Minggu, 04 Januari 2009

Regulasi Agama/Bab 2 Negara dan Konstitusi

BAB II

NEGARA DAN KONSTITUSI

1. Pengertian Negara
Pengertian negara, menurut Hans Kelsen, menjadi sangat sulit karena
anekaragam objeknya, yang terkadang digunakan dalam arti yang luas yang menunjuk pada masyarakat atau bentuk khusus dari masyarakat. Tetapi juga digunakan untuk menunjuk pada suatu organ khusus masyarakat seperti, pemerintah atau para subjek pemerintah.[1] Pada saat yang sama H. Muhammad Tahir Azhary menyatakan bahwa “sebagaimana diketahui, tidak ada suatu definisi yang disepakati tentang negara”.[2] Sedangkan H.F. Abraham Amos, menyatakan bahwa pengertian negara merupakan masalah yang pelik dan rumit, karena itu perlu dimengerti dalam arti objektif dan subjektif.[3]
Negara dalam arti objektif adalah segala sesuatu yang menyangkut ruang lingkup kedaulatan suatu kelompok komunitas masyarakat di mana di dalamnya terdapat struktur kehidupan sosial atas kehendak organ masyarakat pada suatu wilayah tertentu, dengan tujuan melakukan segala bentuk aktivitas hidupnya. Negara dalam arti subjektif adalah adanya sekelompok komunitas manusia yang menghendaki suatu bentuk teritorial kedaulatan, yang kemudian dibentuk semacam konsensus atau kontrak sosial. Kontrak sosial dimaksud adalah mufakat bersama dengan tujuan untuk membentuk wilayah kedaulatan sesuai kehendak komunitas dan memiliki seorang pimpinan.
Negara dalam arti objektif dan subjektif tersebut menunjuk pada segala sesuatu yang abstrak, statis, dan pasif atau tidak bergerak, yang kemudiaan karena digerakkan oleh suatu organ dalam hal ini komunitas sosial yang berkehendak untuk membentuknya sesuai dengan kehendak yang diinginkan bersama dengan pemimpin dalam suatu tatanan kehidupan komunitas masyarakat. Karena itu menurut H.F. Abraham Amos, negara dalam arti objektif tidak dapat diklaim sebagai subjek yang secara hukum melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu dilakukan oleh organ negara yaitu manusia sebagai subjeknya (subjectifiteit rechtsperson).[4]
Bagi Hans Kelsen, sebagaimana sudah dikemukakan di atas bahwa pengertian negara akan menjadi lebih sederhana bilamana ditinjau dari teori ilmu hukum murni. Dikatakan lebih sederhana karena negara hanya dipandang sebagai fenomena hukum, sebagai badan hukum yakni sebagai korporasi.[5] Dari sudut pandang ini, negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan tatanan hukum internasional) dan sebagai badan hukum negara adalah suatu personifikasi dari tatatanan hukum nasional yang membentuk komunitas. Karena itu dari sudut pandang hukum, sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, persoalan negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum (nasional).[6]
Pemahaman esensi suatu tatanan hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari negara sebagai realitas komunitas. Negara sebagai satu komunitas hukum tidak dapat dilepaskan dari tatanan hukum itu sendiri. Karena memang di manapun tidak ada negara tanpa tatanan hukum dan sebaliknya tidak ada tatanan hukum tanpa negara. Negara diatur, ditata dan dikelola menurut tatanan hukum dan tatanan hukum diatur dalam arti dibentuk atau diciptakan oleh negara.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah negara dalam dua pengertian. Pertama pengertian umum, negara sebagai institusi atau organisasi yang ruang gerak dan hidupnya terselenggara sesuai dengan tatanan hukum. Negara dalam arti demikian sama dengan yang dimaksud oleh Hans Kelsen, negara sebagai komunitas hukum dan karena itu apapun dan siapapun yang terkait dengan negara tidak dapat berada di atas hukum apalagi di luar hukum. Kedua, negara dalam pengertian khusus atau yang menunjuk pada pemerintah dan lebih sempit menunjuk pada kekuasaan eksekutif, yang secara hukum menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.
Pengertian negara akan diuraikan lebih lanjut dalam unsur-unsur berdirinya atau diakuinya suatu negara sebagaimana lazim dikenal dalam hukum internasional.

