Rabu, 14 Januari 2009

Pluralitas Dalam Teologi Integrasi

PLURALITAS DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI INTEGRASI[1]

Pendahuluan
Pluralitas adalah suatu fakta dan realitas yang tak terbantahkan dalam alam semesta pada umumnya dan dalam kehidupan umat manusia pada khususnya. Bahkan sejarah perkembangan peradaban manusia yang sedemikian pesat dan modernnya sekarang ini tidak lain dari keberhasilan manusia mengelola dan me-manage pluralitas: fakta dan realitas tersebut. Fakta dan realitas yang dimaksud dalam tulisan ini menunjuk bukan saja pada peristiwa dan kejadian yang terjadi dalam kehidupan dan dialami manusia tetapi semua hal yang secara material dan phisik merupakan kenyataan yang alamiah, ada dan terjadi di tengah alam semesta pada umumnya dan yang terkait dengan kehidupan umat manusia.
Karena itu jika pada akhir-akhir ini ada pihak-pihak yang mempersoalkan pluralitas
dan lebih dari itu, tidak memahami apalagi mengabaikan dan menyangkal apa itu pluralitas dan maknanya bagi alam semesta pada umumnya dan bagi kehidupan manusia pada khususnya, maka tema Jurnal Edisi No. 9 ini sangat tepat. Dikatakan tepat, karena pengabaian dan penyangkalan pluralitas berarti pengabaian dan penyangkalan hidup itu sendiri dan pengabaian dan penyangkalan proses alamiah dan proses perkembangan sejarah pearadaban manusia sampai sekarang ini. Dengan demikian tulisan ini, meskipun kecil dan sederhana, menjadi bagian dari pemahaman pluralitas dan maknanya dari perpektif Teologi Intergrasi. Dalam uraian selanjutnya , meskipun tidak secara ketat, penulis mengikuti langkah-langkah pembahasan, sebagaimana dimaksud dalam Teologia Integrasi, yang dimuat dalam: Seberkas Cahaya di Ufuk Timur: Pemikiran Teologi dari Makassar.[2]

Masalah Pluralitas
Secara alamiah pluralitas: fakta dan realitas terjadi dan berkembang dalam keutuhan dan harmoni hukum alam. Semua unsur alam, material, benda alam, makhluk hidup flora dan fauna bahkan makhluk hidup manusia berada dan hidup dalam keutuhan dan harmoni alam. Masing-masing hadir dan ada sesuai dengan potensi yang dimiliki; masing-masing berjalan dan menjalankan fungsi-peran sesuai dengan kodrat alamiahnya. Ada yang memberi sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan ada yang menerima sesuai dengan kebutuhannya. Dengan masing-masing memberi sesuai dengan potensinya dan menerima sesuai dengan kebutuhannya, maka hidup berlangsung bahkan berkembang. Ada dialektika hidup antara satu fakta dengan fakta yang lainnya, ada dinamika yang dialektis antara satu realitas dengan realitas yang lainnya, yang sekaligus menjadi ciri kehidupan dan yang bagi manusia, kemudian berkembang menjadi peradaban.
Permasalahan muncul, ketika suatu benda alam, makhluk hidup: flora dan fauna ataupun manusia memberi tidak sesuai, baik kurang maupun lebih dari potensinya dan menerima tidak sesuai dengan kebutuhannya baik itu kurang maupun lebih. Memang, terlebih bagi mahkluk hidup, ada kemampuan masing-masing untuk mentoleransi baik kekurangan maupun kelebihan. Terlebih lagi bagi manusia, karena potensi baik akal maupun phisik, manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mentolerasi kekurangan dan kelebihan dimaksud.
Masalah lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang akhir-akhir ini menjadi isu baik internasional maupun nasional, dapat dilihat sebagai masalah tidak terpeliharanya pluralitas. Betapa tidak? Fakta dan realitas tersedianya benda alam, makhluk hidup flora dan fauna tidak seimbang lagi dengan kebutuhan hidup manusia. Benda alam, flora dan fauna dan manusia tidak lagi dalam harmoni yang saling mendukung berlangsung dan berkembangnya kehidupan di atas planet bumi ini. Potensi benda alam, flora dan fauna tidak seimbang dengan kebutuhan hidup manusia; manusia menerima lebih dar kebutuhan hidupnya, manusia mengambil potensi benda alam, flora dan fauna melebihi potensi yang dikandung masing-masing.
Hak asasi manusia pun terjadi karena tidak adanya kesimbangan dan keharmonisan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Pengabaian dan apalagi penyangkalan hak-hak seorang anak manusia atau anak bangsa oleh anak manusia atau anak bangsa lainnya, termasuk penyeragaman dalam bentuk apapun yang terkait dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dab bernegara, menjadi masalah pluralitas. Mengapa demikian? Ya, karena hal itu bukan saja menyangkal pluralitas: fakta dan realitas yang alamiah mendukung berlangsungnya dan berkembangannya kehidupan dan sejarah peradaban, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan Allah, Sang Pencipta alam semesta, makhluk hidup dan manusia.

Realitas alamiah dan objektif
Pluralitas adalah fakta dan realitas alamiah yang pada satu sisi keberadaan dan
kehadirannya menunjuk pada fakta dan realitas kehidupan yang ada dan pada sisi lainnya mendukung kelangsungan kehidupan itu sendiri. Unsur-unsur alam berupa benda alam seperti tanah, air, udara, cahaya matahari dan lainnya merupakan pluralitas: fakta dan realitas yang benar dan sungguh menjadi unsur pendukung kehidupan, bahkan tanpa hal tersebut tidak ada kehidupan. Semua hal yang ada dan sedang berlangsung sekarang ini bertumpu pada bumi dan di atas tanah; semua makhluk hidup apapun jenisnya tidak dapat hidup dan tidak dapat mempertahankan kehidupannya tanpa air, udara dan cahaya matahari. Semua unsur benda alam dengan segala keragamannya, ada sebagai bagian dari kehidupan dan sekaligus untuk mendukung kehidupan sendiri. Karena itu semua keragaman benda alam itu ada secara alamiah untuk dirinya sendiri (meskipun masing-masing tidak menyadari keberadaannya untuk diri dan untuk fakta dan realitas lain) dan menjadi bagian integral dari proses alamiah dari kehidupan sekaligus pendukung kehidupan itu sendiri (meskipun juga masing-masing tidak menyadari bahwa fakta dan realitas lain dan terlebih mahkluk hidup membutuhkannya).
Pluralitas adalah fakta dan realitas objektif bagi makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya. Mengapa tidak? Karena makhluk hidup dan manusia hanya dapat hidup dalam kondisi yang objektif dengan tersedianya tanah, air, udara, cahaya, dsbnya, dan dst-dstnya. Makhluk hidup hanya dapat mempertahankan, mengambangkan apalagi memantapkan hidupnya hanya dengan kondisi objektif tersedia dan adanya pluralitas makhluk hidup lain dan manusia. Tidak ada makhluk hidup apapun jenisnya yang tidak membutuhkan makhluk hidup lain baik itu flora dan fauna, terlebih manusia itu sendiri. Hidup hanya akan bertahan bilamana terselenggara dalam pluralitas alamiah dan objektif; hidup hanya akan berkembang bilamana didukung oleh pluralitas alamiah dan objektif; dan hidup hanya akan mantap bilamana dinikmati dalam pluralitas alamiah dan objektif. Manusia dan makhluk hidup tidak pernah hidup dan berkembang di ruang dan waktu yang kosong atau hampa, tanpa pluralitas: fakta dan realitas; manusia hanya dapat hidup dalam pluralitas: fakta dan realitas objektif; dan di sekitar manusia, pasti ada pluralitas objektif.[3]
Di dalam kondisi seperti inilah, peran manusia yang diciptakan Tuhan sebagai “CitraNya” dengan karunia cita, karsa dan rasanya, dapat menempatkan nilai pluralitas alamiah dan objektif itu sebagai pendukung terciptanya harmoni kehidupan di hadapan Tuhan, ditengah umat manusia dan di alam semsta ini. Karen itu dua pokok terakhir ini, terkait dengan nilai teologis pluralitas dalam perspektif Teologi Integrasi.

Realitas ciptaan dan kehendak Tuhan
Teologi pada umumnya dan Teologi Intergarsi pada khususnya selalu mendasarkan
pemahaman teologisnya pada idea alkitabiah. Karena itu pada bagian ini dikemukakan pluralitas dalam konsep Alkitab. Pluralitas adalah ciptaan dan kehendak Tuhan. Konsep ini dikemukakan dengan jelas dan panjang lebar dalam kisah penciptaan dalam Kejadian 1. Meskipun dalam tradisi penulisan kitab Kejadian, penulis kisah penciptaan tersebut, termasuk paling muda dan terakhir dibanding dengan penulis tradisi lain, tetapi karena penulis tradisi P dalam tulisan-tulisannya sangat menekankan penciptaan, transendensi Allah dan monoteisme maka penulis mengangat kisah kejadian 1 sebagai konsep dasar tentang pluralitas yang dikehendaki dan diciptakan Tuhan dalam Alkitab.
Dalam kisah tersebut cukup jelas dan tegas pluralitas itu dikehendaki, direncanakan dan diciptakan Allah. Mulai dari terang dan siang, gelap dan malam, dengan pergantian waktu dan musim yang masing-masing dengan cirikhasnya, langit, darat, air dan laut sampai dengan makhluk hidup, flora dan fauna dengan keragamannya. Dalam pluralitas atau keragaman yang luar biasa banyaknya itu, Allah menciptakan dan menempatkan manusia. Di dalam, di tengah, di antara, di atas dan bahkan dari pluralitas itulah manusia mempertahankan, mengembangkan dan memantapkan hidupnya sebagai “Citra Allah”. Kepada manusia sebagai Citra Allah itupun, diamanatkan untuk beranakcucu dan bertambah banyak, memenuhi, menaklukkan dan menguasai bumi, bahkan untuk kelangsungan hidupnya sendiri, manusia terkait bahkan tergantung dari pluralitas ciptaan Allah.
Allah menciptakan pluralitas supaya setiap unsur ciptaan itu saling memberi sesuai dengan potensinya dan saling menerima sesuai dengan kebutuhannya. Dengan saling memberi dan menerima, maka kehidupan berlangsung dan berkembang terus menerus. Demikian juga manusia, dengan memanfaatkan potensi benda alam, flora dan fauna yang beranekaragam atau yang pluralitas itu, maka ia, manusia dapat mempertahankan, mengambangkan dan memantapkan hidup di tengah alam semesta ini. Berada dan hidup yang paling indah dan paling berarti adalah hidup di tengah pluralitas di atas planit bumi ini.
Bilamana dikembangkan dan diperluas ke arah pluralitas manusiawi maka manusia “Adam” hanya dapat menikmati hidupnya sebagai hidup yang penuh kebahagian, setelah bersama dengan Hawa yang adalah juga ciptaan dan Citra Allah. Demikian juga dengan suku, bahasa, dan budaya manusia adalah ciptaan dan kehendak Allah dalam pengembangan kehidupan manusia sebagai CitraNya (Ban. Kejadian 11).
Dalam konteks sistematis dan historis, bagi gereja-gereja yang terhimpun dalam wadah oikumenis seperti DGD, DGA dan PGI, pemhaman dan pengakuan atas pluralitas dengan wujud apapun yang terkait dengan manusia mendapat perhatian yang cukup berarti. Sedangkan gereja-gereja yang evangelikal-pundamentalis dan pestakostal-khasimatik masih perlu mendapat perhatian sehingga dapat meningkatkan kerjasama dan pelayanan yang komprehensih terhadap dunia dan masyarakat.

