Titanium titanium mens wedding band Art. The titanium razor glass of titanium engagement rings chin tin

    BalasHapus