2. Unsur-unsur Negera
Secara konvensional, suatu komunitas masyarakat diterima menjadi negara apabila memenuhi unsur-unsur yaitu :
Pertama: rakyat atau masyarakat,
Kedua: wilayah atau teritorial,
Ketiga: pemerintah atau kekuasaan.[7]
Moh. Mahfud MD menyebut unsur-unsur tersebut sebagai unsur konstitutif dan ada juga unsur lain yang tidak kalah penting yaitu pengakuan negara lain sebagai unsur deklaratif. Ada juga yang menyebut unsur pengakuan negara lain atau pengakuan masyarakat internasional ini sebagai unsur komplementer.[8]

Unsur rakyat atau masyarakat: Rakyat adalah pribadi manusia dan komunitas masyarakat yang diam, hidup, bekerja dan berkarya dalam wilayah suatu negara. Rakyat merupakan unsur yang sangat penting dalam kehadiran suatu negara. Sebab dari kehendak rakyatlah baik sebagai pribadi maupun komunitas ditetapkan hakikat, bentuk dan tujuan negara dan termasuk unsur kedua, wilayah, dan unsur ketiga, pemerintah dari suatu negara yang ditetapkan oleh rakyat sesuai konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Aristoteles, menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertingi dan karena itu rakyat mengalahkan hukum dengan keputusan-keputusan mereka.[9]
Lebih jauh dari itu pemegang kedaulatan, rakyat menjadi barometer
keberhasilan atau suksesnya suatu pemerintah dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahannya. Tinggi rendahnya tingkat kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian rakyat atau masyarakatnya menjadi tolok ukur keberhasilan suatu pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan kedaulatannya. Dengan kata-kata lain, seperti yang dinyatakan Moh. Mahfud MD, bahwa: “sebenarnya rakyatlah yang secara langsung dan kongkrit berkepentingan agar negara itu berjalan dengan baik dan begitu juga manusia-manusia jualah yang berperan menentukan dalam pengertian negara sebagai organisasi”.[10] Di samping itu, di negara manapun dan dibelahan dunia manapun, rakyat atau warga negara mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dari tekanan dan ancaman apapun bentuknya dan dari manapun datangnya baik di dalam wilayah maupun di luar batas wilayah negara. Hak rakyat ini, menurut Hans Kelsen adalah hak yang perlu diberikan kepada rakyat sebagai imbalan kesetiaan rakyat itu sendiri terhadap apa yang diminta dan dituntut negara dan pemerintah. Hak dan imbalan ini menjadi kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk menjalankannya sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dan menurut hukum internasionalpun, setiap negara berhak untuk melindungi kepentingan warga negaranya dari pelanggaran oleh negara-negara lain.[11]

Unsur wilayah atau teritorial: Suatu negara mempunyai wilayah atau teritorial dengan batas-batas yang jelas dan pasti. Sebab batas wilayah menjadi batas pemberlakuan kedaulatan dengan kekuasaan atau otoritas penuh dari suatu negara, atau berlakunya suatu tatanan hukum nasional dalam satu negara. Wilayah suatu negara mencakup daratan, laut/air atau perairan dan udara di atas perairan. Atau seperti yang dikatakan oleh Hans Kelsen, wilayah negara bukanlah suatu bidang datar melainkan sebagai ruang yang berdimensi tiga. Ia tidak saja mencakup panjang dan lebar tetapi juga ketinggian dan kedalaman.[12]
Dalam ruang yang berdimensi tiga ini terselengaranya hidup, kerja dan karya rakyat dalam tatanan hukum dan berlangsung kedaulatan negara yang dijalankan oleh pemerintah sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Dalam wilayah dan ruang yang berdimensi tiga ini dengan batas-batasnya ini juga rakyat atau setiap warga masyarakat yang adalah warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak dimiliki oleh warga negara lain, meskipun keduanya tinggal di wilayah yang sama.
Semua hal yang disebutkan di atas baik rakyat dengan hidup, kerja dan karyanya maupun pemerintah dengan kekuasaan pemerintahannya yang berdaulat dalam batas-batas wilayah atau teritorial, terselenggara dan diatur menurut konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Karena itu pemerintah sebagai salah satu unsur negara menjadi amat penting dan menonjol karena pemerintahlah yang menjadi pembuat, pelaksana dan sekaligus pengawal hukum di dalam suatu negara.