Pluralitas dalam Teologi Integrasi
Pemaknaan kata integrasi sudah pasti menunjuk pada paling tidak ada dua pakta dan
realitas yang saling berhadapan yaitu antara aku dan engkau sebagai pribadi bagi manusia dan ini dan itu bagi benda. Aku benar menjadi aku karena ada engkau, dan sebaliknya engkau menjadi engkau karena ada aku. Tanpa salah satunya makna kehadiran aku atau engkau tidak ada. Demikian juga dengan ini dan itu, sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, ada ini pasti ada itu, ada itu pasti ada ini, meskipun itupun hanya terjadi dalam ide-ide, seperti konsep berpikirnya filsuf klasik Plato.
Karena itu sekecil apapun sesuatu benda alam, flora dan fauna, terlebih manusia dengan segala atribut dan identitasnya, atau dari latarbelakang apapun, semuanya menjadi bagian integral, bagian yang tidak terpisahkan dari pluralitas: fakta dan realitas. Semuanya ada dan hadir sebagai bagian dari hidup dan mendukung hidup sehingga hidup itu sendiri tetap berlangsung dan pada saat yang sama makhluk hidup terlebih manusia dapat mempertahankan, meningkatkan dan memantapkan hidup masing-masing. Khusus bagi manusia, hanya dengan tersedianya pluralitas: fakta dan realitas, manusia tetap dimungkinkan ada, hidup, bekerja dan berkarya, atau seperti dalam bahasa gerejawi dan teologis, maka dengan pluralitas, orang percaya dapat bersekutu, bersaksi dan melayani di tengah dunia dan masyarakat.
Sebagai bagian dari hidup dan pendukung hidup maka pluralitas apapun keragamannya mempunyai “nilai”, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pihak lain. Nilai adalah kondisi baik kuantitas maupun kualitas yang melekat atau dilekatkan pada sesuatu benda atau manusia. Pada umumnya nilai mengandung unsur positif sehingga selalu diupayakan untuk menjadi bagian dari kehidupan pada umumnya dan kehidupan manusia pada khususnya.
Teologi Intergarasi memberi perhatian yang besar terhadap nilai, sekecil dan sesederhana apapun itu. Karena itu dengan ide yang sama, Kosuke Koyama pernah mengajak untuk melihat dan menghargai sesuatu dalam realitas hidup:
Everything has something more, ... Theology, requires the mind to see something more in the ordinary things. Indeed, we must able to see the power of the Creator himself ... Theology, requires the mind to see something more in...[4]
Iman Kristen dan Teologi perlu mengasah kepekaan untuk menemukan dan memanfaatkan something more itu dan nilai-nilai dalam pluralitas dengan keragamannya. Menemukan berarti mengidentifikasi, mendeskripsi dan kemudian menganalisa pluralitas dalam keragaman masing-masing. Memanfaatkan berarti mengintegrasikan nilai-nilai keragaman ke dalam ruang lingkup hidup bersama. Pengintegrasian dimaksud tidak untuk mengurangi apalagi menghilangkan identitas keragaman dan tidak juga untuk mencampuradukkan sehingga menjadi sama dan seragam. Sebab jika terjadi demikian maka pluralitas hilang, nilai keragaman tidak ada dan itu berarti dinamika antara satu dengan yang lainnya juga hilang dan dengan demikian hidup itu sendiri tidak mungkin berlangsung. Kondisi seperti ini sama dengan apa yang disebut “mati sebelum mati.”
Telah disebutkan di atas bahwa pluralitas adalah kehendak dan ciptaan Tuhan Alah. Jika demikian, dalam setiap unsur yang membentuk pluralitas, ada nilai kehendak dan ciptaan Tuhan Allah. Disinilah tugas Teologi Intergrasi untuk mengidentifikasi, mengdeskripsi dan mengalisis setiap nilai yang terkandung dalam setiap unsur pluralitas. Sudah pasti nilai-nilai itu terkait dengan keberadaan, kedirian dan kehidupan setiap unsur yang bersifat individu dan terkait dengan keberadaan, kedirian dan kehidupan hdup bersama dalam pluralitas. Dalam interaksi dan interelasi pluralitas, diperlukan integrasi nilai yang menjadi perekat dan pengikat hidup bersama. Pengintegrasian ini tidak menghilangkan nilai yang bersifat individu, sebab jika hal ini terjadi maka sekali lagi tidak ada pluralitas. Pluralitas ada karena kehadiran dan keberadaan individu yang dengan identitasnya masing-masing. . Karena itu makin tinggi pengakuan terhadap nilai-nilai individu maka semakin tinggi juga pluralitas berkembang dan sebaliknya. Pluralitas menjadi arena pengembangan hidup dan pengembangan nilai-nilai individu dan pada saat yang sama keberadaan individu dengan nilai-nilainya itu sendirilah yang membentuk dan mengembangkan pluralitas.
Dengan demikian jika ada upaya dari manapun datangnya untuk menyeragamkan keberadaan dan kehidupan setiap unsur dalam pluralitas maka hal itu bukan saja menyangkal keberadaan dan kehidupan yang ada tetapi juga mengabaikan dinamika perkembangan kehidupan itu sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu menyangkal kehendak dan ciptaan Tuhan Allah atas alam semsta dan kehidupan di atas planet bumi ini. Hidup yang paling indah adalah hidup yang dikaruniakan Tuhan Allah di atas bumi ini. Yesus datang diam dan tinggal di bumi; hormat dan kemuliaanNya pun diagungkan di atas bumi ini, dan Ia pun berjanji untuk datang kembali ke dunia ini. Nah supaya Ia berkenan datang dan cepat datang maka mari kita benahi arti, makna dan nilai alam semesta yang sedemikian plural ini, kita benahi kehidupan manusia yang sedemikian beragamannya ini sehingga kita kedapatan siap sedia menikmati dan menghayati hidup di tengah pluralitas seperti yang dikehendaki Tuhan Allah pada penciptaan alam semesta dalam kisah kitab Kejadian.

Kesimpulan:
Pluralitas adalah fakta dan realitas alamiah dan objektif yang menunjuk pada hidup itu sendiri. Dan hidup itu ada dan kemudian berkembang dalam dan karena pluralitas. Demikian juga dengan manusia, hidup, bekerja dan berkarya dalam dan karena pluralitas. Di samping itu juga pluralitas adalah kehendak dan ciptaan Than Allah yang di dalamnya ditempatkan manusia untuk hidup dan berkembang.
Karena itu jika ada pihak yang mengabaikan dan menghilangkan pluralitas dengan nilai-nilainya maka bukan saja mengbaikan hidup dan perkembangannnya tetapi juga mengabaikan dan menyangkal kehendak dan karya cipta Allah. Adalah tugas dan tanggungjawab bersama kita manusia sebagai Citra Allah, sebagai anak manusia dan sebagai anak bangsa Indonesia ini, untuk mengintegrasikan nilai-nilai pluralitas dalam pengembangan hidup agar tetap sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan Allah.
[1] Pernah dimuat dalam Jurnal STT INTIM
[2] Penjelasan tentang hakikat, makna dan tujuan Teologi Integrasi, lihat :Siskus Manabung, TEOLOGI INTEGRASI, dalam: Zakaria J. Ngelow, ed. SEBERKAS CAHAYA DI UFUK TIMUR: PEMIKIRAN TEOLOGI DARI MAKASSAR, STT INTIM Makassar, Makassar 2000, hal. 390-404. Band. Gordon R. Lewis and Bruce A. Demarest, INTEGRATIVE THEOLOGY, 3 Vols. Academie Books and Zondervan Publishing House, Grand Rapids MI, 1987.
[3] Sebagai contoh: Indonesia adalah pluralitas: fakta dan realitas. Manusia Indonesia hidup, bekerja dan berkarya dalam pluralitas sedemikian beragamnya seperti suku, ras, agama, budaya, adat, bahasa . Bumi Indonesia ada dalam pluralitas yang sedemikian banyak ragammnya, seperti yang terlihat dala kekayaan alam. Dngan kata lian, Indonesia adalah pluralitas baik dalam diri dan hidup manusianya maupun dalam tanah airnya. T.B. Simatupang, pernah melukiskan pluralitas atau kemajemukan Indonesia, demikian: Secara geografis, Indonesia adalah negeri yang paling terpecah-pecah di kolong langit, yaitu 13.667 pulau-pulaunya. Dari sudut bahasa, budaya, dan agama, ia termasuk negeri yang paling majemuk di dunia: 250 bahasa dan kira-kira 30 kelompok etnis. Masing-masing kelompok itu cukup kuat secara jumlah. Suku Jawa, misalnya,... Dan masing-masing kelompok itu mempunyai kepribadian, bahasa dan agamanya sendiri-sendiri. Kami mempunyai agama-agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen Protestan dan Katolik, dan agama-agama Cina, tentu saja. Sebagian penduduk kami masih animis. Ya, kecuali agama Yahudi, kami mempunyai semua agama besar di bumi ini. T.B. Simatupang, IMAN KRISTEN DAN PANCASILA, Cet. 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985, hal. 3.,Band. Eka Darmaputera, PANCASILA IDENTITAS DAN MODERNITAS TINJAUAN ETIS DAN BUDAYA, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987, hal. 13 dyb.

[4] Kosuke Koyama, 50 MEDITATIONS, Maryknoll: Orbis, 1979, pp. 16-17.

Senin, 05 Januari 2009

Regulasi Agama/Bab 9 Kesimpulan dan Saran

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan penelitian yang sudah dikemukakan dalam bab-bab terdahulu maka pada bab terakhir ini, dapat dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan:
1. Aspek Hukum
a. Sesuai dengan konteks pembentukan dan penetapannya dalam sejarah NKRI pada umumnya dan ketatanegaraan pada khususnya, PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 diakui dan diterima sebagai produk hukum-peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan mengikat semua warga negara Indonesia dalam wilayah hukum dan kedaulatan NKRI.
b. Proses pembentukan dan penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tidak sesuai dengan dasar hukum konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengatur proses pembentukan dan penetapan peraturan perundang-undangan atau proses legislasi yang berlaku di NKRI sekarang ini. PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebut dibentuk dan ditetapkan pada periode pemerintahan yang kekuasaannya bertumpu dan terpusat pada masing-masing Presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya, dan Presiden Soeharto dengan Demokrasi Pancasilanya.
c. Tujuan dan materi-muatan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 pada umumnya tidak sesuai dengan dasar hukum-yuridis konstitusional UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait. PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebut membatasi hak-hak hukum-yuridis warga negara Indonesia dalam menjalankan kegiatan keagamaan dan hak beragama.
d. Secara hukum-yuridis PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sudah waktunya ditinjau ulang dan direvisi. Peninjauan dan perevisian dimaksud berdasar pada nilai-nilai kostitusional UUD 1945, hierarki peraturan perundang-undangan, proses legislasi dan prinsip-prinsip negara hukum yang berlaku bagi NKRI sekarang ini.

2. Aspek HAM
a. Sesuai dengan konteks pembentukan dan penetapannya dan esuai dengan tujuan dan materi-muatan pembentukan dan penetapannya, maka PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 diakui dan terima menjadi regulasi agama yang mengatur perlindungan dan pengembangan HAM. Perlindungan dan pengembangan dimaksud merupakan kewenangan dan tanggungjawab negara dan pemerintah atas warga negara Indonesia dalam kehidupan beragama dan kegiataan keagamaan sebagaimana di atur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
b. Sesuai dengan amanah konstitusi dan sejalan dengan sifatnya yang universal maka HAM pada umumnya dan hak beragama pada khususnya sebagai hak-hak yang melekat pada setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat manusianya, mendapat perlindungan dari negara dan pemerintah sesuai dengan hak-hak warga negara sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
c. Sesuai dengan sifat universalitas dan sesuai dengan nilai-nilai HAM dalam deklarasi dan kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maka PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 yang melindungi penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu maka warga negara Indonesia berada dan hidup dalam relitas yang terbatas pada belenggu-kerangkeng HAM. Karena warga negara Indonesia hanya dapat menjalankan kehidupan keagamaan dan hak beragamanya dengan marak namun tetap terbatas, dalam belenggu-kerangkeng.

B. Saran:
1. Disarankan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilam Rakyat, sudah saatnya mengambil langkah kongkrit untuk meninjau dan merevisi regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Peninjauan dan perevisian dimaksud agar sesuai dengan proses legislasi, amanah konstitusional UUD 1945 dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Disarankan kepada negara dan pemerintah, untuk membuat regulasi agama yang hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi dan interelasi antar warga negara yang berbeda agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, regulasi agama seperti itu, tidak mengatur kegiatan dan kehidupan keagamaan secara individual dan internal komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan keagamaan yang terkait dengan pengalaman, sakralitas dan ritualitas dengan kuasa tuhan menurut keyakinan masing-masing agama.
3. Disarankan kepada negara dan pemerintah untuk membuat regulasi agama yang dapat menjamin dan menjaga hak beragama dan kebebasan beragama sebagai bagian integral dari HAM agar regulasi agama tidak lagi membelenggu kegiatan keagamaan dan hak beragama dalam batas-batas seperti belenggu-kerangkeng.

Regulasi Agama/Bab 8 Kebebasan Beragama dalam Penpres 1/1965 dan UU 1/1969

BAB VIII

Kebebasan Beragama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969

Sebagai salah satu bagian dari HAM yang melekat pada manusia maka hak beragama bagi warga negara Indonesia terjamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah. Hal tersebut bukan saja diatur secara hukum dan konstitusional dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tetapi juga menjadi falsafah bangsa Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Sesuai dengan fungsinya Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm yang tidak dapat diubah maka demikianlah hak beragama yang tercantum di dalamnyapun menjadi salah satu hak asasi yang tidak dapat dihapus oleh siapapun, termasuk oleh negara dan pemerintah. Sebaliknya hak beragama merupakan kewajiban konstitusional negara dan pemerintah untuk melindungi dan mengembangkannya.

1. Kebebasan Individu dan Kolektif Pemeluk Agama
Secara hukum baik kebebasan individu-pribadi maupun kolektif
bersama setiap warga negara yang memeluk agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu terjamin dan dilindungi oleh negara dan pemerintah. Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965, menyatakan bahwa :
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena enam macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga: “ mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh Pasal ini.”

Negara dan pemerintah menetapkan regulasi agama agar kehidupan umat beragama dan kegiatan keagamaan keenam komunitas agama di Indonesia tersebut terselenggara dalam nuansa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara yang rukun, tentram, adil dan damai.
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah regulasi agama yang menempatkan kebebasan individu dan koletif warga negara pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dalam koridor aturan hidup bersama di wilayah kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Ada kebebasan individu warga negara Indonesia untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan mengembangkan kehidupan beragama sesuai dengan ajaran dan keyakinan agama masing-masing; Ada kebebasan bagi penganut agama-agama untuk bersama-sama menjalankan kegiatan keagamaan dan mengembangkan kehidupan beragama dalam komunitasnya masing-masing. Pengalaman individual dan kolektif dalam sakralitas dan ritualitas kuasa tuhan sesuai ajaran dan keyakinan masing-masing agama, dijamin secara hukum berlaku bagi warga negara Indonesia.
Namun kebebasan individu yang dilindungi dan dikembangkan oleh negara dan pemerintah menjadi terbatas pada saat perlindungan dan pengembangan yang sama berlaku bagi individu lainnya dalam suatu komunitas beragama yang sama. Demikian juga dengan kebebasan komunitas yang dilindungi oleh negara dan pemerintah melalui regulasi agama menjadi terbatas pada saat perlindungan dan pengembangan yang sama berlaku bagi komunitas yang lain dan berbeda.[1]
Kebebasan individu dan koletif pemeluk agama dalam konteks Indonesia seperti dimaksud dapat dipahami juga dalam latarbelakang nilai kekeluargaan, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, yang menjiwai Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. Dalam nilai kekeluargaan ini, tidak ada kebebasan mutlak bagi seseorang atau bagi komunitas tertentu. Sebab semua anggota terikat dan terkait oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pergaulan hidup kekeluargaan. Sebaliknya karena tidak ada anggota secara individu dan komunitas yang sama maka perbedaan, diakui dan dihormati bahkan dilindungi.
Karena itu regulasi agama yang ditetapkan negara dan pemerintah dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tidak bermaksud untuk membatasi hak dan kebebasan beragama meskipun orang dapat menafsirkannya demikian. Regulasi agama tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kegiataan keagamaan dan kehidupan beragama dalam nilai kekeluargaan dan dalam tatanan hidup bersama masyarakat, bangsa dan negara Indonesia di bawah payung Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya, dalam Pasal 28 J UUD 1945 dinyatakan dengan jelas bahwa:
Ayat (1) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan mermasyarkat, berbangsa dan bernegara”.
Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Karena individu dan komunitas umat beragama adalah bagian dari keluarga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia maka setiap individu dan komunitas itu menjalani dan mengembangkan kebebasan beragamanya sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan dan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dalam masyarkat, bangsa dan negara Indonesia.

2. Kebebasan Kelembagaan dan Organisatoris Agama
Pengakuan negara dan pemerintah atas agama Islam, Kristen, katholik,
Hindu, Budha dan Kongfutsu sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965, adalah pengakuan kelembagaan dan organisatoris agama. Pengakuan ini berdasarkan realitas fisik-material dan pragmatis keberadaan dan kehadiran penganut agama masing-masing dalam pentas sejarah bangsa Indonesia, sebagaimana dinyatakan bahwa:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia: Islam, Kristen. Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena enam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia....”

Pengakuan terhadap agama sebagai lembaga dan atau organisasi agama di Indonesia kemudian dilegitimasi berdasar pada kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama:
(1) Memiliki Kitab Suci.
(2) Memiliki Nabi sebagai pembawa risalah.
(3) Percaya akan satu Tuhan (Ketuhanan Yang Maha Esa).
(4) Memiliki Tata agama dan ibadah bagi pemeluknya.[2]
Namun Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina secara implisit mencabut pengakuan agama Kongfutsu sebagai agama resmi. Dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No: 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 dinyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung Nomor 67 Tahun 1980, Nomor 224 Tahun 1980, dan Nomor Kep-111/J.A/10/1980 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Dengan demikian dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, agama-agama yang diakui oleh negara dan pemerintah pernah hanya lima agama yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
Secara hukum baik dengan memakai pendekatan perundang-undangan (statute approach) maupun pendekatan konsep (conceptual approach) maka kehadiran agama sebagai lembaga atau organisasi yang diregulasi dalam PENPRES 1/1969 dan UU 5/1969, dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan HAM yang dilakukan negara dan Pemerintah.
Dengan pendekatan perundang-undangan, maka Pasal 28 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Demikian juga hal yang sama dinyatakan dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Di atas dasar hukum ini, warga negara sebagai penganut agama yang terhimpun dalam komunitasnya masing-masing, mempunyai hak untuk berserikat dan berkumpul dalam upaya mengembangkan sistem religi dan menjalankan kegiatan keagamaan secara bersama, terpadu dan sistematis.
Dasar hukum tersebut, dihubungkan dengan pendekatan konsep tentang nilai-nilai agama yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahwa konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam konstitusi UUD 1945 adalah nilai-nilai moral yang berdasarkan kepercayaan masing-masing agama sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral mana menjadi dasar kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesiaa. Oleh karena itu pengakuan agama sebagai lembaga atau organisasi bukan saja menempatkan penganut agama-agama sesuai dengan hak-hak hukumnya tetapi juga menempatkan perlindungan dan pengembangan nilai-nilai moral bangsa yang berdasarkan nilai moral agama sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Kebebasan beragama, Pluralisme dan Kerukunan Beragama
Secara hukum baik dari sudut pendekatan perundang-undangan maupun pendekatan konsep maka dengan jelas NKRI mengakui kebebasan beragama. Indonesia bukan negara agama yang kedaulatannya diatur menurut paham satu agama tertentu atau doktrin agama tertentu dan di Indonesia tidak ada juga agama negara yang hak beragama dan kegiatan keagamaannya dikelola menurut kebijakan negara dan pemerintah. Sebab seperti yang dinyatakan oleh B.J. Boland dan yang dikutip oleh Moh. Mahfud MD, sebelumnya, Indonesia adalah: “negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan ingin bersifat positif terhadap agama pada umumnya”.
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, bukan rumusan teologis dan juga bukan rumusan kepercayaan dan keyakinan agama atau bukan juga pengakuan iman. Rumusan tersebut adalah rumusan politis yang merupakan jalan tengah terbaik yang diambil para pendiri bangsa ini (founding fathers) di saat mereka mencari formulasi dasar pembentukan negara Indonesia.
Secara konseptual, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Tuhan menurut keyakinan agama-agama melainkan “hal bertuhan”, sekali lagi… “hal bertuhan”. Eka Dharmaputera menyatakan bahwa: “Ketuhanan Yang Maha Esa tidak menunjuk kepada Allah atau Tuhan yang tertentu melainkan kepada satu konsep atau satu prinsip yang umum dan abstrak”.[3] Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep, prinsip atau gagasan keagamaan yang menempatkan nilai-nilai keagamaan seperti nilai yang terkandung dalam sakralitas pengalaman dengan kuasa tuhan, nilai ritualitas terhadap kuasa tuhan, nilai kegiatan keagamaan yang menurut kepercayaan masing-masing agama itulah yang menjadi dasar negara Indonesia.
Dengan demikian dalam menjalankan kebebasan beragama di Indonesia, negara mengakui pluralitas agama yang memang selama perjalanan sejarah bangsa ini, masing-masing agama telah memberi sumbangsih terhadap pembentukan nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak ada kebebasan beragama tanpa adanya pengakuan terhadap pluralitas. Pluralitas adalah realitas hidup bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya, adalah realitas hukum-yuridis sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahkan lebih dalam dari pada itu, pluralisme adalah realitas iman, seperti yang dikemukakan M. Qasim Mathar, pluralisme adalah bagian dari rukun iman. Karena rukun iman percaya kepada malaikat-malaikat Allah, percaya kepada kitab-kitab Allah dan percaya kepada rasul-rasul Allah, semuanya, ketiga rukun iman tersebut mengandung keharusan keimanan kepada hal-hal yang beragam. Ternyata keimanan kepada tiga rukun tersebut di atas, menuntut keharusan kepada pluralisme.[4] Karena itu perlindungan dan pengembangan kebebasan hak beragama adalah perlindungan dan pengembangan nilia-nilai hidup masyarakat dan hak-hak hukum warga negara Indonesia. Karena itu konsep dan pandangan tentang pluralisme bukan saja penting tetapi juga wajib dikembangkan dan diperjuangkan untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diseluruh wilayah kedaulatan Indonesia.
Dikatakan penting, karena pluralisme menempatkan realitas keragaman
atau pluralitas keagamaan dalam kehidupan bangsa Indonesia sepanjang sejarah sebagai “fakta yang tak terbantahkan kebenarannya”. Peribahasa lama mengatakan “lain padang lain belalang” dan semboyang “bhineka tunggal ika”, semuanya mengandung realitas pluralisme yang hidup dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Dikatakan wajib dikembangkan karena sesuai dengan amanah konstitusi dan kewajiban hukum, menempatkan pluralitas bukan hanya dalam hal keagamaan tetapi juga hal-hal atau bidang-bidang lainnya, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pengelolaan negara dan pemerintah dalam menjalankan kedaulatannya di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Dikatakan diperjuangkan karena di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang secara hukum mengakui pentingnya dan mewajibkan negara dan pemerintah mengembangkan pluralisme masih ada pengabaian pluralitas agama-agama dan pluralitas lain dan sekaligus upaya dominasi satu terhadap yang lainnya bahkan ada upaya penyeragaman dalam kehidupan bersama di bumi Pancasila Indonesia dan di NKRI, yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Dilihat dalam konteks lahirnya PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 maka regulasi agama merupakan sarana atau jalan yang ditempuh pemerintah unutk menciptakan kerukunan di antara umat beragama. Menurut Franz Magnis Suseno, prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti: “berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertetangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu”.[5]
Keadaan seperti ini menjadi dambaan dan bahkan diperjuangkan yang kemudian selama pemerintahan Orde Baru dikembangkan menjadi kerukunan antara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lainnya, antara umat beragama dengan pemerintah dan antar internal sesama umat beragama dalam lingkup masing-masing. Perhatikan, dalam Pertimbangan pokok a, PENPRES 1/1965, disebutkan:
“Bahwa dalam rangka pengamanan … perlu mengadakan peraturan untuk mencegah ….”.
Sedang dalam Pasal 1 PENPRES /1965 disebutkan:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum …..”
Dari ungkapan tersebut di atas, jelas bahwa negara dan pemerintah meregulasi agama untuk menciptakan kondisi kerukunan, suatu kondisi selaras dan seimbang, tidak saling bertentangan dan berbenturan di antara warga negara yang berbeda agama, suatu kondisi bersatu untuk satu tujuan, yang telah diletakan oleh negara dan pemerintah yaitu masyarakat adil dan makmur. Kerukunan menjadi sarana untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Karena itu dengan menciptakan kondisi kerukunan beragama di antara warga negara Indonesia melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 maka tersedia kesempatan yang signifikan bagi negara dan pemerintah yang tentunya bersama-sama dengan masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama yaitu masyarakat adil dan makmur
[1] Hasil analisis dan evaluasi Sunaryati Hartono, menyatakan bahwa: “... dalam menjalankan hak-haknya dan kebebasan-kebebasannnya setiap orang harus tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tetap terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. C.F.G. Sunaryati Hartono, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kewajiban Asasi Manusia Ditinjau dari Instrumen Hukum Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia, Badan Pembnaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004, hal. 21.
[2] Rumadi, Agama dan Negara, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 93.
[3] Eka Dharmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas, hal. 109.
[4] M. Qasim Mathar, Pluralisme Bagian dari Rukun Iman, Fajar, Selasa, 10 Juli 2007.
[5] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Cet. 3, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 39.

Regulasi Agama/Bab 7 Aspek HAM Penpres 1/1965 dan UU 5/1969

BAB VII

ASPEK HAM PENPRES 1/1965 DAN UU 5/1969


1. Perlindungan HAM
a. Amanah dan Kewajiban Kostitusional
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak terlepas dari dunia bangsa-bangsa atau dunia internasional. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan terlebih sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, Indonesia bukan saja mengakui tetapi perlu memainkan peran aktif dalam melindungi dan mengembangkan HAM.
Pembukaan UUD 1945, mengamatkan negara dan pemerintah untuk: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Keikutsertaan dalam perlindungan dan pengembangan HAM di dunia internasional bukan saja karena sifat dan nilai universal HAM tetapi karena kewajiban konstitusinal bagi bangsa Indonesia. Universalitas dan isu internasional HAM menjadi wadah bagi bangsa Indonesia untuk menempatkan diri sebagai bagian dunia bangsa-bangsa dan pada saat yang sama menjalankan kewajiban konstitusionalnya ikut melaksanakan ketertiban dunia pada umumnya dan melindungi dan mengembangkan HAM pada khususnya.
Sebagai bagian integral dari dunia internasional, UDHR menjadi dasar komitmen bangsa Indonesia dalam melindungi dan mengembangkan HAM. Intrumen-intrumen internasional yang bersifat hukum-yuridis mengikat negara dan pemerintah untuk wajib melindungi dan mengembangkan HAM dalam konteks Indonesia. Ratifikasi instrumen-intrumen internasional mewajibkan negara dan pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan HAM bagi warga negara dan pada saat yang sama mewajibkan setiap warga negara mengakui dan menghormati HAM orang lain di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Baik Pembukaan maupun Pasal-pasal UUD 1945, dengan jelas mengamanahkan perlindungan dan pengembangan HAM baik dalam lingkup internasional maupun lingkup nasional atau domestik. Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J UUD 1945, memuat berbagai aspek tentang HAM, mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 165, yang secara hukum-yuridis merupakan penjabaran lebih lanjut yang mengikat dan berlaku umum bagi bangsa Indonesia.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, HAM adalah:
“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Seperangkat hak dimaksud itu, seperti yang disebut dalam Pasal 28 A-28 J UUD 1945 dan yang kemudian dijabarkan dalam Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999. Sedangkan perlindungan dan pengembangan HAM itulah yang menjadi tanggungjawab siapa pun, tanggungjawab semua komponen masyarakat yang berdiam di atas bumi Pancasila. Atau dengan kata-kata lain, secara hukum-yuridis perlindungan dan pengembangan HAM merupakan kewajiban peraturan perundangan-undangan.
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, sebagai produk hukum tidak dapat bertentangan dengan UUD 1945, maka tujuan dan materi muatannya merupakan bentuk perlindungan HAM yang ditetapkan oleh negara dan pemerintah bagi warga negara Indonesia. Sebab jelas dengan menetapkan larangan bagi aliran dan atau kepercayaan lain untuk tidak menodai agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu, negara dan pemerintah melindungi hak beragama dan HAM warga negara dan penduduk Indonesia. Dengan demikian perlindungan HAM jelas adalah kewajiban PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969.

b. Realitas Perlindungan HAM
Negara pada umumnya dan pemerintah pada khususnya secara hukum telah mewujudkan tanggungjawab perlindungan HAM melalui produk peraturan perundang-undangan dan yang berhubungan langsung dengan HAM adalah: Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Hak beragama sebagai bagian integral dari HAM, langsung atau tidak langsung mendapat perlindungan yang sama melalui regulasi-regulasi agama, yang dalam penelitian ini adalah regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969. Secara yurdis, dalam Penetapan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa dengan kedaulatan yang penuh, negara dan pemerintah melindungi agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dari ancaman penyalah-gunaan dan penodaan oleh agama atau aliran kepercayaan lain. Pemerintah melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum untuk menceriterakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan, melakukan penafsiran, dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama yang dianut di Indonesia (Pasal 1 PENPRES 1/1965)
Sementara dalam Pasal 2 ayat (2) PENPRES 1/1965, dinyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan secara kolektif dan secara kelembagaan atau organisatoris, mendapat sanksi pembubaran dan pembekuan sebagai organisasi terlarang oleh Presiden setelah menerima pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri. Dan pelanggaran yang secara terus menerus dilakukan meskipun telah mendapat perintah dan peringatan keras dari Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri, maka baik orang perorang, penganut, maupun kolektif, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu mendapat sanksi pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun (Pasal 3 PENPRES 1/1965). Sanksi pidana tersebut pun diperintahkan untuk dimasukan dalam KUHP.pasal 156a (Pasal 4 PENPRES 1/1965).
Pemberian sanksi baik kepada orang perorang maupun kepada organisasi atau pengurus dari aliran kepercayaan yang melanggar penetapan tersebut, merupakan bentuk perlindungan hak beragama yang formal-yuridis dari negara terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Perlindungan hukum atas hak beragama itu bertujuan agar agama-agama tersebut dan penganut-penganutnya terhindar dari risiko tindak penyalah-gunaan dan penodaan agama dari pribadi dan komunitas beragama lain. Hal dimaksud dijelaskan dalam Penjelasan Umum pokok 2 PENPRES 1/1965:
“Dari kenyataan teranglah, bahwa : aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”.