Unsur pemerintah atau penguasa: Ungkapan yang singkat namun jelas dan tegas yang menunjuk pada pengertian pemerintah, dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD, seperti: “pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan.”[13] Sebagai unsur negara, pemerintah mempunyai arti yang luas dan arti yang sempit. Dalam arti luas, pemerintah mencakup apa yang lazim dikenal dengan trias politiknya Charles De Montesquieu (1689-1755), yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang menjadi ciri khas hampir semua negara modern di seantero dunia ini.[14] Secara sinergis masing-masing unsur kekuasaan pemerintah dimaksud menjalankan fungsinya untuk menjalankan kekuasaannya dan untuk mencapai tujuan negara. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintah hanya mencakup fungsi eksekutif yang dilakukan oleh kabinet dan aparat-aparat dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah.
Pemerintah atas legitimasi rakyat menjalankan fungsi eksekutif dalam batas-batas wilayah atau teritorial negara. Karena itu pemerintah mempunyai kekuasaan atas semua warga negara diseluruh wilayah negara, atau pemerintah mempunyai kedaulatan penuh atas unsur negara yang disebut sebelumnya yaitu rakyat dan wilayah. Sudah pasti, pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaan tersebut, wajib hukumnya, sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, pemerintah dalam menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas rakyat dan wilayah negaranya, berada dalam batas-batas normatif konstitusional, institusional, legitimatif, periodik dan teritorial.
Normatif konstitusional dalam arti bahwa semua kedaulatan dan kekuasaan pemerintah yang diembannya adalah kedaulatan dan kekuasaan yang diatur menurut norma-norma dan konstitusi yang diterima menjadi dasar dan landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Normatif institusional dalam arti bahwa pemerintah sebagai unsur negara merupakan institusi yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan norma hukum yang berlaku bagi negara sebagai organisasi. Tidak ada kehendak dan kepentingan pribadi yang mendominasi dan diperjuangkan dalam negara. Semua kepentingan apapun dan dari siapapun berada di bawah naungan kepentingan bersama dalam institusi negara. Sebab semua pribadi telah sepakat dalam kontrak sosial untuk berada dalam satu tujuan bersama yaitu tujuan negara.
Normatif legitimatif dan periodik dalam arti bahwa pemerintah dalam menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas rakyat dan wilayah sesuai dengan legitimasi yang diberikan oleh rakyat melalui regulasi yang berlaku secara demokratis dan secara teratur dan tetap dalam periode waktu tertentu. Tidak ada legitimasi seumur hidup, terus menerus tanpa batas waktu dan seperti pernyataan Aristoteles, bahwa: "tidak ada pemerintah yang berlangsung salama-lamanya, tetapi kalau ada pemerintah seperti itu maka pemerintah itu harus dicabut kekuasaannya"[15]. Legitimasi kedaulatan dan kekuasaan pemerintah berada dalam kurun waktu tertentu dan secara teratur dapat diperbarui sesuai dengan norma-norma pemerintahan yang baik.
Normatif teritorial dalam arti berada dalam teritorial yang diakui bersama sebagai negara dan juga diakui oleh negara-negara lain yang juga merdeka dan berdaulat atas rakyat dan wilayah negaranya masing-masing.

Unsur pengakuan negara lain: Pengakuan negara lain, sebagai unsur yang disebut komplementer atau deklaratif, diperlukan baik secara politis maupun hukum agar negara yang menjalankan kedaulatan dan kekuasannya atas rakyat dan wilayahnya menjadi bagian dari masyarakat internasional. Sebab suatu negara yang merdeka dan berdaulat tidak hanya menjalankan kekuasaannya dalam koridor dan tatanan hukum nasional tetapi juga hukum internasional. Pada saat yang sama tatanan hukum nasional bersinggungan dan atau berbatasan langsung dengan tatanan hukum nasional negara lain, yang jika tidak diakomodir dalam tatanan hukum internasional dapat menjerumuskan suatu negara terlibat dalam konflik tertentu dengan negara-negara lain.[16]
Karena itu dalam tatanan hukum internasional, ada norma-norma pengakuan suatu negara baik secara politis maupun hukum, meskipun menurut Hans Kelsen antara pengakuan dari aspek politis dan aspek hukum ada kekaburan. Kekaburan dimaksud disebabkan oleh tidak dibedakannya pengakuan politis dan pengakuan hukum. Tindakan politis dalam pengakuan suatu negara terkait dengan kehendak menjalin hubungan politik dan hubungan lain dengan negara yang diakuinya. Dalam kerangka pengakuan dan hubungan politis inilah unsur deklaratif negara menjadi penting. Sedangkan tindakan hukum dalam suatu pengakuan negara berarti suatu negara mengakui negara lainnya sesuai dengan hukum internasional yang mengatur apa itu negara, kondisi-kondisi apa yang dibutuhkan untuk pengakuan secara hukum kehadiran suatu negara dikanca internasional.[17] Pengakuan negara secara hukum ini mengandung pengertian bahwa negara ada sebagai subjek hukum internasional dalam hubungan dengan negara lain atas dasar pengakuan timbal-balik. Dengan demikian pengakuan secara hukum merupakan suatu penegasan fakta hadirnya suatu negara dalam pentas dunia dan dalam tatanan hukum internasional.

Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Konstitusi
Secara etimologis, istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia berpadanan
dengan constitution dalam bahasa Inggris, verfassung dalam bahasa Jerman, constitutie dalam bahasa Belanda, constitutionel dalam bahasa Perancis, dan constituo atau constitutum dalam bahasa Latin. Konstitusi berarti pembentukan, terjemahan dari bahasa Latin: cume + sta + statuere: cum yang berarti “bersama dengan”, stare yang berarti “berdiri”, statuere yang berarti “berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian menurut Dahlan Thaib, dkk, bahwa: dalam bentuk tunggal: constitution berarti : “menetapkan sesuatu secara bersama-sama” dan dalam bentuk jamak constitusiones, berarti: “segala sesuatu yang ditetapkan.”[18]
Konstitusi, menurut Krisna Harahap, mempunyai pengertian luas dan sempit, dan pada umumnya para akhli memahami dan mengakui bahwa konstitusi mengandung pengertian yang luas dan pengertian sempit.[19] Pengertian luas adalah dokumen hukum (legal document) resmi dengan kedudukan yang sangat istimewa baik dalam bentuk tertulis (written) maupun tidak tertulis (unwritten). Keistimewaan dimaksud terletak pada sifatnya yang mulia, yang mencakup kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip-prinsip pokok organisasi dan kekuasaan negara serta upaya pembatasan kekuasaan negara dan yang dapat diterima sebagai fundamental law dan the higher law. Sedangkan dalam arti sempit, konstitusi adalah nama yang diberikan kepada dokumen hukum, dokumen politik yakni Undang-Undang Dasar yang berisi antara lain susunan organisasi negara dan cara kerjanya.
Pengertian konstitusi dalam arti luas tidak hanya dilihat dari aspek hukum tetapi juga sosiologis dan politis. Sebab suatu Undang Undang Dasar hanyalah sebagian dari konstitusi yakni kontitusi tertulis saja. Menurut Herman Heller, konstitusi mempunyai pengertian sosilogis dan politis karena mencerminkan kehidupan real masyarakat dan ini belum merupakan konstitusi dalam arti hukum. Konstitusi menjadi kaidah hukum setelah melalui tahapan pencarian unsur hukum dan menyatukan kaidah hukum serta menuangkannya dalam naskah sebagai Undang – Undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Pengertian Konstitusi dalam arti sempit, menurut Sri Soemantri, sama dengan Undang-Undang Dasar. Pengertian ini dipengaruhi oleh paham kodifikasi yang mengharuskan semua peraturan hukum tertulis dengan maksud mencapai kesatuan, kesederhanaan dan kepastian hukum. Pengertian ini juga didasarkan pada anggapan bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang mutlak harus dibatasi sesuai dengan adagium bahwa: power tends to corrupt; absolute power corrupt absolutely. Karena itu konstitusi hanya mengandung norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam negara agar kecenderungan tersebut tidak menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Krisna Harahap, konstitusi dapat juga dipahami dari pengertian statis dan dinamis. Konstitusi dalam arti statis adalah ketentuan konstitusional yang normatif dan berkualifikasi sebagai konsep sebagaimana diinginkan oleh suatu bangsa untuk diwujudkan sebagai perwujudan perjanjian atau kontrak sosial. Sedangkan konstitusi dalam arti dinamis adalah konstitusi yang tidak hanya sekedar berisi rumusan hukum-normatif melainkan juga bersifat praktis serta menunjukkan adanya interaksi antar konponen.[20] Secara sederhana dan singkat, konstitusi dapat dirumuskan sebagai: segala ketentuan mengenai ketatanegaraan atau Undang-Undang Dasar suatu negara.
Bagi Krisna Harahap, suatu konstitusi mempunyai empat karakter yaitu:
Pertama: Konstitusi sebagai suatu hukum yang tertinggi dalam suatu
negara (a constitution is supreme law of the land).
Kedua: Konstitusi sebagai suatu kerangka kerja sistem pemerintahan (a
constitution is frame work for government)
Ketiga: Konstitusi merupakan suatu instrumen yang legitimatif untuk
membatasi kekuasaan pejabat pemerintah (constituion is legimate way to grant and limit powers of government officials). Di samping itu juga ada karakter lain,
Keempat, konstitusi menjadi kendaraan untuk mengakomodasi tatanan
internasional (the vechicle for defining the international order) ke dalam sistem hukum nasional.[21]
Dalam kerangka empat pokok pikiran di atas, maka konstitusi mendapat kedudukan yang tinggi sebagai sumber hukum teritinggi dalam suatu negara dan sebagai intrumen yang efektif untuk mencegah timbulnya penyalah-gunaan kekuasaan.
Sebagai sumber hukum, konstitusi menjadi hukum dasar (basic law), yang berisi
norma-norma dasar yang berfungsi untuk mengarahkan bagaimana pemerintah memperoleh kewenangan mengorganisasikan kekuasaan, dan prosedur melaksanakan kekuasaan dengan mengakui kebebasan individu yang dapat membatasi kekuasaan penguasa. Karena itu konsekuensinya adalah bahwa konstitusi harus dapat menjiwai lahirnya produk hukum yang berorientasi tidak saja pada kepastian dan kemanfaatan hukum tetapi juga tuntutan keadilan bagi seluruh warga negara. Demikian juga bahwa semua peraturan perundang-undangan yang hierarkinya berada di bawahnya tidak boleh bertentangan atau harus sesuai dengan isi kandungan konstitusi atau Undang Undang Dasar, sesuai dengan prinsip: Lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah),