Pada saat yang sama perlindungan itu juga bertujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi segenap rakyat atau segenap warga negara dan penduduk di seluruh wilayah Indonesia agar dapat menikmati ketentraman dalam menjalankan kegiatan keagamaan pada umumnya dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan kewajiban dan perintah agama dan keyakinan masing-masing. Hal dimaksud disebutkan dalam Penjelasan Umum point 3 PENPRES 1/1965:
“... agar oleh segenap rakyat di seluruh wilyah Indonesia dapat dinikmati ketentraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing”.
Perlindungan negara dan pemerintah terhadap hak beragama juga terkait dengan pencegahan terjadinya penyelewengan ajaran agama yang sudah menjadi pokok-pokok ajaran-ajaran formal atau dogma masing-masing agama seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum pokok 4 PENPRES 1/1965:
“Berhubung dengan maksud memupuk ketentraman beragama inilah maka penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan....”

Perlindungan atas hak beragama dalam PENPRES 1/1965 adalah suatu perlindungan yang formal-yurdis. Dikatakan formal-yuridis karena dalam konteks pembentukannya, Presiden memegang kekuasaan yang sangat signifikan dan kuat sebagai konsekuensi ditetapkannya dan dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 959. Dan Dekrit Presiden itu sendiri secara hukumpun dapat diterima karena memang negara berada dalam keadaan darurat yang melahirkan kondisi staatsnoodrecht.[1] Dengan dekrit yang materi muatannya adalah kembali ke UUD 1945, maka adalah kewajiban Presiden untuk mengemban amanah konstitusi UUD 1945 dalam melindungi hak beragama sebagai bagian integral dari HAM bagi seluruh warga negara di wilayah kedaulatan NKRI.
Pada era pemerintahan Orde Baru, perlindungan hak beragama yang menjadi materi muatan dan tujuan PENPRES 1/1965 itupun ditetapkan menjadi UU 5/1969. Soeharto yang memegang kekuasaan yang sangat besar dan kuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong bentukannya sendiri, menjadikan banyak, kalau tidak dapat dikatakan semua peraturan perundang-undangan, terutama penetapan-penetapan Presiden, seperti yang disebutkan sebelumnya yang menjadi sumber dan menyebabkan kekacauan produk hukum baik dalam materi muatan maupun hierarkinya, terutama dalam pengimplementasiannya di lapangan.
Pembentukan PENPRES 1/1965 bersama dengan Penetapan dan Peraturan Presiden lainnya, menjadi UU 5/969, menempatkan semua produk hukum yang dikeluarkan oleh Soekarno itu dan yang dinilai oleh pemerintahan Orde Baru sebagai “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan “suara hati nurani rakyat” (pokok menimbang b UU 5/1969) ke dalam tatanan hukum yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, dan sekaligus melegitimasi materi muatan dan tujuannya sehingga materi muatan dan tujuannya itu secara hukum-yuridis mengikat semua komponen bangsa dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dengan demikian regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 yang prosedur pembentukannya disangsikan keabsahannya maka melalui UU 5/1965, pun menjadi produk hukum yang legitimatif dan yang mengikat semua orang, baik orang perorang, komunitas maupun organisasi kelembagaan penganut agama apapun yang ada di Indonesia. Pada saat yang sama pula, regulasi agama menjadi bagian integral dari perlindungan HAM secara hukum-yuridis oleh negara dan pemerintah bagi penganut agama-agama di seluruh wilayah hukum NKRI.

2. Pengembangan dan Belenggu HAM
a. Pengembangan HAM
Baik dalam konstitusi UUD 1945 maupun PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 yang berlaku dan mengikat di Indonesia, negara menempatkan hak beragama sebagai bagian integral HAM (integrity rights), suatu hak yang juga melekat pada manusia sebagai manusia. Karena itu bilamana negara dan pemerintah meregulasi agama dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka hal tersebut dilaksanakan sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan negara atas warga negaranya dan sebagai wujud kebijakan negara dalam pengelolaan negara sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada saat yang sama pewujudan kedaulatan dan kebijakan itu, negara meregulasi kehidupan warga negara dalam bidang agama agar supaya kehidupan beragama mendukung tujuan pembangunan nasional untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 ditetapkan untuk mengarahkan kegiatan keagamaan dalam tatanan hukum yang berlaku agar tercipta kondisi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang aman dan tertib. Dalam kerangka berpikir seperti ini dapat dipahami bahwa regulasi agama menjadi jalan atau sarana bagi negara dan pemerintah untuk pengembangan HAM di wilayah hukum Indonesia. Namun pada saat yang sama dapat saja dipahami bahwa melalui regulasi agama, negara dan pemerintah membatasi bukan saja secara hukum tetapi juga moral, dinamika dan semangat universalitas HAM bagi warga negara Indonesia.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah produk peraturan perundang-undangan yang lahir dalam sistem ketatangaraan Indonesia, yang mengikat dan berlaku umum. Dalam praktek legislasinya, telah menjalani proses “pemurnian” dari PENPRES 1/1965 yang disangsikan keabsahannya, ditingkatkan status hukumnya menjadi UU 5/1969 yang hierarkinya lebih baik, mengikat dan berlaku umum. Ini berarti isi kandungan dan atau materi muatan dinilai sejalan dengan semangat menciptakan masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dasar pertimbangan dalam proses legislasi terhadap UU 5/1969, dikatakan:
“bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani rakyat perlu dinyatakan sebagai Undang-undang.”(Pokok menimbang b, UU 5/1969)
Kata “sesuai dengan hati nurani rakyat” dapat dimengerti sebagai “nilai-nilai hidup” yang ada dalam masyarakat, “rasa keadilan” yang nampak dalam masyarakat dan atau “living law” yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan dasar pertimbangan PENPRES 1/1965 adalah:
“bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur perlu mengadakan pearturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama.” (Pokok menimbang a PENPRES 1/1965)
Kata atau ungkapan “menuju masyarakat adil dan makmur” mengandung pengertian adanya kebijakan dan usaha negara dan pemerintah melindungi hak-hak hidup warga negara melalui regulasi agama.
Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai bentuk pengembangan HAM dapat dilihat dalam pokok-pokok pikiran:
(1) Pertimbangan ayat (b) UU 5/1969 yang menyatakan bahwa: “… Penetapan Presiden … yang materinya sesuai dengan hati nurani rakyat.”
Ini berarti bahwa regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 adalah regulasi yang sesuai dengan suara hati nurani rakyat. Dan isi suara hati nurani rakyat adalah hak yang dianggap paling asasi dari manusia dan mempunyai nilai kebenaran yang universal. Dengan demikian regulasi agama menjadi bagian pengembangan HAM sebagai hak yang melekat pada warga negara Indonesia.
(2) Pertimbangan ayat (a) PENPRES 1/1965 menyatakan bahwa: “… menuju masyarakat adil dan makmur” dan dasar hukum-yuridisnya diletakkan pada Pasal 29 UUD 1945.
Dan dalam Penjelasan Umum pokok 2, PENPRES 1/1965, disebutkan:
“Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/ kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada.”

Penjelasan ini menunjuk pada kenyataan bahwa di dalam kehidupan masyarakat ada tantangan, ketegangan dan bahkan benturan di antara penganut dan komunitas agama yang diakibatkan oleh kehadiran aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan. Kondisi ini dinilai oleh negara dan pemerintah, telah menimbulkan dan cenderung meningkat ke arah pelanggaran hukum dan mengancam retaknya persatuan bangsa dan membahayakan kehidupan beragama, atau menggangu terselenggaranya kegiatan keagamaan sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan masing-masing.
Karena itu agama-agama yang diakui negara perlu dilindungi dari ancaman bahaya pada satu sisi dan pada sisi lainnya agar penganut agama-agama dapat menjalankan kegiataan keagamaannnya sesuai dengan pokok-pokok ajaran masing-masing. Hak beragama warga negara sebagai bagian dari HAM mendapat perlindungan negara dan sekaligus secara hukum-yuridis tersedia ruang dan waktu untuk bergerak secara bebas dan luas untuk mengembangkan ajaran masing-masing agama sesuai dengan keyakinannya. Perlindungan negara melalui regulasi agama dimaksud, sesuai Penjelasan Umum pokok 1 adalah bagian dari pewujudan sila pertama dari Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar moral bangsa, negara dan pemerintah bahkan dasar kesatuan nasional.
Kewajiban hukum bagi negara tidak saja melindungi agama
dari penodaan agama lain melainkan mencakup juga pengertian seperti menghargai (to respect), memajukan (to promote) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi warga negara, termasuk hak beragama, seperti yang dinyatakan oleh Ahmad Baso: “tanpa diskriminasi, tanpa peminggiran dan pengucilan, serta tanpa pemilahan atas mayoritas-minoritas”.[2]
Karena itu produk hukum PENPRES 1/1965 merupakan wujud pengembangan HAM bagi warga negara Indonesia. Artinya sesuai dengan UUD 1945, pemerintah memahami kewajiban konstitusionalnya untuk mengembangkan HAM bagi warga negara melalui regulasi agama sebagaimana ditetapkan dalam produk hukum yang ada. Kewajiban itu nampak dalam pemahaman dan kesadaran bahwa produk hukum PENPRES 1/1965 ini didasarkan pada Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan bahwa:
Ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Negara dan pemerintah mengakui bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah dibangun dan selanjutnya tetap akan dibangun dalam keyakinan agama masing-masing warga negara. Pengakuan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, menempatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam nilai-nilai moral etik yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai keagamaan yang hidup dan berkembang dalam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu sepanjang sejarah bangsa Indonesia diakui juga menjadi dasar moral pemerintah dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan negara.
Dengan kata lain, nilai-nilai keagamaan yang berkembang dalam kehidupan penganut agama-agama, tidak dapat dipisahkan dari kebijakan negara dan pemerintah. Karena itu, regulasi agama yang secara konstitusional ditetapkan, merupakan kebijakan negara dan pemerintah dalam mengembangkan HAM bagi warga negara Indonesia. Dengan meregulasi agama, maka negara dan pemerintah mengemban amanah konstitusi di atas dasar nilai-nilai agama dan pada saat yang sama mengembangkan nilai-nilai agama sebagai bagian pengembangan HAM.
Sebab sebagaimana diakui oleh Aswanto bahwa dasar atau cikal bakal HAM dewasa ini dapat ditemukan pada setiap kebudayaan, agama dan tradisi. Sejak kehadiran Nabi Musa yang memerdekakan umat Israel dari perbudakan di Mesir, manusia menyadari pentingnya penegakan hak-haknya dalam membela kemerdekaan, kebenaran dan keadilan.[3] Dalam banyak literatur, para pakar dan penulis masing-masing agama mengakui bahwa dalam masing-masing agama ada konsep yang sangat fundamental yang menjadi dasar pengembangan HAM.
Masdar Mas’udi, menyatakan bahwa dalam Islam ada lima prinsip HAM yaitu masing-masing:
(1) Hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup.
(2) Hak perlindungan keyakinan.
(3) Hak perlindungan terhadap pikiran.
(4) Hak perlindungan terhadap hak milik.
(5) Hak berkeluarga atau hak memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.
Di samping 5 prinsip hak di atas ada juga tiga lapisan hak, yaitu pertama, hak dzararat (hak dasar), kedua, hak sekunder, dan ketiga, hak tersier atau komplementer.[4]
Sementara Eka Dharmaputera, menyatakan bahwa dasar HAM dalam theologi Kristen dapat dilihat dalam tema-tema:
(1) Kedaulatan Allah yang universal: HAM adalah hak-hak yang paling asasi
yang dilekatkan oleh Sang Maha Pencipta pada setiap manusia dan semua manusia, semata-mata oleh karena ia adalah manusia. HAM terkait amat erat dengan hakikatnya sebagai manusia sebagaimana dikehendaki oleh Allah, pada waktu Ia menciptakan manusia. Tanpa hak asasi ini manusia bukanlah manusia seperti yang dikehendaki Sang Pencipta
(2) Citra Allah pada setiap manusia: Setiap orang mempunyai hak asasi untuk hidup bermartabat, hak untuk hidup berkomunitas, hak untuk mengelola alam ciptaan dan hak untuk membangun masa depan yang lebih baik sesuai dengan hakikatnya sebagai penyandang Citra Allah.[5]
Pada saat yang sama, B.S. Mardiatmadja, menyatakan bahwa dasar HAM dalam pandangan Katholik, dapat ditarik sampai ke awal mula sejarah umat manusia dalam bahasa Alkitab. HAM berdasar pada cara memandang martabat manusia sebagai sesuatu yang amat luhur dan sama pada semua manusia, apapun jenis kelaminnya, kulitnya, keturunannya, rasnya, kedudukan sosial maupun kedudukan politisnya. Sejak awal pribadi manusia mempunyai martabat yang luhur sebagai Citra Allah.[6]
Dari beberapa pemahaman tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan dan ajaran banyak agama, kalau tidak dapat dikatakan semua agama, tidak dapat dilepaskan dari HAM. Dengan demikian regulasi agama dengan tujuan dan nilai dasar ketertiban, keadilan dan kemanfaatan hukum, langsung atau tidak langsung terkait dengan pengembangan HAM.
Mengembangkan agama berarti mengembangkan HAM. Karena itu pada saat negara dan pemerintah menetapkan regulasi agama untuk menjamin terselenggaranya kegiatan keagamaan pada umumnya dan ibadah menurut kepercayaan masing-masing pada khususnya di sana pula berjalan upaya negara dan pemerintah dalam mengembangkan HAM bagi warga negara Indonesia.
Peregulasian agama dalam PENPRES 1/1965, menempatkan agama-agama bukan saja pada posisi yang formal-yuridis dan signifikan tetapi juga jelas dan kongkrit sebagai objek kebijakan pengembangan HAM sesuai dengan jaminan konstitusional Pasal 29 UUD 1945. Sebab pada hakikatnya hak beragama, yang dikelompokan oleh Aswanto dalam hak-hak sipil (civil rights) yang menyangkut keutuhan hidup manusia (integrity rights), adalah bagian integral dari HAM sebagai hak yang melekat pada manusia sesuai dengan kodrat, harkat dan martabat kemanusiannya. Penganut ke enam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu yang menjadi agama masyarakat Indonesia sepanjang sejarah perkembangannya, mendapatkan “bantuan-bantuan dan perlindungan” secara formal-yuridis. Bantuan dan perlindungan negara dan pemerintah ini membuka peluang dan sekaligus menyediakan fasilitas pengembangan hak beragama sebagai bagian tak terpisahkan dari pengembangan HAM (Penjelasam Pasal 1 PENPRES 1/1965).
Dengan fasilitas pengembangan seperti dimaksud, negara dan pemerintah tetap memelihara hubungan yang dinamis dengan agama-agama sehingga agama-agama bukan saja mempunyai tempat tetapi juga fungsional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 menjadi sarana atau jalan bagi pengembangan HAM dan pada gilirannya negara dan pemerintah melalui regulasi agama menciptakan ketentraman warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam ketentraman hidup warga negara dan penduduk itu terwujudlah pengembangan HAM.
Konsekuensi penetapan pemberian fasilitas bantuan dan perlindungan kepada ke enam komunitas agama, mengandung konsekuensi pengertian bahwa komunitas agama lainnya tidak mendapat perlakuan yang sama di bumi Pancasila Indonesia. Negera dan pemerintah menyadari konsekuensi ini dan karena itu dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965 pun telah dinyatakan bahwa:
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Theosim dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lain”.

b. Pembelengguan HAM ?
Suatu regulasi atau peraturan, apalagi dalam bentuk “pelarangan”
selalu membawa konsekuensi baik positif maupun negatif. Positif bagi pihak yang tidak menerima risiko peraturan atau pelarangan dan negatif bagi pihak yang mendapat risiko baik fisik-material-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah dalam arti luas. Demikian pula dengan PENPRES1/1965 dan UU 5/1969 membawa konsekuensi baik positif maupun negatif bagi warga negara Indonesia. Keenam agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu menerima nilai positif karena secara formal-yuridis mendapat fasilitas dan khususnya perlindungan dari penyalah-gunan dan penodaan agama. Mereka mendapat jaminan hukum sebagai proteksi dan untuk sementara waktu dapat dikatakan aman dari “ancaman dan gangguan” aliran kepercayaan lain.
Namun demikian, bilamana ditinjau lebih jauh, kondisi ini dapat membatasi ruang gerak pengembangan hak beragama sebagai bagian integral dari HAM. Karena itu dalam judul bagian pembahasan ini, dikemukakan tanda tanya PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai “Pembelengguan HAM ? Dapatkah atau apakah regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 merupakan pembelengguan atau yang penulis sebut dengan istilah “kerangkeng” bagi pengembangan HAM di Indonesia?
Mengapa tidak? Sebab agama sebagai sistem religi dan kepercayaan yang melibatkan manusia yang hidup dan beribadah dengan kusasa tuhan yang juga hidup dan berkuasa penuh, selalu berada dalam relasi yang dinamis. Perjumpaan dan pengalaman hidup bersama tuhan, menjadi motivator dan dinamisator hidup manusia untuk selalu bergerak menjadi lebih baik dan lebih sempurna ke arah kesempurnaan kehendak tuhan masing-masing.
PENPRES 1/1965 menempatkan manusia berada dalam koridor yang sama sepanjang regulasi itu tetap berlaku. Pelarangan di muka umum untuk menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama masing-masing itu, langsung atau tidak langsung menempatkan penganut agama-agama berada dalam belenggu dan dalam batas kerangkeng. Dalam kerangkeng itu penganut agama-agama hidup sesuai dengan regulasi agama dan pada saat yang sama dalam koridor yang jika keluar akan menerima sanksi yang memaksa yang dilakukan oleh negara dan pemerintah.
Sebagai pembanding, penulis ingin mengemukakan contoh seekor moyet yang diikat dan terikat atau yang berada di dalam suatu kerangkeng. Nampak di dalam kerangkeng, moyet tersebut dapat menikmati hidup dengan senang dan lincah. Semua aktivitasnya berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi semua itu terjadi dalam batas-batas kerangkeng. Sang moyet tidak dapat keluar dari keragkeng yang ada dan tidak dapat melihat dunia yang lebih luas. Sang moyet tidak dapat berhubungan dan berkomunikasi baik dengan sesama moyet maupun dengan sesama binatang; ia tidak dapat berkembara di tengah habitat yang sebenarnya di alam terbuka dengan panorama yang indah. Itulah gambaran kehidupan para penganut agama-agama yang berlangsung dalam regulasi agama yang menjadi kerangkeng bagi warga negara Indonesia dalam pengembangan HAM di Indonesia.
Sementara bagi penganut aliran kepercayaan yang lain, meskipun ada jaminan konstitusional sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, tetapi realitasnya, regulasi operasional pelarangan tetaplah pelarangan dan jelas bukan saja membatasi tetapi juga menyatakan tidak ada tempat bagi mereka. Sebab sanksi-sanksi menanti mereka, termasuk sanksi pidana dengan ancaman pidana penjara! Dengan demikian kehidupan keagamaan dengan kegiatan-kegiatannya yang terkait dengan kuasa tuhan, sakralitas dan ritualitas ditempatkan ke dalam kegiatan kehidupan sosial kemasyarakatan yang perilakunya diregulasi dengan ancaman pidana. Pelarangan dengan ancaman pidana seperti ini pun menjadi kerangkeng yang lebih besar dan luas bagi kebebasan beragama dan bagi pengembangan HAM warga negara Indonesia.
Secara hukum-yuridis, melalui regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, negara dan pemerintah melindungi dan mengembangkan HAM. Negara dan pemerintah Indonesia melindungi warga negaranya dari penodaan agama oleh aliran dan komunitas agama lain. Negara dan pemerintah melarang setiap orang bertindak dan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dianut warga negara Indonesia selama ini. Maka amanlah keadaan warga negara Indoensia dalam menjalankan kegiatan kegamaan sesuai dengan ajaran dan kepercayaan masing-masing; terpeliharalah keadaan tidak saling bertentangan dan tidak bersinggungan di antara sesama penganut agama yang diakui negara dan pemerintah. Sendi-sendi kegiatan keagamaan terjamin, tingkahlaku kehidupan beragama terkontrol di bawah regulasi agama. Karena itu kegiataan keagamaan semakin marak, solat berjemaah pada hari tertentu di Mesjid-Mesjid dibanjiri umat, ibadah di gereja melimpah ruah, ormanen-ornamen ritual kegiatan agama-agama pada hari-hari raya masing-masing agama Islam, Kristen Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu beranekaragam bentuk dan warna bergelantungan di setiap sudut tempat dan ruang bahkan di jalan-jalan raya di pusat kota. Semua itu terselenggara dalam tatanan hukum dan regulasi agama PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dan demikian juga dengan produk peraturan perundang-undangan lain, baik yang sejenis maupun yang hierarkinya lebih rendah di bawah Undang-Undang.
Realitas ini seperti sudah dikemukakan sebelumnya menempatkan warga negara Indonesia ataupun “manusia Indonesia ada dan hidup dibawah belenggu atau kerangkeng. Atau dapat dikatakan bahwa regulasi agama merupakan belenggu bagi pengembangan HAM. Kontitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM semuanya mewajibkan setiap pribadi, komunitas, lembaga swasta, negara dan pemerintah dan atau siapapun yang hidup diplanet bumi untuk menghormati HAM, termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Hak kebebasan beargama adalah salah satu yang melekat pada manusia yang tidak dapat dikurangi dan diambil oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.
Pada Pasal 28 E ayat () dan ayat (2) UUD 1945, ,juga menyatakan bahwa:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,”
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Sementara itu Pasal 28 I UUD 1945. menyatakan bahwa:
“Hak untuk hidup, … hak beragama … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Bagaimana mungkin, negara dan pemerintah Indonesia melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, menetapkan regulasi agama dengan melindungi warga negara Indonesia yang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu dan pada saat yang sama melarang komunitas warga negara Indonesia “lain yang tidak masuk dalam kategori meyakini dan percaya pada agama-agama tersebut”?.
Negara dan pemerintah, memang memberi peluang yang sama kepada komunitas lain, sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965:
“Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Theoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 Ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini dan perarturan perundangan lain.”

Penjelasan Pasal 1 PENPRES 1/1965 tersebut, jelas memberi jaminan perlindungan tetapi jelas pula perlindungan itu terjadi dalam kerangkeng. Perhatikan kata-kata: “asal tidak melanggar ketentuan…”, yang sama artinya dengan “bebas tetapi bersyarat”. Ada kebebasan beragama yang dijamin secara konstitusional oleh negara dan pemerintah, akan tetapi dibalik kebebasan itu ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilewati. Itulah yang penulis sebut sebagai “Kerangkeng”. Secara hukum-yuridispun dapat dikatakan bahwa regulasi agama yang ditetapkan negara dan pemerintah adalah regulasi yang menempatkan warga negara Indonesia dalam belenggu-kerangkeng.
Dalam belenggu-kerangkeng dimaksud ini negara dan pemerintah melindungi dan mengembangkan HAM warga negara Indonesia melalui berbagai regulasi agama sehingga warga negara dan penduduk Indonesia secara hukum-yuridis menjadi “manusia beragama”.[7] Dalam belenggu-kerangkeng ini, kehidupan dan kegiatan agama warga negara dan penduduk Indonesia menurut kepercayaannya, terpelihara dengan baik oleh negara dan pemerintah melalui regulasi agama yang ditetapkan menurut kaidah-kaidah agama itu sendiri. Keluar dari belenggu-kerangkeng yang ada, secara yuridis mendapat sanksi bahkan sanksi pidana sekalipun.
Dalam belenggu-kerangkeng dimaksud warga negara Indonesia dapat mengembangkan nilai-nilai sakralitas kuasa tuhan, kegiatan ritualitas dan sistem kepercayaan menurut keyakinan agama masing-masing baik individu maupun komunitas penganut agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu. Tetapi semuanya berada dalam batas-batas hukum-yuridis regulasi agama yang mengikat dan berlaku umum.
Karena itu, warga negara Indonesia di bawah belenggu-kerangkeng itu tidak dapat keluar, mereka hanya dapat menatap dan memandang dari kejauhan apa yang sedang terjadi bagi sesama-nya seagama dan sesamanya manusia yang menikmati hak-hak hidup yang secara universal diakui melekat pada manusia karena ia atau mereka adalah manusia, apalagi seperti manusia Indonesia adalah manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

c. Harapan dan Realitas HAM
Instrumen HAM baik internasional maupun nasional berupa Konstitusi UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan telah tersedia. Ratifikasi berbagai instrumen internasional menempatkan sifat dan nilai universal dan isu internasioanl tentang HAM menjadi sifat, nilai dan isu nasional yang wajib mengikat dan berlaku umum di seluruh wilayah hukum Indonesia. Dengan demikian secara hukum-yuridis, Indonesia menjadi bangsa dan negara “pelindung HAM” sesuai semangat dan dinamika perjuangan HAM internasional. Dalam kerangka itulah tentunya, kedudukan Indonesia di forum internasional yang terkait dengan HAM menjadi penting dan menarik.
Penting dan menarik, sebab keikutsertaan Indonesia dalam semangat dan dinamika perlindungan dan pengembangan HAM internasional adalah karena amanah konstitusional, kewajiban peraturan perundang-undangan. Tetapi realitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam dekade terakhir berbicara lain. Masih banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terungkap. Sebut saja, sebagai contoh yang dikenal dengan istilah: Kasus Semanggi, Trisakti dan terakhir kasus terbunuhnya pembela HAM Munir.
Perlindungan dan pengembangan HAM di Indonesia berada di antara nilai-nilai yang menjadi tujuan hukum kemanfaatan, ketertiban dan keadilan sebagaimana menjadi amanah konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang sudah mengikat dan berlaku umum di seluruh wilayah hukum Indonesia. Namun realitasnya, nilai-nilai itu “jauh panggang dari api”. Perlindungan dan pengembangan HAM lebih banyak menjadi wacana publik dan komoditas politik dan belum menjadi budaya hukum bagi kehidupan dan keberadaan semua komponen bangsa Indonesia. Pembentukan dan penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969, dapat ditempatkan antara harapan dan realitas perlindungan HAM. Sebab melalui PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebut negara dan pemerintah melindungi HAM warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalah-gunaan dan penodaan agama. Sementara pada saat yang sama PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 tersebutpun negara dan pemerintah melarang aliran agama lain itu untuk mengembangkan diri, paling tidak untuk tidak boleh membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional.
[1] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 90
[2] Ahmad Baso, Agar Tidak “Memayoritaskan DiriI”, dalam: Sururin, Nilai-Nilai Pluralisme, hal. 28. Band. Asmara Nababan, Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal.110
[3] Aswanto, RefleksiI HAM, Pedoman Rakyat, Senin 11 Desember 2006.
[4] Lihat Masdar Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal. 63-72.
[5] Lihat Eka Dharmaputera, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Teologis Kristiani, dalam: Sairin dn Pattisina, Hubungan Gereja dan Negara, hal. 68-84.
[6] Lihat B.S Mardiatmadja, Hak Asasi Manusia dari Sudut Pandang Teologi Katolik. Band. Franz Magnis Suseno, Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer, dalam: Shobirin dan Mardiniah, Diseminasi Hak Asasi Manusia, hal. 73-83 dan 84-90.
[7] Dalam Kartu Penduduk Indonesia yang menjadi identitas pribadi warga negara dan penduduk Indonesia, tidak ada seorang pun yang diidentifikasi tidak beragama. Jadi semua manusia Indonesia adalah manusia beragama.

Regulasi Agama/Bab 6 Aspek Hukum Penpres 1/1965 dan UU 5/1969

BAB VI

ASPEK HUKUM PENPRES 1/1965 DAN UU 5/1969


Analisis hukum atau analisis yuridis[1] terhadap regulasi dalam
PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yag difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum dalam hukum positif. Analisis yuridis ini juga ditempatkan dalam asas atau prinsip logika hukum yang disebut oleh J.W. Harris sebagai:
(1) Eksklusi yaitu asas yang dengannya ilmu hukum mengandaikan sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem, yang dengan itu mengidentifikasikan sistem hukum tersebut.
(2) Subsumsi yaitu asas yang dengannya ilmu hukum menetapkan hubungan hierarkis di antara aturan-aturan hukum berdasarkan sumber legislatif yang lebih tinggi dan lebih rendah.
(3) Derogasi yaitu asas yang pada dasarnya ilmu hukum menolak sebuah aturan, atau sebagian dari sebuah aturan, karena berkonflik dengan aturan lain yang bersumber dari sumber legislatif yang lebih tinggi.
(4) Nonkontradiksi yaitu asas yang pada dasarnya ilmu hukum menolak kemungkinan pemaparan sistem hukum yang di dalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban. Pada saat yang sama noneksistensi terhadap suatu kewajiban yang meliputi situasi tindakan yang sama pada kejadian yang sama.
Keempat asas tersebut juga mengacu pada asas yang biasa dikenal umum yaitu:
(1) Lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah),
(2) Lex posterior derogat legi apriori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama),
(3) dan Lex spesialis derogat legi generalis (hukum khusus mengalahkan hukum yang umum).[2]
Dengan prinsip-prinsip dan asas-asas tersebut di atas, analisis yuridis terhadap regulasi agama dalam bagian ini didasarkan pada konstitusi UUD 19945 sebagai landasan hukum peraturan perundang-undangan, dan pada peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku umum baik terkait dengan regulasi agama maupun regulasi yang sejenis dan berlaku khusus, dengan memperhatikan hierarki dan konteksnya masing-masing. Hasil penelitian dengan analisis yuridis regulasi agama dalam PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 di kemukakan dalam bagian ini, bab VI dan dua bagian lainnya, bab VII dan bab VIII.
Pembentukan dan Penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
a. Legislasi dan Legalitas
Kedaulatan negara sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, diwujudkan lebih lanjut dalam pemisahan kekuasaan yang terkenal dengan istilah Trias Politikanya, Charles De Montesquieu, yaitu suatu pmerintah yang terbagi menjadi lembaga Presiden, Legislatif dan Mahkamah Agung, [3] yang masing-masing dengan fungsinya yang berimbang dan sinergis, sebagaimana dikenal umum dalam istilah checks and balances.[4]
Salah satu fungsi negara yang utama adalah mengatur kehidupan bersama melalui fungsi legislasi atau fungsi pengaturan (relegende functie). Fungsi pengaturan ini terkait dengan kekuasaan untuk menentukan peraturan bagi warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan berlaku umum. Bagi bangsa Indonesia dalam era pasca reformasi sekarang ini, fungsi ini merupakan fungsi yang paling utama, dibanding fungsi lainnya seperti di negara-negara yang sudah mapan. Sebab di negara-negara tersebut, peraturan perundang-undangan relatif tidak banyak mengalami perobahan.[5] Sementara bagi Indonesia setiap saat terjadi perobahan baik melalui proses legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam hal ini Presiden maupun hasil judisial review dari Makamah Konstitusi.
Legislasi adalah fungsi dan porses pembentukan hukum tertulis,[6] dan menurut Jean Jacques Rousseau:
Legislasi adalah: An expression of the general will, such that a free people is only bound by the laws which they have made for themselves.[7]
Fungsi ini dilaksanakan sebagai bagian dari pelaksanaan kedaulatan negara dan karena itu hanya dapat dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan representasi rakyat dan dengan persetujuan pemerintah yang juga menajalankan kedaulatan negara sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Fungsi dimaksud dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sebagai berikut:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “setiap Undang-Undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa: Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga perwakilan atau representasi rakyat yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui partai politik, memegang kedaulatan atau menjalankan kekuasaan legislasi untuk membentuk Undang-Undang yang mengikat dan berlaku umum bagi warga negara Indonesia.
Undang-Undang adalah peraturan yang paling tinggi sesudah UUD 1945, atau peraturan yang mengacu dan sekaligus menjabarkan lebih lanjut apa yang menjadi isi kandungan konstitusi UUD 1945. Juga pembentukan Undang-Undang mengharuskan persetujuan bersama dengan Presiden karena Presiden juga mempunyai kedaulatan penuh atas rakyat. Karena itu sinergitas dan sinkronisasi antar lembaga negara perlu menjadi catatan penting dalam praktek hukum ketatanegaraan Indonesia. Catatan penting ini perlu dikemukakan agar di kemudian hari tidak terjadi tarik-ulur kepentingan dan prestise antar lembaga kekuasaan negara seperti terjadi dalam praktek pelaksanaan hak interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang dukungan pemerintah terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas pemberian sanksi kepada Iran beberapa waktu lalu atau hal yang lainnya.
Setiap produk legislasi secara hukum-yuridis bersifat mengikat dan memaksa sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Atau semua pembentukan produk legislasi melalui mekanisme sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945 dan sesuai dengan prosedur pembentukannya sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang maka produk tersebut memiliki legalitas dan atau validitas di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena legitimasi hukum tetap ada sepanjang hal tersbut sesuai dengan ketentuan tatanan hukum yang ada, seperti yang dikatakan oleh Hans Kelsen: “Norma hukum tetap valid selama tidak dibantah validitasnya dengan cara yang ditentukan oleh tatatan hukum itu sendiri. Ini adalah prinsip legitimasi.”[8] Ini berarti legitimasi suatu peraturan perundang-undangan terletak pada apa yang diamanahkan dalam konstitusi baik itu prosedur atau mekanisme, isi maupun tujuannya.
Legalitas produk hukum juga ditentukan oleh efektivitasnya dalam kehidupan bermsayarakat, berbangsa dan bernegara. Semakin tinggi efektivitasnya semakin tinggi legalitas suatu produk hukum. Efektivitas tatanan hukum menurut Hans Kelsen, merupakan kondisi penting bagi validitas setiap norma hukum, yakni merupakan conditio sine qua non.[9] Dan suatu produk hukum itu effekif bilamana dalam prosedurnya mengakomodasi hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Semakin sesuai dengan kehendak masyarakat semakin hidup dan efektif hukum itu dalam pengaplikasiannya di dalam kehidupan bersama masyarakat, bangsa dan negara. Ini berarti bahwa suatu produk hukum kehilangan legalitasnya bilamana tidak prosedural, tidak mengakomodasi living law yang ada dalam masyarakat dan dengan demikian pada gilirannya tidak ditaati, tidak mengikat dan tidak berlaku bagi warga negara.
Mengacu pada konstitusi UUD 1945 maka legialitas PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai produk hukum dapat dikatakan tertanggungjawab secara hukum. Sebab UU 5/1969 adalah produk legislasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam kedaulatannya telah mengatur kehidupan warga negara dalam soal keagamaan sebagaimana diamanahkan dalam konsitusi Pasal 20 ayat (1) UUD 945. Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya menetapkan UU 5/1969 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku umum dan secara khusus menetapkan regulasi agama sebagaimana ditetapkan dalam PENPRES 1/1965. Dengan kata-kata lain, sesuai dengan fungsi legislasinya, Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk UU 5/1969 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berlaku untuk semua warga negara sebagaimana ditetapkan dalam PENPRES 1/1965 tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama.
Sedangkan PENPRES 1/1965, meskipun secara hukum dalam tatanan hukum ketatanegaraan yang berlaku, tidak dikenal penetapan dimaksud, tetapi berhubung dalam kondisi darurat dan kemudian produk itu telah dilegitimasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat –Gotong Royong maka jelas secara hukum pun menjadi produk hukum yang mengikat dan berlaku umum bagi seluruh warga negara Indonesia. Sebab bagaimanapun produk hukum tersebut sudah diterima menjadi bagian dari legislasi negara melalui prosedur atau mekasime yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam konteks penetapannya dan sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, PENPRES 1/1965 telah mengikat warga negara Indonesia dalam kondisi darurat. Dan dalam konteksnya penetapan UU 5/1969, PENPRES 1/1965 juga mengikat dan berlaku umum bagi warga negara Indonesia sesuai dengan legalitasnya sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Konteks Lahirnya PENPRES 1/1965
PENPRES 1/1965 lahir pada akhir era pemerintahan Presiden Soekarno.
Era pemerintahan ini dari sudut perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia, dilukiskan oleh Afan Gaffar, sebagai era “Demokrasi Terpimpin (1959-1965)”.[10] Sedangkan Jimly Asshiddiqie, menempatkan era ini dalam periodisasi ketatanegaraan pada umumnya dan perkembangan UUD pada khususnya, yang disebutnya sebagai “Republik Keempat: Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999)”.[11]
Tiga kekuatan yang berperan dan tarik-ulur pada periode ini, masing-masing Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 memberi peluang besar dan kesempatan yang luas bagi Presiden Soekarno untuk mewujudkan gagasan politiknya dan sekaligus memainkan peran politiknya. Sebagai Presiden, Soekarno membentuk kabinet dengan Perdana Menterinya Presiden sendiri, membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai lembaga perwakilan rakyat pengganti konstituante. Dalam konstelasi perpolitikan seperti ini, ada peluang yang sangat luas bagi Soekarno menjadi pemimpin yang kuat dan berkuasa sebagai seorang diktator.[12] Soekarno yang mempunyai agenda politik tersendiri, tentunya memerlukan dukungan, karena itu peluang koalisi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi terbuka.
Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kekuatan politik oposisi yang kemudian masuk ke dalam pemerintahan dan berkoalisi dengan Soekarno. Dalam demokrasi terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat peluang untuk mewujudkan kepentingan politiknya dengan memperluas basis dan menjadi kekuatan politik yang turut menentukan perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan tanda ke arah itu telah nampak dalam Pemilihan Umum, di Jawa Tengah pada tahun 1957, dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat dukungan masyarakat dan menjadi partai politik terbesar menggantikan posisi Partai Nasional Indonesia (PNI).[13]
Pada saat yang sama, Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat, juga muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan. Hal ini terwujud dengan baik berhubung dengan keadaan darurat dan kemudian terealisasi dalam aras pemerintahan daerah. Tentara Nasional Indonesia: Angakatan Darat, menyadari bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan doktrin, tujuan, kegiatan dan agenda politiknya merupakan acaman serius bagi NKRI.[14]
Afan Gaffar menyebut karakteristik pemerintahan Soekarno, sebagai Demokrasi Terpimpin itu dengan:
(1) Mengaburnya system dan peran kepartaian.
(2) Peran legislatif Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong menjadi
sangat lemah.
(3) Basic human rights lemah.
(4) Puncak masa anti kebebasan pers.
(5) Sentralisasi kekuasan pada pusat.[15]
Dalam konteks perpolitikan seperti di atas, khususnya dengan menguatnya dan terpusatnya kekuasaan pada Presiden dan sekaligus dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, Soekarno mengeluarkan Penetapan-penetapam Presiden, termasuk di dalamnya PENPRES 1/1965 mengenai regulasi kehidupan beragama.

c. Konteks Lahirnya UU 5/1965
UU 5/1969, ditetapkan pada awal era baru setelah melalui masa transisi
tahun 1965-1968, ketika Soeharto terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia ke 2. Era pemerintahan Soeharto dikenal dengan era Orde Baru. Orde baru adalah tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, yang berawal pada Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Pengertian yang lebih luas tentang Orde Baru dirumuskan dalam Seminar II Tentara Nasional Indonesia: Angkatan Darat, Agustus 1966 sebagai berikut:
Bahwa Orde Baru menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistik dan pragmatik walaupun tidak meninggalkan idealisme perjuangan. Ode Baru menghendaki diutamakannya kepentingan nasional walaupun tidak meninggalkan ideologi perjuangan anti kolonialisme dan anti imperialisme. Orde Baru mengingini suatu tata susunan yang lebih stabil berdasarkan kelembagaan dan bukan tata-susunan yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang mengembangkan kultus pribadi. Akan tetapi Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan. Orde Baru menghendaki pengutamaan konsolidasi ekonomi-sosial dalam negeri. Orde Baru menghendaki pelaksanaan sunguh-sungguh dari cita-cita demokrasi ekonomi. Orde Baru adalah suatu tatanan kehidupan baru di segala bidang yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[16]

Secara lebih singkat dan sederhana, A Gunawan Setiardja, menyebutkan Orde Baru adalah orde yang mempertahankan, memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945.[17]
Karakteristik Orde Baru sebagaimana digambarkan beberapa ahli, seperti oleh Karl D. Jackson sebagai negara birokratik (bureaucratic Polity), dimana sekelompok kecil elit politik menguasai sepenuhnya keputusan dan kebijakan negara. Di sementara masyarakat hanya dilibatkan dalam imlplementasinya.[18] Karakteristik lain disebut oleh Dwight King, sebagai bureaucratic authoritarian with limited plurality, dimana birokrat baik sipil maupun militer sangat dominan bahkan cenderung otoriter dalam pengambilan kebijakan dan keputusan negara meskipun tetap terlihat adanya warna pluralitas yang terbatas. Beberapa nama lain sempat mencuat dalam menilai karakteristik Orde Baru, seperti Harold Crouch, dengan istilah: Neo Patrimonialism, Benedict Anderson, dengan nama: State–quo State, sedangkan Ruth McVey menyebutnya dengan istilah: Beamtenstaat atau negara pejabat.[19]
Dari semua karakteristik yang dilihat dalam pemerintahan Orde Baru, Afan Gaffar, menilai karakteristik yang dilukiskan oleh Willim Liddle, lebih memadai dan signifikan. Dimana kekuasaan pada era ini terbagi dalam tiga jajaran piramidal dari yang pertama dan teratas adalah kekuasaan presiden, kemudian jajaran kedua adalah Angkatan Bersenjata (ABRI) dan jajaran ketiga adalah Birokrasi.[20].
Dalam konteks era pemerintahan yang berkarakter seperti inilah, di mana
kebijakan pengelolaan negara dan keputusan pemerintah didominasi elit kekuasaan eksekutif di sementara peran DPR sangat lemah dan tidak berarti, negara dan pemerintah menetapkan produk perundang-undangan dalam bentuk Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang di dalamnya termasuk PENPRES 1/1965 ditetapkan menjadi UU 5/1969.

Tempat PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 dalam Hukum Tata Negara
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dalam dunia hukum dikenal tiga bentuk penuangan norma hukum yaitu, masing-masing:
(1) Keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels).
(2) Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikkings)
(3) Keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil proses peradilan (adjudication) menghasilkan putusan (vonnis).
Di samping itu ada juga peraturan yang dinamakan beleidsregel atau aturan kebijakan (policy rules) yang sering disebut sebagai “quasi peraturan” seperti peraturan pelaksanaan, surat edaran, instruksi atau yang sejenisnya yang semuanya bersifat mengatur.[21]
Dalam sejarah ketatanegaran Indonesia pada umumnya dan sejarah peraturan perundang-undangan pada khususnya, telah jelas di mana kedudukan suatu undang-undang. Sebab dalam semua Undang-Undang Dasar yag pernah berlaku di Indonesia yaitu baik UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi dan berlaku sampai 27 Desember 1949, Konstitusi Repblik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950, maupun Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, yang berlaku sampai 5 Juli 1959, disebut tiga bentuk peraturan di tingkat pusat.
UUD 1945, menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang (UU).
(2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
(3) Peraturan Pemerintah.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang Federal.
(2) Undang-Undang Darurat.
(3) Peraturan Pemerintah.
Sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menyebutnya dengan istilah:
(1) Undang-Undang.
(2) Undang-Undang Darurat.
(3) Peraturan Pemerintah.[22]
Di sini jelas adanya tempat suatu undang-undang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam memahami tempat suatu Undang-Undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundangan-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi.
Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi tingkatannya.
Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum.[23]
Memperhatikan prinsip hierarki peraturan perudang-undangan tersebut maka suatu Undang-Undang atau suatu regulasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak dapat bertentangan dengan isi kandungan konstitusi UUD 1945.
Formalisasi hierarki peraturan perundng-undangan telah diatur lebih lanjut dalam:
(1) Tap MPR Nomor XX/MPRS/1966.
(2) TAP MPR Nomor III/MPR/2000.
(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Meskipun ada perbedaan di antara ketiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang tersebut, ketiga produk hukum tersebut menempatkan Undang-Undang di bawah hierarki Undang-Undang Dasar dan diatas hierarki suatu peraturan pemerintah.
Secara umum juga diketahui bahwa suatu Undang-Undang dibedakan atas Undang-Undang material dan Undang-Undang formal. Undang-Undang material adalah Undang-Undang yang mengikat untuk umum (algemeen verbindende voorschriften) yang dibuat oleh badan-badan legislatif. Undang-Undang ini bukan saja mengikat umum (naar buiten werkende voorrschriften) tetapi bersifat keluar dan berlaku umum (algemeen werende voorschriften). Sedangkan Undang-Undang formal adalah Undang-Undang yang bersifat tertentu, tidak mengikat dan tidak berlaku umum melainkan terbatas dan berlaku khusus bagi pihak-phak tertentu saja, misalnya Undang-Undang Tentang Pembentukan Kabupaten dalam suatu propinsi.[24]
Suatu Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Dan suatu Undang-Undang yang dibentuk dengan materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004: Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi:
1. Hak-hak asasi manusia.
2. Hak dan kewajiban warga negara.
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara.
4. Wilayah negara dan pembagian daerah.
5. Kewarganegaraan dan kependudukan.
6. Keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian tempat suatu Undang-Undang jelas ada di bawah UUD 1945 dan sekaligus materi muatannya merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari isi kandungan UUD 1945 dalam pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan Penetapan Presiden dalam konteksnya, muncul dalam upaya menenuhi kebutuhan pemerintahan yang lebih operasional. Sebab ketiga bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut dalam UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara di atas, dianggap tidak cukup memadai. Karena itu berdasarkan Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia No. 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959 ditentukan beberapa bentuk peraturan yang lain, yaitu:
Penetapan Presiden atau disingkat PENPRES untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali kepada UUD1945.
Peraturan Presiden yang terdiri atas:
1. Peraturan Presiden yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
2. Peraturan Presiden yang dimaksudkan untuk melaksanakan Penetapan Presiden.
Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan Peraturan Presiden yang berbeda dari pengertian Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan dalam jabatan.
Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh kementerian-kementerian negara atau departemen-departemen pemerintahan untuk mengatur segala sesuatu yang diperlukan di bidangnya masing-masing serta untuk meresmikan pengangkatan-pengangkatan jabatan dalam lingkungan tanggungjawabnya masing-masing.[25]
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa pembentukan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud dalam Surat Presiden tersebut berakibat lahirnya sedemikian banyak peraturan dan keputusan yang bersifat administratif yang tercampur aduk satu dengan yang lainnya. Demikian juga dengan bentuk dan isinya saling tumpang tindih dan tidak hierarkis sehingga menyulitkan dan menimbulkan kekacauan dalam implementasinya di lapangan. Apalagi produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang paling banyak dikeluarkan oleh Presiden Soekarno itu telah menimbulkan persoalan seperti:
a. Kekacauan dalam tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan karena sulit menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan secara hierarkis, termasuk mana yang lebih tinggi tingkatannya antara Penetapan Presiden atau Undang-Undang.
b. Banyak materi yang seharusnya diatur dengan Undang-Undang tetapi ternyata diatur dengan Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dalam banyak kasus, peranan Dewan Perakilan Rakyat diabaikan oleh Presiden dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai hal-hal yang seharusnya melibatkan peran DPR.
c. Secara material banyak pula peraturan perundang-undangan yang disebut dengan berbagai istilah yang jika ditelaah isinya, ternyata secara jelas menyimpang dari ketentuan UUD 1945, tanpa adanya mekanisme untuk mengoreksinya.[26]
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia umumnya dan sejarah ketatanegaraan pada khususnya, atau secara hukum konstitusional, suatu Undang-Undang merupakan bentuk peraturan perundang-undangan jelas ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI. Sedangkan Penetapan Presiden yang bertujuan untuk operasionalisasi kebijakan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak dapat dipertanggungjawaban karena memang tidak didukung dan tidak berdasar pada konstitusi UUD 1945, termasuk Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Seiring dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka pemerintah Orde Baru meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat–Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia, merupakan ketetapan-ketetapan yang mengharuskan pemerintah untuk meninjau semua produk hukum yang berlaku selama periode pemerintahan Orde Lama.[27] Hal tersebut perlu segera dilaksanakan untuk mengakhiri kekacauan dan penyimpangan konstitusi dan demi terwujudnya kepastian dan sinergitas hukum.[28]
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama, termasuk dalam peninjauan yang dimaksud dan karena itu bersama dengan produk peraturan perundang-undangan lain yang telah ditetapkan oleh Presiden Soekarno, ditetapkan menjadi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Lembaran Negara Nomor 36 Tahun 1969 dan Tmbahan Lembaran Negara Nomor 2900.

3. Materi Muatan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
Materi muatan PENPRES 1/1965 adalah regulasi agama dalam bentuk
larangan bertindak negatif terhadap agama-agama yang berkembangan di Indonesia dan yang dilakukan secara sistematis dan di tempat terbuka serta dihadapan orang banyak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, yang secara lengkap berbunyi demikian:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) PENPRES 1/165 berbunyi sebagai berikut:

(1) “Barang siapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”

(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. .

“Setiap orang” dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965 tersebut, adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum maka yang dimaksud adalah baik sebagai orang perorang (persoon) yang merupakan badan manusia (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) yang dibuat oleh manusia untuk hubungan-hubungan hukum.[29] Sedangkan “Barang siapa” dalam Pasal 2 ayat (1) PENPRES 1/1965, sebagai subjek hukum orang perorang yang melanggar ketentuan atau tidak mentaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, mendapat sanksi berupa: “perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatanya itu,” melalui keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Kejaksaan Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Dari Pasal 1 tersebut dinyatakan bahwa tindak perbuatan yang dilarang adalah tindak perbuatan yang secara sengaja atau sadar dan sistematis dilakukan di muka umum, di tengah orang banyak dan ditempat terbuka. Tindak perbuatan itu meliputi:
(1) Menceriterakan
(2) Menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
(3) Melakukan penafsiran atau melakukan kegiatan keagamaan
Jika diperhatikan dan diteliti dengan baik maka tindak perbuatan yang dilarang tersebut adalah tindak perbuatan yang berhubungan dan yang dapat mempengaruhi orang pribadi atau kelompok komunitas. Dan dengan pengaruh itu pribadi dan kelompok komunitas dapat mengambil langkah-langkah dan tindakan-tindakan yang dapat meresahkan pribadi dan kelompok komunitas lainnya lagi. Hal ini sudah mengejala dan bahkan sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana terungkap dalam Penjelasan Umum point 2 PENPRES 1/1965 sebagai berikut:
“Di antara ajaran-ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi ..., pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”.

Dalam keadaan seperti yang dilukiskan tersebut, suatu peraturan atau produk hukum diperlukan atau regulasi agama dibutuhkan untuk menempatkan dan mengarahkan kegiataan keagamaan pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu sesuai dengan tujuan agama masing-masing. Pada saat yang sama produk hukum dimaksud dapat mengarahkan kegiatan keagamaan agama lain atau aliran lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelarangan dimaksud dalam PENPRES 1/1965 secara sungguh-sungguh mau diaplikasikan karena itu wajib dan disertai sanksi baik secara individual, kepada pribadi-perorangan maupun kolektif, kepada komunitas dan organisasi atau kelompok aliran kepercayaan. Sanksi kepada pribadi, berupa perintah dan peringatan untuk menghentikan perbuatan itu, dilakukan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan sanksi kepada organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan berupa pembubaran, pembekuan dan penyataan organisasi/aliran kepercayaan tersebut sebagai organisasi/aliran kepercayaan terlarang oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Bagi pribadi, komunitas dan organisasi penganut agama dan anggota pengurus organisasi agama yang tetap tidak memperhatikan dan mentaati pelarangan di atas maka akan dikenakan sanski pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Pasal 3 PENPRES 1/1965, menyatakan bahwa:
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

Tindak perbuatan yang dilarang dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965, dipandang sudah sedemikian serius oleh negara dan pemerintah sehingga perlu mendapat ancaman sanksi pidana. Lebih jauh dari itu, sanksi pidana dimaksudpun diperintahkan menjadi materi muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti dalam rumusan sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun berangsiapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Pasal 4 PENPRES 1/1965)

4. Tujuan dan Efektivitas PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969
Pada umumnya para pakar hukum memahami tujuan hukum, langsung
atau tidak langsung termasuk tujuan penetapan peruaturan perundang-undangan adalah
(1) Untuk mewujudkan keadilan.
(2) Untuk memberikan kemanfaatan.
(3). Untuk mewujudkan kepastian hukum.
Ketiga tujuan tersebut, menurut Rusli Effendi, pada dasarnya sama dengan apa yang disebut oleh Gustav Radbruch sebagai “nilai-nilai dasar hukum”.[30] Karena suatu tujuan pada hakikatnya mengandung nilai-nilai, baik itu kualitas maupun kuantitas. Suatu nilai pada hakikatnya mengandung makna yang patut diupayakan menjadi realitas hidup. Bahkan nilai yang mengandung makna itu, disadari atau tidak, dijadikan landasan, alasan, atau motivasi bagi seseorang dalam bersikap atau bertingkah laku dan karena itu pada hakikatnya pula suatu nilai-nilai menjadi tujuan.[31] Bagi penulis sendiri, dalam upaya memahami tujuan pembentukan regulasi agama disini, pemakaian istilah nilai pun perlu dipertahankan untuk melengkapi istilah tujuan. Karena itu kedua istilah tersebut, meskipun dipakai secara bersamaan atau sendiri-sendiri secara terpisah, untuk menunjuk pada nilai-nilai dasar yang menjadi tujuan pembentukan suatu produk hukum.
Ketiga tujuan atau nilai dasar tersebut, menurut Achmad Ali, masing-masing ditinjau dari:
(1) Sudut pandang ilmu sosiologi hukum untuk tujuan kemanfaatannya.
(2) Sudut pandang filsafat hukum untuk tujuan segi keadilannya.
(3) Sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis-dogmatik, tujuan kepastian hukum.[32]
Apakah pembentukan dan penetapan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 memenuhi tiga tujuan atau nilai dasar hukum tersebut? Jawabannya, sama seperti yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa:
“penilaian keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan satu-satunya penilaian”.
Lebih dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai dasar yang saling bertentangan, apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi kemanfaatannya atau kegunaannya bagi masyarakat.[33]
Sebab sebagaimana diketahui, seperti kata Rusli Effendy, bahwa di dalam kenyataannya, sering sekali antara kepastian hukum terjadi ketegangan dengan kemanfaatan atau ketegangan yang terjadi antara keadilan dan kemanfaatan ataupun keadilan dan kepastian.[34] Di mana satu nilai yang diutamakan akan mengesampingkan nilai yang lainnya sesuai dengan tuntutan nilai masing-masing. Misalnya nilai kepastian akan mengesampingkan nilai keadilan dan nilai manfaat. Ini terjadi karena dalam nilai kepastian yang diutamakan adalah ada dan berlakunya peraturan itu sendiri. Apakah peraturan itu harus adil dan bermanfaat bagi masyarakat, itu soal lain dan diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.[35]
Ketiga unsur tujuan atau nilai dasar dimaksud terkait satu dengan yang lainnya dalam isi PENPRES 1/1965, baik dalam pokok menimbang, mengingat maupun rumusan pasal-pasalnya. Dalam pokok menimbang di sana dikemukakan: “bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama” ( Pokok menimbang a, PENPRES 1/1965) .
Ini berarti bahwa pembentukan produk hukum PENPRES 1/1965 ini dilakukan oleh negara untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan:
(1) Pengamanan negara dan masyarakat.
(2) Pengamanan cita-cita Revolusi Nasional.
(3) Pengamanan pembangunan Nasional Semesta yang bermuara pada
masyarakat adil dan makmur.
Dalam menjalankan kebijakan tersebut, negara menghadapi realitas yang menantang yaitu dengan munculnya berbagai aliran atau organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama yang dianut warga negara Indonesia. Lebih dari pada itu, realitas yang menantang itu sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, berupa pelanggaran norma hukum, goyahnya kesatuan bangsa dan penodaan terhadap agama-agama.
Dari realitas yang ada juga menjadi jelas bahwa aliran-aliran atau organissi-orgaisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan agama makin berkembang dan bertambah banyak sehingga dinilai oleh pemerintah sudah membahayakan bukan saja keberadaan agama-agama yang ada yaitu: Islam, Kristen, Katholik. Hindu, Budha dan Kongfutsu tetapi lebih daripada itu membahayakan keberadaan dan kelangsungan bangsa dan negara Indonesia. Karena itu pemerintah bertanggungjawab atas warga negara pemeluk agama-agama tersebut dari tantangan dan ancaman aliran agama-agama lain yang tidak diakui oleh negara dan pemerintah.
Pengakuan dan perlindungan terhadap agama-agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kongfutsu, menurut penjelasan PENPRES 1/1965 berdasarkan bukti sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Keenam agama tersebut adalah agama-agama yang dipeluk oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Penganut atau pemeluk agama-agama ini mendapat jaminan kontitusional Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, untuk menjalankan kegiatan keagamaan dan beribadah menurut keyakinan agamanya masing-masing. Demikian juga agama-agama tersebut mendapat bantuan-bantauan dan perlindungan atau mendapat fasilitas dari negara dan pemerintah.
Pengakuan dan tanggungjawab pemerintah tersebut didasarkan pada sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945. Sebab dalam dasar ini, sebagaimana dikatakan dalam penjelasan PENPRES 1/1965 bahwa Sila pertama menjadi dasar moral dan dasar kesatuan nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama adalah salah satu tiang pokok perikehidupan manusia dan sendi kehidupan negara serta unsur mutlak dalam pembangunan bangsa (Penjelasan Umum pokok 1 PENPRES 1/1965).
Di atas dasar itulah, pemerintah mengambil langkah pencegahan penyalah-gunaan dan atau penodaan terhadap agama dengan semua bentuk kegiatan yang terkait dengan agama-agama yang diakui negara itu, sebagaimana sudah disebut dalam Pasal 1 PENPRES 1/1965 di atas.
Dengan pencegahan dimaksud, pemerintah menjamin dan melindungi warga negara agar ketentraman hidup beragama terpelihara dan pada saat yang sama pemeluk agama-agama dapat melaksanakan kegiatan keagamaan pada umunya dan ibadah pada khususnya dapat terlaksana sesuai dengan keyakinan masing-masing. Disini nampak bahwa nilai ketertibatan dan kemanfaatan hukum yang dikedepankan pemerintah meskipun nilai keadilan bagi pemeluk agama-agama lain tentunya terabaikan.
Pencegahan penyalah-gunaan dan penodaan agama dalam PENPRES 1/1965 juga disertai dengan acaman sanksi-saksi sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal-pasal 2, 3 dan 4, seperti yang sudah dikemukan di atas. Dengan memasukkan tindak pelanggaran dan sanksi tersebut ke dalam Pasal 156a KUHP maka negara menyamakan, memasukkan dan menempatkan tindak pelanggaran dan sanksi keagamaan itu menjadi masalah sosial kemasyarakatan. Semua itu dimaksudkan oleh negara dan pemerintah agar tercipta ketertiban dan ketentraman hidup rakyat sebagai bagian dari pewujudan cita-cita masyarakat adil dan makmur dii bumi Pancasila Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UU 5/1969, ditetapkan untuk menempatkan kebijakan pemerintah yang ditetapkan dalam Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden ke dalam produk hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa dengan diundangkannya UU 5/1969, maka negarapun menempatkan PENPRES 1/1965 dalam legalitas ketatanegaraan. Peningkatan status dari PENPRES1/1965 ke UU 5/1969 menjadikan masalah agama sebagai masalah yuridis formal dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian sikap dan perilaku umat beragama dalam menjalankan kegiatan keagamaan pada umumnya dan ibadah pada khususnya yang sesuai dengan keyakinan masing-masing agama, langsung atau tidak, sadar atau tidak berada dalam tatanan hukum tentang pengakuan, pencegahan dan pelarangan sebagaimana menjadi materi muatan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969.
Mengacu pada konstitusi UUD 1945, maka baik legalitas, materi-muatan dan tujuan PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 sebagai produk hukum dapat dikatakan bahwa pada satu sisi tertanggungjawab secara hukum. Namun pada sisi lain efektivitasnya patut dipertanyakan. Tertanggungjawab dalam pengertian bahwa PENPRES 1/1965 dan UU 5/1969 adalah produk peraturan perundang-undangan yang sama dengan produk peraturan perundang-undangan lain sebagai hasil legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam kedaulatannya berhak mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. UU 5/1969 yang menetapkan PENPRES 1/1965 menjadi Undang-Undang adalah bentuk kedaulatan dan kekuasaan negara dan pemerintah sesuai dengan kewenangan konstitusional sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Sedangkan untuk efektivitasnya masih patut dipertanyakan dan didikusikan lebih lanjut. Sebab prosedur atau mekanisme, isi dan tujuan pembentukannya lebih terarah pada kepentingan negara dan pemerintah dari pada kepentingan warga negara itu sendiri. Katakanlah pendekatan keamanan oleh negara dan pemerintah jauh lebih diutamakan dari pada kepentingan kesejahteraan rakyat.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, memang, menurut Moh. Mahfud MD tidak dapat dilepaskan dari konfigurasi politik; konfigurasi politik mempengaruhi karakter produk hukum. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif dan populistik. Sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter maka produk hukumnya berkarakter ortodoks dan konservatif.[36]
Apakah isi dan tujuan atau nilai dasar PENPRES 1/1965 dan UU
5/1969 memiliki karakter responsif dan populistik atau otoriter dan konservatif? Dari dasar pertimbangan penetapan PENPRES 1/1965, terungkap “bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi dan pembangunan Nasional Semesta menuju masyarakat adil dan makmur” (Pokok menimbang a, PENPRES 1/1965).
Dari ungkapan tersebut jelas bahwa produk hukum dipergunakan untuk “menjaga stabilitas keamanan demi jalannya pembangunan” dan dengan demikian hukum dijadikan alat oleh negara dan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya dan bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Ini suatu pendekatan yang bernuansa otoriter dan konsevatif. Pendekatan ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum point 3 PENPRES 1/1965 bahwa:
“Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.”

Dalam latar belakang dan konteks pembentukannya, secara hukum-yuridis baik PENPRES 1/1965 maupun UU 5/1969, sedikit atau banyak jelas dikandung maksud untuk memberikan nilai kemanfaatan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Produk peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan meregulasi kehidupan beragama agar sesuai dengan kebijakan negara dan pemerintah dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Pendekatan keamanan diperlukan untuk menciptakan ketentraman hidup masyarakat agar tersedia kesempatan untuk membangun masa depan bersama dalam suasana damai dan sejahtera.
Meskipun latarbelakang dan konteks PENPRES 1/1965 adalah Orde Lama dan UU 5/1969 adalah pemerintahan Orde Baru, namun kekuasaan kedua pemerintahan tersebut sama-sama bertumpu dan terpusat pada Presiden yaitu Soekarno dan Soeharto. Dengan kekuasaan yang sama-sama terpusat pada Presiden maka Soekarno menetapkan PENPRES 1/1965 dan Soeharto menetapkan PENPRES 1/1965 tersebut menjadi UU 5/1969. Isi dan tujuannya tetap satu dan sama yaitu meregulasi kehidupan beragama agar tercipta ketertiban dan ketertiban hidup beragama itu bermanfaat untuk mendukung pelaksanaan kebijakan negara dan pemerintah dalam membangun masa depan yang lebih baik dan bahagia.
[1] Kedua istilah hukum dan yuridis ini secara intuitif dapat dipakai bersamaan dengan tanda garis hubung tetapi juga bergantian secara terpisah satu dari yang lainnya dengan pengertian yang sama. Kata yuridis kami anggap lebih cocok karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini berarti: “menurut hukum atau secara hukum.” Jika dipakai dengan kata analisis maka berarti penganalisasian menurut hukum. Sedangkan kata hukum adalah jenis kata nomina yang biasanya berfungsi sebagai subjek atau objek. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. 3, Pusat Bahasa DEPDIKNAS , Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 410-411, 1278.
[2] Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian, hal. 193-194
[3] Revitch and Thernstrom, Demokrasi Klasik dan Modern, hal. 80 dyb.
[4] Sistem pembagian dan perimbangan kekuasaan, misalnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat adalah: Separation of power is implemented by an elaborate system of checks and balances. To mention only a few, Congress is checked by the requirement that laws must receive the approval of both houses, by the President’s veto and by the power of judicial review of the courts. The President is checked by the fact that he cannot enact laws, that no money may be spent except in accordance with appropriation made by the laws, that Congress can override his veto, that he can be impeached, that treaties must be approved and appointments confirmed by the Senate and by judicial review. The judicial branch is checked by the power retained by people to amend the constitution, by the power the President with the advice and consent of the Senate to appoint fact that Congress can determine the size of courts and limit the appellate jurisdiction of both the Supreme Court and inferior court. Dikutip dari:Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 98.
[5] Band. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 162.
[6] Ada legislasi dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit adalah proses pembuatan undang-undang yang hanya terkait dengan legislative act atau act of parliament, sedangkan dalam arti yang luas adalah terkait pula peraturan pemerintah dan peraturan lainnya yang mendapat kewenangan dari undang-undang, executive act. Dalam penelitian dan penulisan Tesis ini dipakai dalam pengertian yang kedua. Jimly Asshadiqqie, Hukum Tata Negara, hal. 241-243.
[7] Dikutip dari: Jazuni, Legislasi hukum Islam, hal. 33.
[8] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 168-169.
[9] Hans Kelsen, Hukum dan Negara, hal. 171-172.
[10] Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Cet. 4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 24 dyb.
[11] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 89 dyb.
[12] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 27.
[13] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 27-28.
[14] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 28.
[15] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 29-30.
[16] Deppen-RI, Pancasila Ideologi dan Dasar Negara, Deppen RI, Jakarta, 1977, hal. 51-52
[17] A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi, hal. 54.
[18] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 36.
[19] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 36-37.
[20] Afan Gaffar, Politik Indonesia, hal. 37.
[21] JImly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 209.
[22] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 211-212.

[23] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, hal. 46-47
[24] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 243.
[25] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 212-213..

[26] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 213-214.
[27] Nama Orde Lama, sebenarnya muncul sebagai konsekuensi pemakaian istilah Orde Baru yang membedakan suatu era tatanan pengelolaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang secara murni dan konsekuen berdasar pada Pancasia dan UUD 1945.
[28] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, hal. 214-215.

[29] Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. 3, Alumni, Bandung, 2005,.hal. 38-39.
[30] Rusli Effendy, dkk., Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Makassar, 1991, hal. 79-80; Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. 5, Cipta Aditya Abadi, Bandung, 2000, hal. 19-20.
[31] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia, Cet. 5, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 33.
[32] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. 2, Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 72.
[33] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal. 19.
[34] Rusly Effendy, Teori Hukum, hal. 79-80.
[35] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal. 19.

[36] Moh. Mahfud MD. Politik Hukum, hal. 13-14.