Model dan Materi Muatan Konstitusi
Tidak ada model konstitusi yang ideal berlaku bagi semua negara.
Namun sejalan dengan pendapat K. C. Wheare, konstitusi dapat diklasifikasi dalam beberapa kategori yaitu:
(1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis ( written constitution and unwritten
constitution),
(2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible constitution and rigid
constitution),
(3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak berderajat tinggi (supreme constitution and not supreme constitution),
(4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution),
(5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem parlementer (presidential executive and parliamentary constitution).[22]
Negara manapun di berbagai belahan bumi ini mengambil model kontitusinya sesuai dengan latar belakang dan konteks sejarah perkembangan konstitusi masing-masing negara.
Dalam hal materi muatan suatu konstitusi, menurut Henc van Maarseveen, meliputi:
(1) Hukum dasar negara
(2) Peraturan dasar lembaga penting negara
(3) Peraturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya
(4) Hak dasar dan kewajiban warga negara baik sendiri-sendiri maupun bersama
(5) Pembatasan kekuasaan negara dan lembaga negara
(6) Idologi elit penguasa
(7) Hubungan material antara negara dan masyarakat.[23]
Materi muatan yang lebih sederhana dikemukakan oleh J. G. Steenbeek, meliputi:
(1) Jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara
(2) Sususnan ketatanegaraan yang bersifat fundamental
(3) Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[24]
Mengacu dan sekaligus memperbandingkan materi muatan konstitusi di atas maka konstitusi yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah UUD 1945. UUD 1945 dimaksud adalah UUD 1945 yang sudah mengalami empat kali perobahan sejak bergulirnya era reformasi.[25]
Kesimpulan ini diambil bukan saja berdasar pada perkembangan sejarah dan realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetapi juga secara hukum telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan di NKRI adalah sebagai berikut:
(1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(3) Peraturan Pemerintah
(4) Peraturan Presiden
(5) Peraturan daerah
Dari hierarki tersebut menjadi jelas bahwa UUD 1945 adalah konstitusi yang daripadanya berasal peraturan perundang-undangan dan kemana peraturan perundang-undangan diuji keabsahannya.
Materi muatan UUD 1945 pada prinsipnya menjamin kewajiban negara pada umumnya dan kewajiban pemerintah pada khususnya dalam menjalankan kedaulatan dan kekuasannya, menjamin hak-hak dasar dan HAM. Karena itu regulasi apapun yang dibuat oleh negara dan pemerintah adalah amanah konstitusi untuk pengembangan kehidupan rakyat yang lebih baik sesuai tujuan negara, dan dengan regulasi itu sendiri negara dan pemerintah menempatkan warga negara dalam hidup, kerja dan karyanya dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

[1] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 261.
[2] H. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi 2, Cet. 1, Prenada Media, Jakarta, 2003, hl. 17.
[3] H. F. Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia dari Orla, Orba sampai Reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1.
[4] Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan, hal. 2.
[5] Korporasi, bagi Hans Kelsen adalah sekelompok individu yang oleh hukum diperlakukan sebagai satu kesatuan yakni sebagai pribadi yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dari hak dan kewajiban individu-individu yang membentuknya. Korporasi dipandang sebagai pribadi karena peraturan hukum menetapkan hak dan kewajiban tertentu menyangkut kepentingan anggota korporasi tetapi bukan merupakan hak dan kewajiban dari para anggota dan karena itu ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban korporasi itu sendiri. Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 140-141.
[6] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 261.
[7] Hans Kelsen, Hukum dan negara, hal. 297 dyb.
[8] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur,, hal. 64-65, Band. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, hal. 17.
[9] Dikutip dari: Diane Revitch dan Abigail Thernstrom, Editor, Demokrasi: Klasik dan Modern, Terj. Hermoyo, Pengantar: Muchtar Lubis, Catatan Edisi Revisi: Franz Magnis Suseno, Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 16-17.
[10] Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur, hal. 65.
[11] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 336-337.
[12] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 308-310.
[13] Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur. 66.
[14] Dikutip dari: Revitch dan Thernstrom, Demokrasi: Klasik dan Modern, hal. 80 dyb.
[15] Dikutip dari: Revitch dan Thernstrom, Demokrasi: Klasik dan Modern, hal. 14.
[16] Bagi Hans Kelsen: Pengakuan suatu negara menjadi penting tidak saja berdirinya suatu negara baru tetapi juga berakhirnya suatu negara lama. Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 318.
[17] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 314 dyb.
[18] Dahlan Thalib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Cet. 4, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hal. 7-8.
[19] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal.1 dan Budiman Sinaga N.P.D, Hukum Konstitusi, Kata Pengantar Sri Soemantri Martosoewignyo. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2005, hal. 6-7.
[20] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 170.
[21] Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 172-173.
[22] Dahlan Thaib dkk, Teori dan Hukum, hal. 25.
[23] Dikutip dari: Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia, hal. 179
[24] Thaib dkk, Teri dan Hukum, hal. 16.
[25] Perobahan pertama disahkan tanggal 19 Oktber 1999; kedua disahkn tanggal 18 Agustus 2000; ketiga disahkan tanggal 10 November 2001 dan keempat disahkan tanggal 10 Agustus 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar